Historiografi Tradisional

Sabtu, 15 Oktober 2011

Historiografi (penulisan sejarah) adalah rekonstruksi yang imajinatif dari pada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses metode sejarah (Gottschalk, 1975: 32). Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawawan itu hidup. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi Indonesia Tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M (Adityana, 2007).
Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
Adapun ciri-ciri Historiografi Tradisional dari berbagai sumber yang didapatkan, sebagai berikut:
a. Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
Contoh:
Kakawin Nagarakrtagama mengisahkan perjalanan Raja Hayam Wuruk beserta sejarah seputar keluarganya. Penulis Prapanca menceritakan kehidupan istana Majapahit pada masa Hayam Wuruk berkuasa. Pararaton merupakan kitab yang menceritakan para raja yang pernah berkuasa sejak Ken Angrok di kerajaan Tumapel hingga Majapahit akhir. Kehidupan dan intrik-intrik politik penguasa kerajaan sangat kental dan menjadi topic utama.
b. Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
Contoh:
Pararaton menyebutkan kematian Tohjaya pada tahun 1172 Çaka, namun Nagarakrtagama menyebutkan kematiannya pada tahun 1170 Çaka. Bila dikorelasikan dengan angka tahun raja penggantinya, yaitu nararyya Sminingrat, maka angka tahun dalam Nagarakrtagama lebih dapat dipercaya. Hal ini dapat dilihat dari angka tahun Prasasti Maribong yang dikeluarkan oleh nararyya Sminingrat pada tahun 1170 Çaka. Oleh karena itu, Sminingrat pada tahun 1170 Çaka telah naik tahta kerajaan Tumapel menggantikan Tohjaya. Hal ini sesuai pemberitaan Prasasti Mula-Malurung (1177 Çaka) pada lempeng III sisi belakang (verso).
c. Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali tidak rasional.
Contoh:
Ken Angrok dalam Pararaton diceritakan sebagai anak Dewa Brahma, dan saat muda ia merupakan penitisan Dewa Wisnu, setelah ia menjadi penguasa Tumapel maka dia melegitimasikan diri sebagai Putra Girinata (Siwa). Konsep Dewa-Raja dalam kepercayaan Jawa Kuno telah dijadikan media untuk para perebut tahta diakui oleh para masyarakat umum.
d. Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
e. Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
Contoh:
Pararaton menceritakan kelahiran Ken Angrok merupakan hasil hubungan antara Ken Ndok dengan Dewa Brahma. Cerita tentang pembelahan kerajaan Airlangga menjadi Jenggala dan Panjalu oleh Mpu Baradah dalam kakawin Nagarakrtagama.
f. Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
Contoh:
Peristiwa-peristiwa dalam Carita Panji memiliki sumber yang tidak jelas. Bahkan kebenaran sejarah peristiwa yang diceritakan tidak dapat dibuktikan.
g. Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
h. Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja (Adityana, 2007).
Contoh:
Cerita para raja dalam Pararaton merupakan cuplikan-cuplikan sepak terjang para raja dari masa Ken Angrok hingga keturunannya di Majapahit. Intrik-intrik politik, perebutan kekuasaan antar keluarga sangat mendominasi cerita Pararaton.

0 komentar:

Posting Komentar