tag:blogger.com,1999:blog-5588952715114667292024-03-13T21:19:32.057+07:00Situs SejarahUnknownnoreply@blogger.comBlogger44125tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-42029554072031698942018-01-08T14:07:00.002+07:002018-01-08T14:07:56.225+07:00Kolonialisme Di IndonesiaKolonialisme dan imperialisme pada dasarnya merupakankan suatu sistem pemerasan<br />yang dilakukan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Sedangkan kolonialisme yang terdapat<br />di Indonesia dan bertahan dalam waktu yang cukup lama, memiliki ciri-ciri antara lain:<br />a. Kekuasaan dalam bidang politik oleh penguasa.<br /> Penindasan dan pemerasan yang sempurna tidak dapat dilaksanakan jika kekuasaan politik tidak dipegang kuat. Ini dilakukan oleh Belanda dengan cara pengawasan secara ketat dan cermat, untuk menjaga kemungkinan agar suatu kesempatan tidak dapat dikuasai oleh suatu bangsa. <br /><br />b. Penaklukan ekonomi<br /> Sistem perekonomian dibentuk dalam suatu porsi tertentu, agar segala kepentingan penduduk terjajah sepenuhnya tergantung pada perusahaan yang dipegang atau dimiliki oleh penjajah.<br /><br />c. Pemisahan Sosial<br /> Hubungan antara penjajah dengan penduduk asli sangat jarang terjadi, karena penduduk asli dianggap tidak memiliki kepintaran apapun. Hal ini berakibat bahwa di daerah-daerah terjadi pemisahan hubungan antara manusia. <br /><br />Sistem politik semacam ini mempunyai dampak yang sangat efektif, terbukti tidak saja terjadi pertentangan antar suku bangsa melainkan juga terjadi pertentangan antar lapisan masyarakat dalam suku bangsa. <br /><br />Dalam lapangan politik pemerintah Belanda memanfaatkan kelas-kelas feodal (tuan-tuan tanah) sebagai tamengnya. Begitu pula golongan Cina digunakan sebagai tameng khusus dalam bidang ekonomi.<br /><br />Keadaan semacam ini bagi pihak Belanda semakin mantap menancapkan kolonialisme imperialisme, apalagi dalam budaya masyarakat Indonesia sudah tertanam kuat sikap permusuhan di antara mereka sendiri pada saat itu.<br /><br />Suasana merdeka rakyat Indonesia sebelum 17 Agustus 1945 sebenarnya sudah pernah dirasakan, di mana rakyat Indonesia terbebas dari pengaruh kekuasaan asing manapun juga. Keadaan ini terjadi di masa kerajaan-kerajaan masih berkuasa di Indonesia seperti kerajaan sriwijaya, Majapahit, Padjajaran dsb, di mana zaman keemasan kerajaan itu mempunyai kekuasaan yang luas hingga keseluruh Asia Tenggara. <br /><br />Istilah "Nasional" yang dipakai pada kerajaan-kerajaan kurang tepat bila dibandingkan dengan isi pengertian nasional yang dimiliki bangsa Indonesia. Namun yang jelas bahwa suasana merdaka yang terbebas dari pengaruh asing manapun pernah dirasakan sebelum imperialisme Belanda dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.<br /><br />Sejak imperialisme berkuasa di bumi Indonesia, bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan inti yang digerakkan oleh kaum bangsawan, rohoniawan, pedagang, serta petani. Perlawanan ini membuktikan bahwa sistem pemerintahan yang bersifat imperialisme tidak dapat diterima Indonesia.<br /><br />Ciri-ciri perlawanan bangsa Indonesia sejak dari abad 16 sampai dengan abad 19 tidak menyeluruh tetapi besifat lokal atau sporaodis. Perlawanan-perlawanan itu sangat banyak dan terkadang pula terjadi dalam waktu bersamaan dengan tempat yang berjauhan, sehingga perlawanan itu dapat dipatahkan oleh kaum kolonial. <br /><br />Dari sinilah dapat dikatakan kesadaran untuk mengkoordinasi perlawanan-perlawanan terhadap kaum kolonial masih kurang, karena penerapan politik devide et impera oleh Belanda.<br /><br />Sehingga konsep vassal atau negara bagian, kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang ada di Indonesia dengan status berdaulat tidak ada karena dimatikan oleh Penjajah, tetapi banga Indonesia tetap ada sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan.<br /><br />Moehammad Yamin pernah mengemukakan suatu istilah "Bangsa Indonesia ketika dijajah dinamakan bangsa budaya dan setelah merdeka dinamakan bangsa negara oleh kareana itu telah mempunyai negara sebagai perumahannya.”<br /> <br />Perlawanan yang terjadi sebelum abad ke-20 satu per satu dapat dipatahkan, ini disebabkon oleh kerapian dari organisasi kolonial atau penjajah. Masalah ini sebenarnya dilawan oleh rakyat Indonesia dengan sistem organisasi yang rapi, kekuatan yang tidak dimiliki tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh kaum penjajah, tetapi dalam setiap pergerakannya selalu ada niat untuk mencapai Indonesia merdeka. Rasa kesadaran berbangsa dan bernegara akan terlihat jelas sejak adanya Sumpah Pemuda tahun 1928 yang merupakan refleksi kesadaran nasional bangsa Indonesia.<br /><br />Usaha bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan itu secara umum dikenal dengan Pergerakan Kebangsaan atau Pergerakan Nasional, yang didukung oleh dua faktor:<br /><br />1. Faktor Dalam Negeri (Intern)<br /> Seperti yang disebut di atas bahwa sistem pemerasan itu berjalan sangat lama di Indonesia. Dalam hal ini karena penjajah memperoleh keuntungan besar dan mereka yang diperas menderita kemiskinan, kelaparan, serta mengalami berbagai penyakit. Dalam keadaan seperti itu bangsa Indonesia mencari jalan keluar melalui bermacam-macam bentuk perlawanan untuk mendapatkan kebebasan dalam hidupnya tanpa adanya ikatan dari bangsa lain. Sehingga secara jelas dapat dikatakan bahwa penderitaan dan kesengsaraan merupakan faktor utama dari dalam negeri untuk mengadakan pergerakan kebangsaan Indonesia demi terwujudnya kemerdekaan.<br /><br />2. Faktor Luar Negeri (Ekstern)<br /> Faktor luar negeri yang banyak berperan dalam mempercepat proses pergerakan politik di Indonesia, diantaranya :<br /> 1. Kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905.<br /> Hal ini merupakan suatu prestasi luar biasa. Sebagai negara merdeka di Asia, Jepang mempunyai kesempatan yang sama dengan negara-negara Barat daIam memajukan dirinya. Hal ini dibuktikan ketika pertarungan bersejata dengan Rusia, sehingga kesan Barat terhadap jepang semakin positif.<br /> 2. Pergerakan Kebangsaan India<br /> Untuk mengorganisir kaum pejuang pergerakan di India, dihimpun suatu wadah yang bernama Partai Kongres. Partai ini berdiri pada akhir abad ke-19 dan bentuk parjuangannya sangat menarik perhatian bangsa Indonesia. Ketertarikan ini disamping sama-sama sebagai bangsa terjajah oleh bangsa Eropa, adaIah gerakan swadesi yang sangat besar pengaruhnya terhadap perjuangan rakyat Indonesia.<br /> 3. Pergerakan Nasional di Philipina<br /> Akhir abad ke-19 yaitu tahun 1898 bangsa Philipina mengadakan pemberontakan yang luar biasa hebatnya terhadap bangsa Spanyol yang menjajah Philipina, di bawah pimpinan Aquinaldo Mabini, yang berhasil membawa bangsa Philipina merdeka dengan sistem kenegaraan berbentuk Republik<br /> 4. Pergerakan Nasionalis Tiongkok (Cina)<br /> Pada tahun 1911 dr. Sun Yat Sen mendirikan Republik Tiongkok (Cina). Hal ini sangat berpengaruh terhadap orang-orang Cina di Indonesia, yaitu secara tidak langsung harus mengubah gaya hidupnya yang masih kolot. Hal ini merangsang pergerakan Indonesia untuk cepat membangun tanah airnya ke arah kemajuan dan kemerdekaan. Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-87003649205092419552016-10-06T14:36:00.000+07:002016-10-06T14:36:23.890+07:00Perjanjian TordesillasPerjanjian Tordesillas adalah perjanjian yang dibuat antara Portugal dan Spanyol pada tahun 1494 di sebuah kota di Spanyol yang bernama Tordesillas. Perjanjian tersebut dibuat untuk menengahi konflik yang terjadi antara kedua negara setelah Paus Alexander VI, yang kelahiran Spanyol, membuat sebuah garis demarkasi untuk bagi-bagi wilayah pada tahun 1493.<br />
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Lha ini semua gara-garanya dimulai oleh “penemuan” Benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492. Columbus yang kembali pada tahun 1493 lantas mendatangi Paus Alexander VI yang pada masa itu bertindak sebagai wasit dalam segala hal di Eropa. Paus Alexander lantas mengeluarkan keputusan bahwa semua tanah-tanah baru yang ditemukan di sebelah Barat garis bujur yang terletak sekitar 300 mil laut dari kepulauan Cape Verde merupakan hak Spanyol, sedang di Timur garis itu menjadi milik Portugal.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Raja Portugal yang ndak puas dengan keputusan itu lantas mengajak Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol untuk rundingan agar garis bujurnya tadi bisa digeser sedikitlah, biar Portugal juga bisa dapat lahan di benua baru tersebut. Akhir dari runding-runding itulah yang menghasilkan Perjanjian Tordesillas yang menggeser garis tersebut lebih ke arah Barat. Sehingga Portugal bisa mendapatkan hak atas wilayah di sebelah Timur benua baru tersebut yang sekarang merupakan wilayah negara Brazil. Ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di Amreka Selatan hanya Brazil yang menggunakan Bahasa Portugis sedang lainnya memakai Bahasa Spanyol. Vatikan sendiri, melalui Paus Julius II, baru mengakui perjanjian tersebut pada tahun 1506.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Jika saja bumi itu rata ndak berbentuk bola, masalahnya bisa selesai sampai di situ. Hanya saja bundernya bumi dan adanya keinginan untuk menguasai sumber rempah-rempah di Maluku bikin runyam cerita selanjutnya. Kapal-kapal Portugis akhirnya bisa sampai duluan di Maluku pada tahun 1512 di bawah pimpinan Antonio d’Abreu. Akan tetapi kemudian Ferdinan Magellan yang sebenarnya orang Portugis tetapi membelot ke Spanyol berhasil mencapai Philippina pada tahun 1521 dengan kapal-kapal berbendera Spanyol. Magellan juga mengatakan bahwa Maluku yang merupakan sumber rempah-rempah itu ada di bagian wilayah miliknya Spanyol. Nah lo, gara-gara baru ini.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Akhirnya setelah eker-ekeran ndak karu-karuan sebuah perjanjian baru dibuat, Perjanjian Zaragoza yang ditanda tangani pada tahun 1529. Intinya pada perjanjian ini bumi dibagi dua dengan garis pembagi menggunakan bujur dari Perjanjian Tordesillas yang diputer kumplit mengelilingi bumi. Berdasarkan perjanjian ini Maluku dan tanah-tanah lain di sebelah Barat Samudra Pasifik dimiliki oleh Spanyol akan tetapi Spanyol mau melepas klaim atas Maluku dan memberikannya kepada Portugal dengan bayaran 350.000 dukat emas.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Garis batas bagi-bagi bumi ini dalam kenyataannya tidak ditaati secara apa adanya. Spanyol masih mengangkangi Philippina, toh Portugal juga ndak berkeberatan karena ndak ada rempah-rempah di Philippina.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Acara bagi-bagi bumi jaman dahulu ini pengaruhnya masih tersisa hingga kini. Lihat saja kebudayaan di Amerika Selatan dan Philippina yang terpengaruh Spanyol, sementara Portugal meninggalkan pengaruh di Brazil, beberapa negara Afrika, Timor Leste dan Maluku.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Lha kok enak bumi dibagi-bagi buat dua negara itu saja? Pada jaman itu dua negara itulah yang boleh berjuluk super power dunia. Itu yang namanya penghuni asli cuma boleh nurut, kalau ndak ya dibedil. Inca, Aztec dan Maya di Amerika Tengah dan Selatan luluh lantak karena mesiu dan penyakit seperti sipilis dan cacar yang dibawa oleh orang-orang Spanyol. Sementara wilayah yang dikangkangi Portugis didera kemiskinan hebat.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Sekarangpun walau lebih samar bentuknya, pembagian dunia masih berlangsung dengan dahsyat. Hanya saja, kalau dulu para super power itu mencari restu dan dukungan dari kalangan agama, para super power masa kini mencari dukungan dari para pedagang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br />
<br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-555394617067831652011-10-26T13:51:00.000+07:002011-10-26T13:51:05.289+07:00Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal; Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah : ResensiSeberapa penting pengetahuan kita terhadap kesenian, kebudayaan, dan sejarah bangsa sendiri yang kaya raya? Seberapa peduli kita menjaga hasil seni, budaya, dan sejarah kita itu? Maka, tak perlu ragukan lagi jika ada ungkapan usang,”tak kenal maka tak sayang”. Bagaimana kita mau menjaganya jika kenal pun kita tidak. Usaha pengenalan seni, budaya, dan sejarah Indonesia tadi diusahakan secara sederhana dalam buku kumpulan esai karya Fandy Hutari berjudul Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal.<br />
<br />
Buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal bisa dibilang merupakan sajian rekaman soal beberapa seni, budaya, dan sejarah yang ada di negeri ini. Berisi 26 artikel yang dibagi ke dalam lima bagian utama. Sebagian besar esai pada buku ini tentang seni pertunjukan, dari mulai masih berbentuk sandiwara, film bisu, hingga film modern seperti sekarang. Sebagian yang lainnya (dalam porsi yang lebih kecil) adalah tentang seni tradisi lokal yang sudah hampir punah, seperti kuda renggong, sintren, cikeruhan, dan lain-lain. Tradisi lokal ini merupakan jenis tradisi warisan leluhur yang sebagian masih dilakukan dengan ketentuan asli, perubahan atau variasi, dan bahkan telah dilupakan sama sekali. Ada juga tradisi di luar itu, misalnya panjat pinang, topeng monyet, gasing, dan lain-lain. Hampir semua seni, budaya, maupun sejarah yang disampaikan dalam naskah ini adalah yang berasal dari tanah Sunda (Jawa Barat). Itu karena penulisnya sangat kagum dengan tradisi Sunda. Di samping itu, ada beberapa riwayat orang-orang yang patut saya masukkan juga ke buku ini, karena ada “sentuhan” mereka terhadap sejarah, seni, dan budaya.<br />
<br />
Terkadang kita terlambat untuk mencintai hasil karya bangsa sendiri, dan baru marah-marah ketika bangsa lain mengklaim atau mengaku-aku seni dan budaya kita sebagai produk bangsanya. Maka, cukup bijak kalau setidaknya kita kenali dulu seni, budaya, dan sejarah kita, baru protes kalau merasa produk-produk tadi “dimaling” orang. Buku Fandy ini merupakan hasil seleksi artikel-artikelnya yang tersebar di media massa, baik cetak maupun online dari tahun 2008 sampai 2010. Bisa dikatakan, buku ini semacam “pengawetan” tulisan dengan bahasa yang ringan mengenai sesuatu yang begitu dekat dengan kita, tapi cenderung kita lupa: seni, budaya, dan sejarah<br />
<br />
Judul : Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal; Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia. <br />
Penulis : Fandy Hutari Penerbit : INSISTPress, Yogyakarta Tebal : xiv + 162 Cetakan : I, April 2011<br />
Oleh: KasanwikramaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-81977143648154903872011-10-24T21:34:00.000+07:002011-10-24T21:34:52.860+07:00Tanam Paksa, Sejarah anak negeri menjadi kuliPada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837),<br />
ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui <strong>Cultuurstelsel</strong> atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral <strong>Van den Bosch</strong> mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.<span id="more-478"></span><br />
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.<br />
<br />
sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/20/tanam-paksa-sejarah-anak-negeri-menjadi-kuli/ <br />
<strong>Cultuurstelsel</strong> (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.<br />
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.<br />
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.<br />
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.<br />
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.<br />
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.<br />
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh <em>Onghokham</em> (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: <strong>Pertama</strong>, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. <strong>Kedua</strong>, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. <strong>Ketiga</strong>, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. <strong>Keempat</strong>, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. <strong>Kelima</strong>, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. <strong>Keenam</strong>, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. <strong>Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh</strong> (Prisma:1991) .<br />
Tanam paksa adalah era paling eksploatatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.<br />
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.<br />
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-14391455374858655802011-10-23T22:49:00.001+07:002011-10-23T23:08:57.164+07:00Saya P.K.I atau bukan P.K.I<div style="text-align: left;">Pertanyaaan "P.K.I atau bukan P.K.I", "Marxis atau bukan Marxis" tidak</div><div style="text-align: left;">berbeda dengan pertanyaan " China atau bukan China", "Blasteran China atau</div><div style="text-align: left;">Bukan Blasteran", "Arab atau bukan Arab" , "Islam ekstrim atau baukan</div><div style="text-align: left;">Islam ekstrim" dll. Sebab pertanyaan serupa itu bukan mempersoalkan</div><div style="text-align: left;">pendapat, melainkan hanya "warna" belaka. Kalau "Warna" tak cocok, maka</div><div style="text-align: left;">pendapat juga tak cocok. Selain itu, saya menolak untuk menjawab pertanyaan</div><div style="text-align: left;">serupa itu. Karena itu, saya akan memberikan alasan -alasannya dibawah ini.</div><div style="text-align: left;">Sebelumnya , mohon ma'af bila terlalu panjang. Ia tak bisa dihindarkan.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sejak ia dipindahkan dari pabrik gula Semboro (daerah Jember Jawa Timur) ke</div><div style="text-align: left;">pabrik gula Ngadirejo daerah kediri jawa timur pada tahun 1959, M.</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya menjabat sebagai direktur pabrik gula sampai tahun 1967. Antara</div><div style="text-align: left;">tahun 1967 sampai 1968 ia menjabat sebagai inspektur pabrik gula di</div><div style="text-align: left;">Semarang, kemudian pada tahun berikutnya menjadi direktur utama PNP XXI</div><div style="text-align: left;">(daerah Situbondo) dan berkedudukan di Surabaya.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Jabatannya sebagai direktur pabrik gula di Ngadirejo tidak mudah. Sebab</div><div style="text-align: left;">mulai 1959, seluruh pabrik gula di Indonesia yang semula milik Belanda, di</div><div style="text-align: left;">Nasionalisasikan dan ditangani oleh Departemen Pertanian. Lalu, politisasi</div><div style="text-align: left;">politik dan polarisasi kehidupan politik serikat-serikat buruh sangat</div><div style="text-align: left;">terasa . Di pabrik gula Ngadirejo sendiri, terdapat 3 serikat buruh, yaitu</div><div style="text-align: left;">Serikat Buruh Gula (SBG - ormas PKI ), Serikat Buruh Muslimin Indonesia</div><div style="text-align: left;">(SARBUMUSI - NU) dan Kesatuan Buruh Gula (KBG - PNI).</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Meskipun pabrik gula telah di Nasionalisasi, tapi kehidupan sosialnya tidak</div><div style="text-align: left;">berubah (Budaya Belanda masih melekat). Di Pabrik Gula Ngadirejo, terdapat</div><div style="text-align: left;">lapisan " Employe" (Direktur, wakil direktur, Sinder tebu, masinis ahli</div><div style="text-align: left;">gula, kepala kendaraan dls - jumlah keseluruhan sekitar 30 sampai 40 orang)</div><div style="text-align: left;">dan lapisan Buruh (buruh tetap dan Buruh musiman, supir, Waker/penjaga</div><div style="text-align: left;">keamanan). Catatan saja: Buruh musiman hanya dipekerjakan pada</div><div style="text-align: left;">musim"Giling", di pabrik gula Ngadirejo sekitar 4 -5 bulan dan dari pabrik</div><div style="text-align: left;">ke pabrik berbeda. Ada yang cuma 3 bulan dalam satu tahun. Ini tergantung</div><div style="text-align: left;">dari besar kecilnya pabrik gula dan luas tanah perkebunan tebu.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Setiap lapisan punya kenikmatan yang berbeda, misalnya :</div><div style="text-align: left;">1. Hanya anak-anak "Employe" yang berhak naik - bis sekolah yang disediakan</div><div style="text-align: left;">oleh pabrik gula (gratis) untuk pergi sekolah (SD,SMP,SMA atau perguruan</div><div style="text-align: left;">tinggi) di kota Kediri. Jarak Ngadirejo ke Kediri 14 km, Semboro -Jember 35</div><div style="text-align: left;">km. Bila anak-anak buruh hendak pergi kesekolah seperti SMP,SMA atau STM</div><div style="text-align: left;">(SD letaknya sekitar pabrik gula), maka harus pergi kekota Kediri:</div><div style="text-align: left;">A. mengendarai sepeda (PP 28 km). Karena jalan raya yang menghubungkan</div><div style="text-align: left;">antara Kediri dan Ngadirejo pararel dengan Sungai Brantas, maka angin</div><div style="text-align: left;">bertiup cukup kencang. Bila angin bertiup dari utara ke selatan, maka</div><div style="text-align: left;">pulang sekolah cukup enteng, karena sepeda didorong oleh angin. Tapi</div><div style="text-align: left;">berangkat sekolah cukup berat bisa-bisa loyo sampai disekolah.</div><div style="text-align: left;">B. Naik kendaraan umum (bis, oplet) dan ongkos ditanggung sendiri.</div><div style="text-align: left;">C. Berjalan kaki / naik sepeda ke kota Ngadiluwih (4 km), kemudian naik</div><div style="text-align: left;">kereta api. Dan ongkos ditanggung sendiri.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">2. Pemutaran filem yang bagus (biasanya filem-filem Barat, seperti Koboy,</div><div style="text-align: left;">Drakula) bertempat digedung pertemuan (SUSITET) . Yang berhak menonton cuma</div><div style="text-align: left;">keluarga "Employe".</div><div style="text-align: left;">3. Fasilitas pemandian, tenis, tenis-meja, cuma boleh dinikmati oleh</div><div style="text-align: left;">keluarga Employer (tak jarang keluar ucapan dari anak-anak employe, bahwa</div><div style="text-align: left;">jika anak-anak buruh boleh berenang di pemandian tersebut, maka bisa-bisa</div><div style="text-align: left;">mereka ketularan penyakit kulit, seperti Kadas dan Panu).</div><div style="text-align: left;">4. Buat keluarga Employe disediakan kendaraan buat rekreasi ke kota Kediri.</div><div style="text-align: left;">Biasanya hari Rabu dan Sabtu sore/ malam.</div><div style="text-align: left;">5. Buat keluarga Employe disediakan kendaraan untuk pergi ke Rumah Sakit</div><div style="text-align: left;">Pabrik Gula di kota Pare (25 km sebelah timur laut Kediri) dan 40 km dari</div><div style="text-align: left;">pabrik gula Ngadirejo. Bagi Buruh, cukup Klinik Pabrik Gula. Kecuali kalau</div><div style="text-align: left;">penyakitnya cukup parah. Bagi keluarga Employe Klinik tak menarik, sebab</div><div style="text-align: left;">yang melayani cuman seorang mantri dan bukan Dokter (kecuali kalau perlu</div><div style="text-align: left;">jodium atau spiritus buat luka-luka ringan). Sebaliknya, yang melayani</div><div style="text-align: left;">pasien di Pare adalah Dokter.</div><div style="text-align: left;">6. Kalau menyelanggarakan pesta: "Buka Giling" buruh cuma boleh menikmati</div><div style="text-align: left;">pasar malam atau wayang kulit semalam suntuk. Sedangkan Employe dapat</div><div style="text-align: left;">menikmati pertunjukan-pertunjukan yang lebih TOP, misalnya pabrik gula</div><div style="text-align: left;">Ngadirejo pernah mengundang Lilis Suryani (Penyanyi TOP Indonesia pada</div><div style="text-align: left;">tahun 60 an)</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Selain beberapa contoh kenikmatan diatas, bagi seorang direktur pabrik</div><div style="text-align: left;">gula , seperti M. Kartawijaya, disediakan sebuah rumah yang cukup besar :</div><div style="text-align: left;">2 ruang tamu [ 1 untuk tamu yang tidak penting dan dikenal, 1 untuk tamu</div><div style="text-align: left;">yang dikenal dan penting], 1 kamar tidur khusus untuk tamu, 4 kamar</div><div style="text-align: left;">tidur, 1 ruang makan, 3 kamar mandi + kakus, 3 kamar pembantu rumah, 1</div><div style="text-align: left;">dapur 1 kamar mandi + kakus bagi pembantu, 1 gudang barang, 1 gudang</div><div style="text-align: left;">bahan-bahan pangan dan 2 garasi mobil [ 1 jeep Nissan dan 1 Mercedes 190</div><div style="text-align: left;">bersama 2 orang supir].Selain 3orang pembantu wanita [ plus seorang anak</div><div style="text-align: left;">lali-laki], juga bekerja disana 2 orang pembantu laki-laki.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">P.K.I VERSUS KARTAWIJAYA;</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">25 km disebelah Timur Kediri, terletak puing-puing bekas pabrik gula,</div><div style="text-align: left;">yaitu di Jengkol. Dulunya, ia merupakan pabrik gula yang mandiri, tapi</div><div style="text-align: left;">hancur karena perang. Yang tersisa hanyalah rumah-rumah employe dan</div><div style="text-align: left;">perkebunan tebu yang luas dan tercecer dimana-mana.</div><div style="text-align: left;">Pada tahun 1962, Departemen Pertanian merencanakan untuk menyatukan</div><div style="text-align: left;">tanah-tanah perkebunan tebu didaerah Jengkol untuk kemudian diintegrasikan</div><div style="text-align: left;">ke pabrik gula Ngadirejo. Dengan demikian, areal perkebunan tebu milik</div><div style="text-align: left;">pabrik gula Ngadirejo menjadi luas dan kapasitas produksi meningkat .</div><div style="text-align: left;">Cuma, rencana penyatuan tanah-tanah perkebunan harus mengorbankan</div><div style="text-align: left;">rumah-rumah penduduk. Penduduk harus pindah, dan ditempatkan</div><div style="text-align: left;">didaerah-daerah yang telah disediakan pemerintah.</div><div style="text-align: left;">Dan rencana ini ditentang oleh P.K.I bersama ormas-ormasnya, seperti</div><div style="text-align: left;">Barisan Tani Indonesia [ BTI ], Gerakan Wanita Indonesia [ GERWANI ], SBG</div><div style="text-align: left;">atau Pemuda Rakyat. Karena protes mereka tak membawa hasil, akhirnya massa</div><div style="text-align: left;">yang tergabung dalam PKI tak terkendalikan lagi. Meraka mengubur</div><div style="text-align: left;">hidup-hidup sopir traktor dan seorang polisi.</div><div style="text-align: left;">Aksi ini menimbulkan reaksi pula. Tentara didatangkan, massa PKI</div><div style="text-align: left;">menentang. Menurut cerita, yang berbaris paling depan adalah GERWANI.</div><div style="text-align: left;">Mungkin dipikir, mana mau tentara menembak wanita ? Tapi akhirnya tentara</div><div style="text-align: left;">menembak. Korban dipihak PKI berjatuhan. Begitu banyak korban yang</div><div style="text-align: left;">berjatuhan, sehingga berita ini disiarkan oleh Radio Australia Siaran</div><div style="text-align: left;">Bahasa Indonesia.</div><div style="text-align: left;">Dan clash ini merupakan awal daripada pertentangan antara PKI [ terutama</div><div style="text-align: left;">SBG ] dengan M. Kartawijaya.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sejak itulah , dalam setiap kesempatan, baik dalam rapat-rapat atau</div><div style="text-align: left;">pawai-pawai mereka selalu muncul semboyan-semboyan : " retool Karta","</div><div style="text-align: left;">Karta Kabir", " Karta ex Masyumi". "Karta 7 setan desa", dsb. -</div><div style="text-align: left;">istilah-istilah yang sedang populer pada masa itu.</div><div style="text-align: left;">Dan kelima putra Kartawijaya harus turut mendengar dan membaca cacian atau</div><div style="text-align: left;">slogan-slogan yang terpajang dispanduk-spanduk mereka.</div><div style="text-align: left;">Telinga cukup panas, hati terasa terbakar, dan dendam semakin menumpuk.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Selain rapat-rapat dan pawai, SBG sendiri selalu mengadakan</div><div style="text-align: left;">demonstrasi-demonstrasi dipabrik gula. Tuntutan a.l " Penyediaan bis buat</div><div style="text-align: left;">anak-anak buruh yang hendak bersekolah di Kediri", selain " retool Karta" ,</div><div style="text-align: left;">dlsbnya.</div><div style="text-align: left;">Meskipun M. Kartawijaya dimusuhi oleh SBG tapi dia dibela oleh</div><div style="text-align: left;">SARBUMUSI-juga N.U.-dan KBG-juga PNI/FM. Cuma, menurut kabar, jumlah kedua</div><div style="text-align: left;">anggota organisasi tsb. Seimbang dengan jumlah anggota SBG. Tampaknya, SBG</div><div style="text-align: left;">lebih populer dan atraktif bagi buruh gula.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Menjelang G-30-S, kebijaksanaan Kartawijaya dalam menangani tuntutan SBG</div><div style="text-align: left;">semakin tak disukaii. Sebab, misalnya dalam menangani buruh yang tergabung</div><div style="text-align: left;">dan diorganisir oleh SBG, ia memotong upah buruh yang mogok. Dan dengan</div><div style="text-align: left;">uang tersebut, ia memberikan uang ekstra kepada buruh-buruh yang tidak</div><div style="text-align: left;">mogok [ tentunya yang tergabung dalam SARBUMUSI dan KGB ]. Pertentangan</div><div style="text-align: left;">antara PKI dengan Kartawijaya, bukanlah merupakan satu-satunya</div><div style="text-align: left;">pertentangan politis di daerah Kediri. Didaerah Gurah, 10km sebelah Timur</div><div style="text-align: left;">Kediri, pernah seorang Lurah PNI dibacok oleh PKI karena urusan tanah pada</div><div style="text-align: left;">tahun 1964. Tentu saja, PNI da NU tak tinggal diam [ untuk memudahkan</div><div style="text-align: left;">identitas, maka pada setiap pergelangan kiri pasukan gabungan diikat daun</div><div style="text-align: left;">kelapa ]. Dan Perang Romawi seperti dilayar film tak terelakkan lagi.</div><div style="text-align: left;">Maklum, senjata tak dimiliki, yang ada cuma senjata tajam.</div><div style="text-align: left;">Pertentangan-pertentangan semacam ini meningkatkan suhu politik di daerah</div><div style="text-align: left;">Kediri. Aapalagi [ karena kita juga memiliki hari -hari besar dan pada</div><div style="text-align: left;">waktu itu adalah masa Trikora-Dwikora ] pawai dan rapat-rapat raksasa</div><div style="text-align: left;">sering diselenggarakan . "Retool Karta", "Karta Kabir", dll. Merupakan</div><div style="text-align: left;">bahasa sehari-hari.</div><div style="text-align: left;">Suasana yang demikian panas juga menjalar ke sekolah-sekolah. Dimana</div><div style="text-align: left;">putra-putra Kartawijaya belajar. Tidak jarang, misalnya putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya , menerima cacian sebagai " Anak Kabir ", "Anak Bekas Masyumi"</div><div style="text-align: left;">, "Anak 7 Setan Desa",dll. Dari anggota-anggota Ikatan Pemuda Pelajar</div><div style="text-align: left;">Indonesia [ IPPI-PKI ].</div><div style="text-align: left;">Ditambah dengan rasa antipati terhadap PKI dan keinginan buaat membela</div><div style="text-align: left;">orang tuanya. Maka putra II Kartawijaya menjadi anggota Gerakan Siswa</div><div style="text-align: left;">Nasional Indonesia [ GSNI-PNI/FM ]. Meskipun keluarga ayahnya religius [</div><div style="text-align: left;">orang Sunda dan pernah ke Mekkah ] dan ia sendiri rajin sembahyang, tapi ia</div><div style="text-align: left;">memilih PNI dan bukan NU. Sebab, ia termasuk pemuja Bung Karno, meskipun ia</div><div style="text-align: left;">tak mengerti bahwa " Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan dan</div><div style="text-align: left;">disesuaikan dengan situasi si Indonesia" [ begitu kursus yang pernah</div><div style="text-align: left;">diterimanya pada kaderisasi anggota-anggota GSNI ].</div><div style="text-align: left;">Semakin gencar serangan SBG-PKI terhadap Kartawijaya, semakin giat putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya turut bergerak didalam aktifitas PNI. Dan dalam setiap</div><div style="text-align: left;">kesempatan pawai, ia turut terlibat. Seperti seragam PNI lainnya,</div><div style="text-align: left;">pakaianpun hitam-hitam.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Menjelang G-30-S, SBG menyelenggarakan rapat digedung buruh di daerah</div><div style="text-align: left;">Margosari [ perkampungan buruh ]. Putra II Kartawijaya dan sahabatnya,</div><div style="text-align: left;">Maxkakiay [ orang Ambon ] pergi untuk memata-matai jalannya rapat tersebut.</div><div style="text-align: left;">Dan yang hadir luar biasa banyaknya. Disana dikatakan segala " Keburukan</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya". Oleh karena itu, mereka sepakat untuk berdemonstrasi</div><div style="text-align: left;">menentang Kartawijaya. Menurut rencana, bila Kartawijaya pergi ke kantor,</div><div style="text-align: left;">maka ia harus dicegah agar ia tidak memasuki tempat kerjanya.</div><div style="text-align: left;">Tapi, kedua mata-mata tersebut tak sempat mendengarkan isi rapat. Sebab,</div><div style="text-align: left;">bagian keamanan mereka kebanyakan dari Pemuda Rakyat-PKI, datang</div><div style="text-align: left;">mengerumuni mereka berdua. Meskipun mereka berdua duduk berkerudung</div><div style="text-align: left;">sarung. Mereka berdua sempat dimaki sebagai" anjing" 7Setan Desa, dllnya .</div><div style="text-align: left;">Akhirnya, mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Rencana SBG yang bukan rahasia , menyebar dengan pesat. Dan kebetulan,</div><div style="text-align: left;">SARBUMUSI seluruh Jawa Timur sedang berkonperensi di pabrik gula Ngadirejo.</div><div style="text-align: left;">Ketika mereka mendengar rencana tersebut, kontan saja mereka mengerahkan</div><div style="text-align: left;">massanya ditambah bantuan dari Santri-Sanri Pesantren /Pondok sekitar</div><div style="text-align: left;">daerah Kediri. Tak ketinggalkaan , pihak PNIpun ikut mengerahkan massanya.</div><div style="text-align: left;">Dipagi hari , pada hari rencana SBG untuk memboikot Kartawijaya pergi ke</div><div style="text-align: left;">kantor, jalanan didepan rumah Karta wijaya penuh oleh massa NU dan PNI,</div><div style="text-align: left;">sambil menjaga rumah Kartawijaya. Bisa dibayangkan panasnya suhu politik</div><div style="text-align: left;">pada waktu itu. Masing-masing pihak membawa dinamit dendam kesumat.</div><div style="text-align: left;">Untungnya clash tak sempat terjadi,karena tentara didatangkan untuk</div><div style="text-align: left;">mengamankan suasana.</div><div style="text-align: left;">Sebenarnya kedudukan Kartawijaya tidak jelek. Karena ia dianggap sebagai</div><div style="text-align: left;">lawan nomor satu bagi PKI, maka pihak NU, PNI serta Komandan KODIM misalnya</div><div style="text-align: left;">memberikan simpati kepadanya. Tak jarang, tokoh-tokoh NU (misalnya kyai</div><div style="text-align: left;">Haji Machrus dari pondok Lirboyo) atau tokoh-tokoh PNI datang berkunjung ke</div><div style="text-align: left;">rumah. Tentu saja, mereka diterima diruang tamu yang disediakan bagi</div><div style="text-align: left;">tamu-tamu penting dan terdekat (catatan: pedagang-pedagang China, misalnya</div><div style="text-align: left;">pedagang gula, onderdil mobil seperti pak Ang Kok yang mendapat julukan</div><div style="text-align: left;">"pendekar bungkuk", biasanya diterima ruang tamu depan).</div><div style="text-align: left;">Berbeda dengan oleh-oleh yang selalu dibawa oleh pedagang-pedagnag Cina</div><div style="text-align: left;">(seperti makanan, koe Cina, tape recorder dll.), maka oleh-oleh yang dibawa</div><div style="text-align: left;">oleh Kyai-kyai pondok/ pesantren biasanya berupa doa atau berkah. Pernah</div><div style="text-align: left;">seorang Kyai memberikan ikat pinggang bertuliskan ayat-ayat al Qur'an atau</div><div style="text-align: left;">tulisan tulisan ayat-ayat Al Qur'an yang untuk dipasang diatas pintu-pintu</div><div style="text-align: left;">di dalam rumah. Semuanya dimaksudkan sebagai pelindung terhadap bahaya</div><div style="text-align: left;">orang-orang kafir.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Tentang hubungan dengan pedagang-pedagang Cina : Kartawijaya pernah</div><div style="text-align: left;">mengatakan kepada putra-putranya, bahwa sebenarnya seorang direktur pabrik</div><div style="text-align: left;">gula tidak perlu korupsi (mengambil uang pabrik). Sebab, segala kebutuhan</div><div style="text-align: left;">materi selalu dipenuhi oleh pedagang-pedagang Cina. Dan hadiah-hadiah yang</div><div style="text-align: left;">diterima selalu melebihi gajinya. Para pedagang Cina cuma minta/</div><div style="text-align: left;">mengharapkan untuk diberi kesempatan (kalu bisa hak monopoli) supaya boleh</div><div style="text-align: left;">membeli gula, besi-besi tua atau misalnya, menjual onderdil mobil, beras</div><div style="text-align: left;">dan pakaian bagi kebutuhan para buruh pabrik gula.</div><div style="text-align: left;">Kalau Kartawijaya bertugas ke Surabaya atau pergi bersama keluarga, maka</div><div style="text-align: left;">makan-makan di restoran Cina sudah merupakan kebiasaan. Habis, semuanya</div><div style="text-align: left;">serba gratis. Pernah putra II Kartawijaya mengatakan pada ayahnya,</div><div style="text-align: left;">"Cina-Cina itu kok baik". Kartawijaya cuma menjawab, "mereka bukannya baik.</div><div style="text-align: left;">Mereka sekarang sedang butuh sama bapak. Lihat saja nanti, kalau bapak</div><div style="text-align: left;">tidak menjabat lagi".</div><div style="text-align: left;">Seperti halnya diluaran maka suasana disekolahpun cukup panas. Kelompok</div><div style="text-align: left;">para siswa terbagi dalam kelompok Pemuda Nasionalis, Agama dan Komunis. Dan</div><div style="text-align: left;">seperti juga diluar, pemuda Komunis (misalnya IPPI) berdiri sendirian.</div><div style="text-align: left;">Sedangkan yang lain selalu bergabung, baik dalam kegiatan pawai maupun rapat.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Peningkatan suhu tersa menjelag tahun-tahun 1965, baik di sekolah maupun di</div><div style="text-align: left;">luaran. Pada tahun 1965, putra II Kartawijaya duduk di bangku SMA negri I</div><div style="text-align: left;">kediri kelas satu.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">SITUASI SELAMA G30S 1965:</div><div style="text-align: left;">Sampai tahun 1965, front terbagi dua, yaitu: Front Komunis disatu pihak dan</div><div style="text-align: left;">Front Gabungan Nasionalis dan Agama dilain pihak. Kekuatan pihak Komunis</div><div style="text-align: left;">seimbang dengan kekuatan Gabungan Nasionalis dan Agama. Entah bagaimana,</div><div style="text-align: left;">justru kekuatan PKI di daerah Kediri, Tulungagung dan Blitar begitu</div><div style="text-align: left;">menonjol. Mungkin terjadi pergeseran kekuatan dari Madiun menuju Kediri.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Kejadian 1 Oktober 1965 merupakan sebuah peristiwa yang tak pernah dan</div><div style="text-align: left;">mudah dilupakan. Sebab suasana sangat tegang, seolah semuanya menantikan</div><div style="text-align: left;">sesuatu hal setelah diumumkannya peralihan kekuasaan di Jakarta.</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya hanya mengatakan kepada keluarganya, "Awas, jaga-jaga ada</div><div style="text-align: left;">kejadian yang tak beres di Jakarta" . Yang biasanya pintu-pintu dan</div><div style="text-align: left;">jendela-jendela rumah di tutup pada jam 22.00 maka dengan peristiwa 1</div><div style="text-align: left;">Oktober tsb, pintu-pintu dan jendela-jendela di tutup sekitar jam 19.00.</div><div style="text-align: left;">Ketakutan menghinggapi keluarga Kartawijaya, sebab desa-desus bahwa PKI</div><div style="text-align: left;">yang melakukan perebutan kekuasaan dan melakukan pembunuhan terhadap para</div><div style="text-align: left;">jendral telah meluas. Sikap PKI yang offensif dan cara pembunuhan mereka</div><div style="text-align: left;">terhadap para jendral memperkuat dugaan keterlibatan PKI. "pembunuhan</div><div style="text-align: left;">sekejam itu" hanya dapat dilakukan oleh orang-orang kafir, yaitu Komunis",</div><div style="text-align: left;">begitu komentar yang ditangkap waktu itu. Tapi, keluarga Kartawijaya merasa</div><div style="text-align: left;">bershukur, karena jendral Nasution lolos dari rencana pembunuhan tersebut.</div><div style="text-align: left;">Cuma, sayangnya putrinya yang masih kecil tak tertolong.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Hampir selama 2 minggu tak ada kegiatan didaerah Kediri. Semuanya cuma</div><div style="text-align: left;">ber-siap siap dan ber jaga-jaga. Suasana di SMA Negri I pun sangat panas.</div><div style="text-align: left;">Kabar bahwa PKI yang memberontak tersebar dengan cepat. Setiap kesempatan,</div><div style="text-align: left;">pihak nasionalis dan Agama memakai para siswa yang tergabung dalam IPPI di</div><div style="text-align: left;">sekolah. Pihak IPPI mengelak dan menolak "tuduhan". Mereka tak tahu menahu</div><div style="text-align: left;">katanya. Yang terjadi di Jakarta adalah persoalan Dewan Jendral katanya.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Selang dua minggu setelah kejadian 1 Oktober, pihak NU mulai bergarak</div><div style="text-align: left;">(terutama Pemuda Ansor) berdemonstrasi, yang diikuti oleh massa para</div><div style="text-align: left;">Santri dari berbagai pesantren/Pondok sekitar Kediri. Mereka menuntut</div><div style="text-align: left;">pembubaran PKI, agar nyawa 1 Jendral ditebus dengan 100.000 orang PKI.</div><div style="text-align: left;">Kantor-kantor, gedung-gedung milik PKI diserbu dan dihancurkan oleh para</div><div style="text-align: left;">demonstran. Kabarnya sekitar 11 orang PKI yang harus mati konyol karena</div><div style="text-align: left;">merasa perlu untuk mempertahankan milik PKI.</div><div style="text-align: left;">Dalam kemelut yang diisi oleh dendam yang demikian tebal terhadap PKI, maka</div><div style="text-align: left;">semuanya dianggap wajar, karena bukankah memerangi orang-orang kafir</div><div style="text-align: left;">merupakan tugas bersama? Dan pembalasan terhadap PKI merupakan tindakan</div><div style="text-align: left;">yang wajar, karena selama ini PKI dianggap kurang ajar. Karena itu, cuma 11</div><div style="text-align: left;">orang PKI yang mati, malahan dianggap belum cukup. Pemikiran demikian juga</div><div style="text-align: left;">menghiggapi Putra II Kartawijaya.</div><div style="text-align: left;">Tapi, ada sebuah kasus yang menarik untuk dikemukakan disini: Disebelah</div><div style="text-align: left;">Timur Stasiun Bis Kota Kediri, terdapat sebuah kantor PKI. Sebenarnya ia,</div><div style="text-align: left;">hanyalah rumah biasa. Cuma didepan rumah tersebut terpajang papan nama dari</div><div style="text-align: left;">semua yang berbau PKI: mulai dari PKI, BTI, GERWANI, IPPI sampai ke Pemuda</div><div style="text-align: left;">Rakyat.</div><div style="text-align: left;">Ketika para demonstran tiba didepan kantor tersebut, kebetulan duduk disana</div><div style="text-align: left;">seorang kakek yang tampaknya sedang mencari udara segar diluar. Ia ditanya</div><div style="text-align: left;">oleh para demonstran, apakah ia anggota PKI. "bukan", jawab nya, "saya</div><div style="text-align: left;">anggota BTI" . "Wach sama saja", teriak beberapa demonsran sambil memukul</div><div style="text-align: left;">sih kakek ia terjungkir sembari merintih kesakitan. Untung tak dibunuh.</div><div style="text-align: left;">Tapi rumah keburu hancur akibat luapan kemarahan massa. Dan seperti</div><div style="text-align: left;">biasanya, sebelum massa NU melakukan tugasnya mereka selalu berteriak</div><div style="text-align: left;">"Allah Huakbar". Setelah demonstrasi berdarah ini, keadaan di Kediri</div><div style="text-align: left;">menjadi tenang kembali. Cuma suasana tetap tegang dan keadaan begini</div><div style="text-align: left;">berlangsung sekitar 3 sampai 4 minggu.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">WANTED: ORANG-ORANG KOMUNIS:</div><div style="text-align: left;">Setelah ketenangan yang menghayutkan ini usai, maka dimulailah pembunuhan</div><div style="text-align: left;">secara besar-besaran. Bukan hanya massa NU yang bergerak, tapi juga massa</div><div style="text-align: left;">PNI. Dan tentara tak banyak turut campur.</div><div style="text-align: left;">Perkampungan buruh dipabrik gula mulai digerebek. Biasanya pada malam hari,</div><div style="text-align: left;">untuk dibersihkan dari unsur-unsur Komunis. Caranya, satu desa dikepung</div><div style="text-align: left;">oleh satuan-satuan pemuda Nasionalis dan pemuda Agama (baik Islam maupun</div><div style="text-align: left;">Kristen, misalnya di Pare). Pemuda Ansor banyak didatangkan dari</div><div style="text-align: left;">pesantren-pesantren/pondok-pondok di daerah Kediri. Rata-rata, didalam</div><div style="text-align: left;">opasi penggerebekan begini diikuti oleh sekitar 3000 oprang. Dengan</div><div style="text-align: left;">dikepung nya desa, diharapkan agar tak ada unsur-unsur Komunis yang lolos.</div><div style="text-align: left;">Hasilnya juga lumayan. Setiap hari, kalau putra II Kartawijaya pergi atau</div><div style="text-align: left;">pulang dari SMA N I selalu melihat mayat-mayat PKI yang mengapung di sungai</div><div style="text-align: left;">Brantas. Sebab, SMA- N I terletak di "kulon" (Barat) sungai Brantas. Dan</div><div style="text-align: left;">mayat-mayat tersebut biasanya tidak berupa manusia lagi. Tanpa kepala. Lalu</div><div style="text-align: left;">isi perut keluar dan baunya luar biasa. Supaya mayat tak tenggelam, sengaja</div><div style="text-align: left;">mayat-mayat tersebut diikat dan disisipi oleh bambu. Pengiriman mayat dari</div><div style="text-align: left;">daerah daerah Kediri lewat sungai Brantas mengalami masa keemasan, ketika</div><div style="text-align: left;">mayat-mayat disatukan dan diletakan diatas rakit dengan bendera PKI yang</div><div style="text-align: left;">terpajang megah di atas rakit tersebut. Tentu saja diderah-daerah yang tak</div><div style="text-align: left;">dilalui sungai Brantas, mayat-mayat dikuburkan secara masal, seperti</div><div style="text-align: left;">misalnya didaerah Pare. Didaerah ini umat kristen banyak bergerak. Tapi,</div><div style="text-align: left;">pengiriman mayat lewat Brantas merepotkan kota Surabaya. Sebab, kabarnya</div><div style="text-align: left;">air minum didapat dari penyaringan air sungai Brantas. Lalu mayat-mayat</div><div style="text-align: left;">tersebut sudah hancur sesampainya dikota Surabaya. Setelah Surabaya protes,</div><div style="text-align: left;">maka mayat-mayat PKI tidak lagi dibuang di Sungai Brantas, melainkan</div><div style="text-align: left;">dikuburkan secara masal. Lubang yang disediakan cukup besar, dan sanggup</div><div style="text-align: left;">menampung ber-puluh-puluh orang Komunis.</div><div style="text-align: left;">Kemudian, Jalan menuju ke gunung Klotok (sebelah barat kota Kediri) pernah</div><div style="text-align: left;">dihiasi kepala-kepala PKI. Kira-kira 1 km disebelah utara pabrik gula</div><div style="text-align: left;">Ngadirejo banyak ditemui rumah-rumah pelacuran. Ketika pembersihan terhadap</div><div style="text-align: left;">unsur-unsur PKI berlangsung, tak ada lagi pengunjung yang hendak meumuaskan</div><div style="text-align: left;">hawa nafsunya lagi. Alasan: Banyak yang takut (baik pengunjung maupun para</div><div style="text-align: left;">pelacur) karena didepan rumah-rumah tersebut banyak digantungi kemaluan</div><div style="text-align: left;">laki-laki PKI/mirip jualan pisang. Tentu saja, pembunuhan massal demikian</div><div style="text-align: left;">disambut baik oleh pihak Nasionalis dan Agama. Malahan, target satu jendral</div><div style="text-align: left;">ditebus oleh seratus ribu orang PKI harus dicapai. Begitu juga, halnya</div><div style="text-align: left;">Putra II Kartawijaya dan keluarganya. Apalagi setelah diperoleh kabar,</div><div style="text-align: left;">bahwa untuk keluarga Kartawijaya, telah disiapkan lubang buaya yang akan</div><div style="text-align: left;">digunakan bila PKI menang.</div><div style="text-align: left;">Suasana pembalasan dendam kesumat ini menjalar kemana-mana. Bukan saja</div><div style="text-align: left;">diluar, tapi ia masuk ke sekolah-sekolah, misalnya SMA Negri I. Suasana</div><div style="text-align: left;">demikian menjadi subur, karena sekolah-sekolah praktis macet, pelajaran tak</div><div style="text-align: left;">berjalan sep[erti biasanya. Banyak siswa-siswa yang tak masuk sekolah,</div><div style="text-align: left;">seperti Syom sahabat putra ke II Kartawijaya, karena ia harus banyak</div><div style="text-align: left;">keliling turut membersihkan daerah Kediri dari unsur-unsur Komunis.</div><div style="text-align: left;">Putra II Kartawijaya banyak melihat bagaimana guru-guru SMA negri I dan</div><div style="text-align: left;">anggota-anggota IPPI yang ditodong pisau oleh teman-temannya yang agama dan</div><div style="text-align: left;">Nasionalis. Mereka diancam hendak dibunuh sembari ditodong pisau dileher</div><div style="text-align: left;">mereka. Mereka menangis meminta ampun dan merasa menyesal atas</div><div style="text-align: left;">perbuatan-perbuatan mereka selama di IPPI. Akhirnya semua rahasia (atau</div><div style="text-align: left;">mungkin juga cerita palsu) keluar. Semuanya mencari selamat dengan</div><div style="text-align: left;">mengorbankan orang lain. Mereka toch manusia juga, yang masih ingin</div><div style="text-align: left;">menikmati hidup lebih lama.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Daerah Kediri tampaknya tak aman bagi orang-orang Komunis (anehnya, kecuali</div><div style="text-align: left;">satu kasus mereka tak bergerak mengadakan perlawanan). Lalu kebanyakan dari</div><div style="text-align: left;">mereka berusaha lari ke Surabaya atau mencari perlindungan di KODIM di kota</div><div style="text-align: left;">Kediri. Tapi, dipenjarapun tidak aman, sebab terlalu banyak yang ingin</div><div style="text-align: left;">mencari perlindungan dan penjara tidak sanggup menampungnya. Akhirnya,</div><div style="text-align: left;">tentara sering mengangkut mereka dengan truk ke gunung Klotok (jalan menuju</div><div style="text-align: left;">kesana harus melalui SMA Negri I) entah apa yang diperbuat oleh tentara</div><div style="text-align: left;">terhadap mereka, tapi yang jelas pergi penuh muatan dan pulang kosong.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Selain dari pada itu, KODIM juga tak keberatan bila ada orang-orang</div><div style="text-align: left;">Nasionalis atau Agama datang kesana untuk meminta orang-orang komunis yang</div><div style="text-align: left;">dibutuhkan. KODIM bersedia menyerahkan tawanan komunis, asal mereka-meraka</div><div style="text-align: left;">yang membutuhkan membawa kendaraan (bukan sepeda motor tentunya).</div><div style="text-align: left;">Kegiatan belajar di SMA N I pun berjalan santai. Praktis seperti liburan</div><div style="text-align: left;">panjang, taoi berkumpul disekolah. Pernah seorang guru bertanya kepada</div><div style="text-align: left;">Syom, sahabat putra ke II Kartawijaya, pergi keman selama ini, dan tak</div><div style="text-align: left;">pernah kelihatan. Dan memang dia jarang muncul disekolah. Jawabnya: " turne</div><div style="text-align: left;">pak". Dan orang oun mengerti, apa yang dimaksudkan dengan "turne". Selain "</div><div style="text-align: left;">turu kono-turu kene" (tidur sana-tidur sini) ia juga berarti bertugas</div><div style="text-align: left;">membersihkan orang-orang Komunis. Syom adalah salah satu orang algojo. Dan</div><div style="text-align: left;">ketenaran seorang algojo diukur dari berapa banyak korban yang berhasil</div><div style="text-align: left;">direnggut nyawanya.</div><div style="text-align: left;">Biasanya, orang-orang Komunis yang berhasil dikumpulkjan, diserahkan kepada</div><div style="text-align: left;">seorang algojo. Agar ia mau mengirimkan nyawanya kedunia lain. Tidak semua</div><div style="text-align: left;">orang dpat membunuh (meskipun tersapat beberapa pengecualian). Menurut</div><div style="text-align: left;">beberapa pengakuan beberapa algojo (karena putra II Kartawijaya banyak</div><div style="text-align: left;">bersahabat dengan mereka), membunuh tak gampang. Setelah mencabut nyawa</div><div style="text-align: left;">korban pertama, biasanya badan panas dingin, tak bisa tidur. Tapi kalau</div><div style="text-align: left;">sudah banyak nyawa yang dikirimkan kedunia lain, maka pembunuhan menjadi</div><div style="text-align: left;">kebiasaan."Seperti memotong kambing", demikian pengakuan mereka. Dan</div><div style="text-align: left;">memang, putra II Kartawijaya yang sering diam-diam keluar rumah., entah</div><div style="text-align: left;">hendak turut menjaga markas PNI yang berkedudukan dirumah pak Salim yang</div><div style="text-align: left;">sopir bis sekolah disekolah Ngadirejo atau hendak menyaksikan pengiriman</div><div style="text-align: left;">nyawa manusia. Itupun membuat susah tidur. Terbayang, bagaimana ratapan</div><div style="text-align: left;">para korban yang minta diampuni, bunyi letupan darah yang keluar da</div><div style="text-align: left;">ri tubuh korban, atau semprotan darah segar bila kepala korban dipancung.</div><div style="text-align: left;">Semuanya cukup membuat bulu roma berdiri. Belum lagi jeritan kesakitan</div><div style="text-align: left;">seorang GERWANI karena lubang kemaluannya ditusuk oleh bambu runcing.</div><div style="text-align: left;">Mayatpun banyak menggelepar mirip ayam sehabis dipancung kepalanya.</div><div style="text-align: left;">Meskipun cukup mengerikan kejadian-kejadian begini, tapi semua partisipan</div><div style="text-align: left;">merasa bersyukur, karena telah diberi kesempatan buat dapat turut menumpas</div><div style="text-align: left;">orang-orang kafir. Belum cerita yang dibawa oleh Muja sahabat Putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya yamg turut membersihkan komunis di daerah Pare. Ia seorang</div><div style="text-align: left;">Kristen. Katanya, korban-korban diangkut oleh truk, lalu diturunkan untuk</div><div style="text-align: left;">dihadapkan ke lubang yang telah disediakan. Lalu kepala mereka dipancung</div><div style="text-align: left;">dengan samurai bekas peninggalan serdadu Jepang dahulu. Bila misi selesai,</div><div style="text-align: left;">maka lubangpun ditutup oleh tanah.</div><div style="text-align: left;">Di antara sekian banyak kejadian, tentu ada beberapa yang tetap merupakan</div><div style="text-align: left;">kenangan"indah" pada diri putra II Kartawijaya. Misalnya, dalam pengepungan</div><div style="text-align: left;">salah satu desa di sebelah timur pabrik gula oleh pemuda Ansor, maka ada</div><div style="text-align: left;">beberapa rumah yang didatangi untuk dibersihkan dari unsur-unsur komunis.</div><div style="text-align: left;">Dalam sebuah rumah, kebetulan berdiam 2 orang anak yang menurut daftar</div><div style="text-align: left;">aktifis pemuda rakyat. Ketika rumah tersebut diketuk yang keluar menyambut</div><div style="text-align: left;">mereka adalah orang tua kedua pemuda yang dicaari. "Mana anak-anakmumu?".</div><div style="text-align: left;">"Kalau bisa, anak-anak saya jangan dibunuh", demikian permintaan mereka</div><div style="text-align: left;">berdua. Dan sebagai gantinya mereka berdua bersedia untuk dibunuh. Tawaran</div><div style="text-align: left;">mereka bukan saja diterima , malahan selain kedua orang tua tersebut, para</div><div style="text-align: left;">pembersih juga membunuh anak-anak mereka.</div><div style="text-align: left;">Kemudian, meskipun Kartawijaya dimusuhi olleh PKI, tapi mereka pernah</div><div style="text-align: left;">menyuruh PutraII Kartawijaya untuk pergi kerumah pak Haryo, seorang Employe</div><div style="text-align: left;">yang tinggal disebelah rumah dan aktifis SBG. Kartawijaya berpessan, agar</div><div style="text-align: left;">pak Haryo dipanggil kerumah dan disuruh tidur disana dan disuruh membawa</div><div style="text-align: left;">pakaian secukupnya. Tapi, ketika itu malam cukup larrut, sehingga ketukan</div><div style="text-align: left;">putra II Kartawijaya tidak digubris oleh keluarga pak Haryo. Mungkin</div><div style="text-align: left;">mereka takut, kalau-kalau malaikat pencabut nyawa datang kesana. Keesokan</div><div style="text-align: left;">harinya, Kartawijaya daatang sendiri kesana untuk menjemput pak Haaryo.</div><div style="text-align: left;">Akhirnya ia dibawa ke Surabaya oleh Kartawijaya untuk disembunyikan disana.</div><div style="text-align: left;">Tentu saja, menolong orang-orang PKI tida k sesuai dengan konsep putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya. Lalu ia bertanya, " Kenapa justru bapak justru melindungi pak</div><div style="text-align: left;">Haryo?". "Pak Haryo tak tahu apa-apa, dan kasihan karena anak-anaknya</div><div style="text-align: left;">banyak".Kartawijaya selalu beruntung, karena ia selalu</div><div style="text-align: left;">diberitahu"siapa-siapa" yang bakal dicabut nyawanya. Dan banyak orang0orang</div><div style="text-align: left;">PKI yang pernah mencaci maki Kartawijaya datang kerumahnya untuk meminta</div><div style="text-align: left;">perlindungan . Dia pernah menyediakan ruangan khusus diruang pertemuan buat</div><div style="text-align: left;">orang-orang yang minta perlindungan untuk bermalam disana.</div><div style="text-align: left;">Selama pembersihan terhadap unsur-unsur komunis mesjid-mesjid jadi penuh</div><div style="text-align: left;">dan ramai dikunjungi oleh orang - orang PKI. Sampai -sampai gedung buruh</div><div style="text-align: left;">khusus dijadikan tempat sembahyang Jum'at. Dengan demikian , banyal orang</div><div style="text-align: left;">menilai bahwa para PKI telah menjadi sadar. Dan harapan untuk selamat jadi</div><div style="text-align: left;">besar. Dalam kesempatan sembahyang Jum'at, Kartawijaya pernah diminta untuk</div><div style="text-align: left;">berpidato dihadapan orang-orang yang bersembahyang katanya, bahwa</div><div style="text-align: left;">sembahyang bukan merupakan keharusan.Jangan dipaksakan yang mau sembahyang</div><div style="text-align: left;">ya sembahyang lah yang tidak mau ya tak usah lah. Yang menarik adalah,</div><div style="text-align: left;">meskipun Kartawijaya berpidato demikian (bayangkan pada masa demikian,</div><div style="text-align: left;">salah-salah bisa dituduh Komunis), dan meskipun dia banyak melindungi</div><div style="text-align: left;">orang-orang PKI, tetapi ia tak pernah dituduh PKI atau terlibat G30S.</div><div style="text-align: left;">Malahan, dengan kemenangan golongan Nasionalis dan Agama atas golongan</div><div style="text-align: left;">Komunis, Kartawijaya diangkat menjadi penasehat SARBUMUSI dan KBG seluruh</div><div style="text-align: left;">Jawa Timur. Dan sahabat-sahabatnya terutama tokoh-tokoh Islam (sampai</div><div style="text-align: left;">sekarang) banyak yang datang kerumahnya. Rupanya, karena di Ngadirejo</div><div style="text-align: left;">sendiri ia bersahabat dengan Pak Maksum yang ketua SARBUMUSI pabrik gula</div><div style="text-align: left;">Ngadirejo, maka pidatonya didepan sembahyang Jum'at tak menjadi persoalan.</div><div style="text-align: left;">Sembahyang boleh dan sembahyang jangan dipaksakan memang merupakan</div><div style="text-align: left;">pendidikan "kebebasan individual" yang diajarkan oleh Kartawijaya kepada</div><div style="text-align: left;">putra-putranya.</div><div style="text-align: left;">Putra I Kartawijaya yang tergabung dalam KAMI dan aktif bergerak di Bandung</div><div style="text-align: left;">sering harus berbeda pendapat dengan putra II yang aktivis GSNI. Sebab,</div><div style="text-align: left;">Bung Karno mulai dipertanyakan oleh KAMI. Bung Karno dituduh terlibat G30S</div><div style="text-align: left;">karena ia melindungi PKI. Tapi PNI atau FM daerah Kediri tak pernah</div><div style="text-align: left;">mempersoalkan Bung Karno. Yang jelas, PNI kediri tetap berdiri belakang</div><div style="text-align: left;">Bung Karno dan anti Komunis. Persetan dengan PNI ASU atau PNI Osa/Usep.</div><div style="text-align: left;">Kalau perbedaan pendapat antara putra I dan putra II sedah masuk dalam</div><div style="text-align: left;">rumah tangga Kartawijaya tak banyak turut campur. Ia tak pernah melarang</div><div style="text-align: left;">putra-putranya buat memihak kemana. Pokoknya setiap orang harus tahu apa</div><div style="text-align: left;">yang diperbuat. "sana, urus sendiri-sendiri". Salah satu kejadian yang tak</div><div style="text-align: left;">pernah dilupakan oleh putra ke II Kartawijaya adalah: setelah unsur-unsur</div><div style="text-align: left;">Komunis ditumpas habis di daerah Kediri, maka bila ia hendak berkibur</div><div style="text-align: left;">kerumah kakeknya di Bandung, ia harus naik kereta api dari Kertosono. Di</div><div style="text-align: left;">stasiun K.A ini ditemui pemandangan yang cukup menyayat hati. Banyak</div><div style="text-align: left;">anak-anak yang berumur sekitar 5 sampai 10 tahun berkeliaran disana minta</div><div style="text-align: left;">belas kasihan dari penumpang K.A agar mereka memberi makan sekedarnya. Bila</div><div style="text-align: left;">makana dilemparkan dari jendela K.A, maka dibawah sana bertebaran anak-anak</div><div style="text-align: left;">tsb memperebutkan makanan. Disitulah tak terdapat perbedaaan antaran anjing</div><div style="text-align: left;">dan manusia. Pemandangan serupa ini tak ditemui sebelum G30S meletus.</div><div style="text-align: left;">Orang tahu, bahwa anak-anak yang berkeliaran tak menentu ini adalah</div><div style="text-align: left;">anak-anak orang Kominis. Orang tua sudah tidak ada, maka apalagi yang</div><div style="text-align: left;">mereka harapkan ?</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Tapi, meskipun banyak peristiwa yang mengetuk hati, putra Kartawijaya</div><div style="text-align: left;">merasa bersyukur, bahwa sekalah-sekolah milik orang Cina diambil alih oleh</div><div style="text-align: left;">elemen-elemen non Komunis. Bukan kah mereka berhubungan terlalu rapat</div><div style="text-align: left;">dengan RRC?.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">ORDE BARU MEMAKAN SEKUTUNYA:</div><div style="text-align: left;">Selang setelah kejadian G30S, ketika unsur-unsur Komunis dibersihkan dari</div><div style="text-align: left;">daerah Kediri angin Orde Baru teras bertiup disana dengan masuknya pasukan</div><div style="text-align: left;">RPKAD. Mereka masuk secara diam-diam dan kabarnya mereka menginap di SEMEA</div><div style="text-align: left;">Kediri. Dengan masuknya RPKAD disana, ternyata yang dicari bukan lagi</div><div style="text-align: left;">unsur-unsur Komunis, melainkan PNI/FM.</div><div style="text-align: left;">Suatu ketika, pada kesempatan rapat raksasa, yang diselenggarakan oleh</div><div style="text-align: left;">unsur-unsur Nasionalis dan Agama di stadion sepek bola Kediri, putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya sempat turut menghadiri. Ia turut berbaris didalam barisan</div><div style="text-align: left;">GSNI. Sesampai disana, kontan saja barisan PNI dengan Ormas-orasnya</div><div style="text-align: left;">disambut dengan teriakan-teriakan "Ganyang PNI ASU", "hancurkan sisa -sisa</div><div style="text-align: left;">Orde Baru", (Sampai detik itu, PNI daerah Kediri masih mengakui Ali</div><div style="text-align: left;">Surahman sebagi ketua dan sekretaris PNI, karena belum ada keputusan siapa</div><div style="text-align: left;">yang menjadi ketua PNI seluruh Indonesia, tapi PNI daerah Kediri tetap anti</div><div style="text-align: left;">Komunis). Mendengar teriakan-teriakan tersebut, apalagi suasana begitu</div><div style="text-align: left;">panas, maka putra II Kartawijaya pilang ketekutan. "Aneh, pikirnya, dulu</div><div style="text-align: left;">sama-sama teman seperjuangan, kok sekarang jadi musuh?"</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Proses penghancuran PNI, Sukarnoisme bersamaan dengan terbentuknya</div><div style="text-align: left;">KAMI?KAPPI. Jika dulu SMA Negri 1 siswa-siswa yang dituduh "jabangnya PKI</div><div style="text-align: left;">diburuh oleh siswa-siswa kelompok Agama dan Nasionalis, maka sekarang</div><div style="text-align: left;">posisi para siswa kelompok Nasionalis jadi terbalik. Sekara mereka diburu</div><div style="text-align: left;">oleh para siswa kelompok Agama yang trgabung dalam KAPPI. Dan para siswa</div><div style="text-align: left;">kelompok Nasionalis dituduh sebagai unsur-unsur Orde Lama.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Pada masa inilah putra II Kartawijaya banyak melihat, bagaimana fitnah</div><div style="text-align: left;">mulai berlangsung. Siapa yang dapat bertahan, biar prisip mengatakan bahwa</div><div style="text-align: left;">Marhaen akan tetap menang, tapi dilain pihak Orde Baru siap merenggut</div><div style="text-align: left;">nyawa? Arus perubahan ideologi sangat cepat mengalir. Tergantung pada</div><div style="text-align: left;">kekuatan belaka.</div><div style="text-align: left;">Putra II Kartawijaya pun melihat, bagaiman RPKAD turut terlibat</div><div style="text-align: left;">menghancurkan gedung PNI Pusat dijalan Daha Kediri. Lalu, jendela kaca</div><div style="text-align: left;">sudah hancur dan trpaksa diganti oleh papan-papan kayau maka</div><div style="text-align: left;">jendela-jendela tersebut dijadikan latihan bermain pisau. Bukan kah RPKAD</div><div style="text-align: left;">terkenal sebagai pasukan istimewa yang mahir bermain pisau?</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Dalam keadaan yang genting begini bagi golongan Nasiomalis, tapi untung</div><div style="text-align: left;">KKO/Angkatan Laut berada dipihak mereka. Sehingga sepak terjang RPKAD dapat</div><div style="text-align: left;">tertahan. Meskipun kedudukan putra II KArtawijaya tak gampang, karena ia</div><div style="text-align: left;">anggota GSMI, tapi karana dan ini yang penting kedudukan ayahnya tetap</div><div style="text-align: left;">stabil. Sebab ia termasuk orang yang berjasa turut menghancurkan PKI</div><div style="text-align: left;">didaerah Kediri. Apalagi sahabat-sahabatnya banyak berasal dari golongan</div><div style="text-align: left;">Agama (NU). Jadi elemen-elemen Orde Baru Juga. Hubungan ini ternyata banyak</div><div style="text-align: left;">membantu, ketika putra II Kartawijaya harus mendekam di Penjara.</div><div style="text-align: left;">Kejadiannya begini: Sekitar tahun 1967, di Kediri diselenggarakan pawai.</div><div style="text-align: left;">SMA Negri I mengirimkan satu barisan yang berpakaian beraneka ragam. Ada</div><div style="text-align: left;">yang berbusana sarung, Celana tambal sulam dsb. Hanya, salah satu peserta</div><div style="text-align: left;">berpakaian haji. Dan selama pawai, dia menghitung uang. Rupanya, dia hendak</div><div style="text-align: left;">menyindir kebiasaan para haji yang suka menghitung kekayaan. Akhirnya ia</div><div style="text-align: left;">diculik oleh pemuda Ansor ketika barisan ini berada di jalan Daha. Seusai</div><div style="text-align: left;">pawai, baru diketahui bahwa peserta ini tak muncul dan karena putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya pemimpin pawai SMA N I, maka ia harus bertanggung jawab</div><div style="text-align: left;">perbuatan sang peserta yang berpakaian haji tsb kar4na itu ia dipanggil</div><div style="text-align: left;">oleh KODIM.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sesampai disana, maslahnya bukan masalah kenapa yelah dibiarkan ada peserta</div><div style="text-align: left;">yang berpakaian haji sambil menghitung uang, tapi merembet ke masalah ORLA</div><div style="text-align: left;">dan ORBA. "Saudara aktif di organisasi apa?", "Bagaimana pendapat saudara</div><div style="text-align: left;">tentang ORLA dan ORBA" dsb. Interogasinya cukup lama : dari sore sampai</div><div style="text-align: left;">tengah malam.</div><div style="text-align: left;">Setelah itu, ia dimasukkan ke dalam sel digedung bekas sekolah Cina.</div><div style="text-align: left;">Digedung juga banyak sisa sisa ORLA yang harus meringkuk disana. Didalam</div><div style="text-align: left;">sel tsb, ia bertemu kembali dengan sang peserta pawai yang berpakaian haji</div><div style="text-align: left;">tadi. Dia menyumpaj-nyumpah. "sialan benar. Wong sama-sama KAPPI nya kok</div><div style="text-align: left;">diculik? Kok dimasukkan penjara?". Mereka berdua menghabiskan waktunya</div><div style="text-align: left;">didalam sel. Kadang-kadang boleh keluar kalau terpaksa harus ke WC. Mereka</div><div style="text-align: left;">berdua sama-sama bingung, kenapa merka harus nongkrong didalam penjara. Dan</div><div style="text-align: left;">orang Komunis juga bukan yang satu dituduh telah menghina agama Islam,</div><div style="text-align: left;">karena berpakaian haji sambil menghitung uang. Padahal, begitu tuturnya,</div><div style="text-align: left;">yang hendak disindir adalah prilaku kebanyakan Haji. Kemudian, dia</div><div style="text-align: left;">sekelurga orang Islam yang lebih dekat ke Masyumi daripada ke Nu.</div><div style="text-align: left;">Kakak-kakaknya tergabung dalam barisan HMI. Putra II Kartawijaya sendiri</div><div style="text-align: left;">tak mengerti, kenapa dia harus dimasukkan ke dalam sel. Kok persoalannya</div><div style="text-align: left;">merembet keaktivitasnya di GSNI? Bagaimana dia dapat mengerti dengan</div><div style="text-align: left;">perubahan jaman yang begitu cepat? Dari kegembiraan karena telah turut</div><div style="text-align: left;">menghancurkan PKI, lalu menjadi kebingungan karena sekarang dia digilas</div><div style="text-align: left;">oleh ORBA. Tapi untungnya, dia tak lama mendekam disana. Sebab relasi</div><div style="text-align: left;">keluarganya cukup kuat.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Pada tahun 1967, Kartawijaya dipindahkan ke Semarang untuk memangku jabatan</div><div style="text-align: left;">inspektur pabrik gula disana. Dan pada tahun berikutnya, ia dipindahkan</div><div style="text-align: left;">keSurabaya untuk menjabat direktur utama pabrik gula daerah Situbondo.</div><div style="text-align: left;">Sekitar 5 pabrik gula harus dia bawahi.</div><div style="text-align: left;">Jabatan semakin tinggi, sejarah masa lalu dengan PKI sedikit demi sedikit</div><div style="text-align: left;">mulai menguap dan pedagang-pedagang Cina semakin banyak yang datang. Karena</div><div style="text-align: left;">jabatannya praktis lebih tinggi dibanding direktur pabrik gula, maka</div><div style="text-align: left;">hadiah-hadiah yang dibawa para pedagnag China pun tak kepala tanggung.</div><div style="text-align: left;">Mercedes 280, FIAT 125, beberapa sepeda motor (Sampai-sampai tak bisa</div><div style="text-align: left;">dipakai semua, maka sepeda motor tsb harus dipak dalam karton untuk</div><div style="text-align: left;">disimpan digudang sebagai persediaan), lemari Es, AC, Sterio dlsb. Para</div><div style="text-align: left;">pedagang Cina bukan kaliber kota kecil, tapi kaliber kota besar. Mereka</div><div style="text-align: left;">tetap "baik" seperti ketika di Kediri.</div><div style="text-align: left;">Tapi, "kebaikan" mereka harus menghadapi ujian. Sebab, pada tahun 1970</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya harus menyisihkan jabatannya karena seorang Brigjen Tentara mau</div><div style="text-align: left;">duduk dijabatan tsb. Alasan pergeseran pun ber-macam-macam, misalnya</div><div style="text-align: left;">korupsi, manipulasi. Dan kasus ini pernah dimuat di majalah sketmasa ( nama</div><div style="text-align: left;">majalah tak ingat benar). Kartawijaya berniat untuk mengajukan kedepan</div><div style="text-align: left;">pengadilan, karena namanya merasa dirugikan. Akhirnya, ia harus membatalkan</div><div style="text-align: left;">niatnya, karena oleh pengacaranya disarankan tak menuntut ke pengadilan.</div><div style="text-align: left;">Katanya, pergeseran ini bersifat politis. Jadi tidak dapat diganggu gugat.</div><div style="text-align: left;">Nanti yang celaka malahan keluarga.</div><div style="text-align: left;">Alasan politis? Komunis bukan. Yach, siapa yang berani melawan</div><div style="text-align: left;">"pahlawan-pahlawan" Orde Baru seperti tentara? Meskipun begitu, setahun</div><div style="text-align: left;">setelah mengenggur, ia boleh memangku jabatan lagi. Mula-mula di Solo,</div><div style="text-align: left;">kemudian di Surabaya. Ini semua berkat relasi keluarga. Yang menarik adalah</div><div style="text-align: left;">selama masa menganggur 1 tahun, kemana para pedagang Cina yang suka memberi</div><div style="text-align: left;">hadiah menghilang tanpa bekas. Rupanya mereka telah mendapat tuan baru.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sejak tahun 1969 putra II Kartawijaya mulai duduk dibangku kuliah ITB.</div><div style="text-align: left;">Setahun kemudian, meletus peristiwa RENECONRAD, yaitu seorang mahasiswa ITB</div><div style="text-align: left;">yang mati ditembak oleh BRIMOB. Kabarnya koma sih penmbak adalah seorang</div><div style="text-align: left;">siswa AKABRI kepolisian dan anaknya seorang Jendral. Cuma yang harus</div><div style="text-align: left;">menerima beban adalah anggota korps BRIMOB yang berpangkat rendah. Akhirnya</div><div style="text-align: left;">dia musti dipecat, dan mahasiswa Bandung mengumpulkan dana untuk menolong</div><div style="text-align: left;">keluarga prajurit yang berpangkat rendah tersebut. Peristiwa ini memberi</div><div style="text-align: left;">pelajaran betapa gampangnya pihak tentara menggunakan senjata api. Tapi</div><div style="text-align: left;">pada sa'at itu juga, mereka tak sanggup melawan massa yang begitu banyak,</div><div style="text-align: left;">biar panser mereka beertebaran dijalan.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">DI JERMAN BARAT: PENGALAMAN BARU</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Bekal yang dibawa oleh putra II Kartawijaya cukup banyak. Pengalaman</div><div style="text-align: left;">sekeluarga menghadapi PKI, lalu kasus Orde Baru menggerogoti keluarga</div><div style="text-align: left;">karena mungkin Kartawijaya "cuma" orang sipil saja. Tapi, dari dua jaman,</div><div style="text-align: left;">baik ORBA maupun ORLA ada pelajran yang menarik: meskipun Kaetawijaya tidak</div><div style="text-align: left;">pernah giat dn ikut partai politik, tapi karena jabatannya sebagai direktur</div><div style="text-align: left;">pabrik pabrik gula, maka ia harus dilalap oleh PKI. Kartawijaya termasuk</div><div style="text-align: left;">type keluarga yang maunya hidup tenang, tak ikut-ikutan, asal kerja buat</div><div style="text-align: left;">anak istrinya.</div><div style="text-align: left;">Pada jaman ORBA, karena pengaman pos-pos penting dan pembagian rejeki oleh</div><div style="text-align: left;">dan diantara tentara-tentara (kalau bukan begitu, maka jamannya juga bukan</div><div style="text-align: left;">Orde Baru), maka ia tergilas dalam kebijaksanaan Orde Baru. Oleh karena</div><div style="text-align: left;">itu, tak usah heran bila keluarga Kartawijaya sering tidak mengerti dengan</div><div style="text-align: left;">cepatnya perubahan jaman. Ter lebih-lebih istri Kartawijaya yang akhirnya</div><div style="text-align: left;">mencari perlindungan dari Tuhan: semakin susah jamannya, semakin banyak</div><div style="text-align: left;">sembahyang nya. Karena hukum yang dibuat oleh manusia ternyata hanya</div><div style="text-align: left;">melindungi yang punya kekuasaan belaka. Pengalaman-pengalaman masa lalu</div><div style="text-align: left;">dibawa ke Jerman Barat. Pergaulan dengan orang-orang Jerman banyak membuka</div><div style="text-align: left;">matanya. Satu hal yang menarik: orang-orang Jerman teman bergaulnya tak</div><div style="text-align: left;">dapat menerima sesuatu alasan hanya kareana misalnya "Konmunis jelek",</div><div style="text-align: left;">"Liberal jelek", "Orang yang tak bertuhan jelek", "Kiri jelek" dsb tanpa</div><div style="text-align: left;">alasan. Dan memang putra II Kartawijaya terlalu banyak mendengar dn</div><div style="text-align: left;">mengalami masa pahit selama PKI Jaya. Tapi dari pengalaman tsb ia banyak</div><div style="text-align: left;">belajar, bahwa ternyata banyak yang harus dibunuh, karena tidak tehuan</div><div style="text-align: left;">mereka. Dan dia turut terlibat menghancurkan PKI karena ketidak tahuan</div><div style="text-align: left;">belaka/ cuma alasan emosional, karena sang ayah di retool oleh PKI, lalu</div><div style="text-align: left;">dia berusaha membela.</div><div style="text-align: left;">Lalu kenapa banyak orang PKI harus mati, padahal sebelum mereka dibunuh</div><div style="text-align: left;">menangis meminta ampun dan kebanyakan dari mereka orang-orng biasa saja.</div><div style="text-align: left;">Tak tahu menahu. Apa Komunisme pun tak tahu. Coba bayangkan, kebanyakan</div><div style="text-align: left;">golongan Agama da Nasionalis bernggapan, orang-orang Komunis tak bertuhan.</div><div style="text-align: left;">Pernah seorang tukang tambal ban sepeda diajak ngobrol oleh putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya tentang asalah ini. Dia cuma bilang, "ach den, itu tidak benar.</div><div style="text-align: left;">Orang-orang Komunis juga, yang mau sembahyang ya sembahyang. Yang tidak ya</div><div style="text-align: left;">tidak. Teserah saja". "Yach, Komunis macam apa?", pikir putra II Kartawijaya.</div><div style="text-align: left;">Lalu, kenapa siswa-siswa yang tergabung dalam IPPI (bayangkan, masih kelas</div><div style="text-align: left;">1 SMA) pun harus membayar dengan nyawa mereka. Taunya apa? Sedangkan</div><div style="text-align: left;">pentolan-pentolan PKI nya seperti ketua SBG Ngadirejo sempat selamat.</div><div style="text-align: left;">Karena kesempatan buat mempelajari semua ideologi demikian bebas di Jerman</div><div style="text-align: left;">Barat, maka ia juga membuka pemikiran-pemikiran baru. Kalau orang belajar</div><div style="text-align: left;">sosiologi disini harus membaca teori-teorinya KARLMARX lalu setuju, maka</div><div style="text-align: left;">kenapa harus salah? Terpengaruh ? Lalu siapa yang salah? Yang mempengaruhi</div><div style="text-align: left;">atau uang dipengaruhi? Kenapa universitasnya saja yang tidak dihancurkan,</div><div style="text-align: left;">agar teori-teori itu tidak "merusak" pikiran orang Indonesia?</div><div style="text-align: left;">Lalu kalau bertahun-tahun bekerja dikantoe\rnya orang-orang Jerman yang</div><div style="text-align: left;">kiri dan di sana tak dikenal istilah bos atau bawahan, kemudian dianggap</div><div style="text-align: left;">baik oleh putra II Kartawijaya, kenapa tidak boleh? Semuanya kahn cuma</div><div style="text-align: left;">persoalan pendapat belaka. Diterima atau tidak. Kalu tidak diterima yach</div><div style="text-align: left;">syukur, diterima yach syukur juga. Tapi kenapa harus dilarang, dituduh?</div><div style="text-align: left;">Kenapa orang harus dibunuh karena ia mengnut suatu IDE? Toch waktu itu PKI</div><div style="text-align: left;">tidak dilarang. Kalau tak dilarang kan orang juga boleh masuk PKI? Itu khan</div><div style="text-align: left;">urusan mereka sendiri. Mungkin menurut mereka baik. Ya urusan pencernaan</div><div style="text-align: left;">IDE oleh otak mereka. Kalau anggota PKI banyak, itu cuma membuktikan</div><div style="text-align: left;">kepopulersn mereka saja. Mungkin mereka pandai jual obat.</div><div style="text-align: left;">Dilain pihak, kalau DI memberontak kenapa orang-orang Islam tidak dibunuh</div><div style="text-align: left;">semua? Lalu kenapa PNI digencet, meskipun mereaka telah turut menghancurkan</div><div style="text-align: left;">PKI di daerah Kediri? Lalu, kalu pimpinan AD memberontak, seperti pada</div><div style="text-align: left;">masa-masa silam, kenapa AD tidak dibubarkan saja kemudian, kalau PKI</div><div style="text-align: left;">dianggap berontak, kenapa Bung Karno harus turun dari Jabatan? Kenapa dia</div><div style="text-align: left;">tidak diadili?</div><div style="text-align: left;">Yang jelas, persoalan ORLA dan ORBA (kenapa dia demikian gampang memakan</div><div style="text-align: left;">anaknya sendiri) adalah persoalan sistim. Begiru kesimpulan yang didapat</div><div style="text-align: left;">oleh putra II Kartawijaya ini. Dan siapakah dimaksud dengan putra II</div><div style="text-align: left;">Kartawijaya ini? Dia adalah saya sendiri, PIPIT ROCHIJAT KARTAWIJAYA.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">PKI DAN BUKAN PKI TIDAK PENTING:</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Dengan sedikit latar belakang kehidupan tersebut (komplitnya sedang</div><div style="text-align: left;">dibuat), maka akan saya jawab pertanyaan apakah saya PKI atau bukan.</div><div style="text-align: left;">Pertanyaan demikian, secara prinsip al tak akan saya jawab. Sebab</div><div style="text-align: left;">pertanyaan serupa itu sama dengan pertanyaan: kamu Cina ya? Kamu blasteran</div><div style="text-align: left;">Cina ya? Kamu Arap ya? Dlsb. Kalau kamu PKI, maka pendpat mu tak benar.</div><div style="text-align: left;">Kalau kamu Cina (apalagi) maka pendapat mu/niatmu juga tidak benar.</div><div style="text-align: left;">Pertanyaan serupa ini hanya hendak menunjukkan saja bahwa yang dipentingkan</div><div style="text-align: left;">bukan lah pendapat, tapi warnanya belaka.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Terlepas Komunis atau tidak, Mao dapat memberi makan rakyat RRC yang</div><div style="text-align: left;">demikian banyaknya. Terlepas Islam atau tidak, Gaddafi dapat menciptakan</div><div style="text-align: left;">masyarakat yang boleh dicontoh. Dan buat apa kita mengaku punya Pancasila,</div><div style="text-align: left;">tapi rakyat hidup setengah mati disatu pihak, dan penguasa ber foya-foya</div><div style="text-align: left;">dilain pihak. Seperti juga kata ayah saya, "mau jadi Komunispun boleh</div><div style="text-align: left;">(meskipun ia tidak suka ide ini), asal punya prinsip maka begitu juga saya.</div><div style="text-align: left;">Mau dikatakan apapun boleh, terserah penilaian situ. Dan saya saya tak</div><div style="text-align: left;">melarang penilaian demikian. Situ mau berbuat apa yang dianggap benar, ya</div><div style="text-align: left;">terserah situ. Mau bermental seperti pedagang Cina ketiak ayah saya</div><div style="text-align: left;">menjabat, juga boleh (kalau butuh muka distel manis). Mau berbaik sama</div><div style="text-align: left;">orang Komunis karena dapat fasilitas hidup, tapi se olah-olah lupa kalau</div><div style="text-align: left;">suasananya sedang mentertawakan "antek-antek" PKI, juga boleh. Mau</div><div style="text-align: left;">berteriak paling "revolusioner" karena banyak dapat teman disana, tapi lalu</div><div style="text-align: left;">terpaksa perseneling dipasang mundur, gara-gara urusan hidup, depan orang</div><div style="text-align: left;">kiri mengaku kiri, didepan penguasa mengaku paling setia, juga boleh.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Oleh karena itu, hai "kawan-kawan" ku (hati-hati memakai istilah "KAWAN",</div><div style="text-align: left;">sebab setahu saya yang memakai istilah begini cuma Aidit, raja Komunis</div><div style="text-align: left;">Indonesia dulu. Bisa-bisa kamu dituduh komunis juga), jangan bertanya</div><div style="text-align: left;">terus, saya ini apa. Sebab, saya juga tidak pernah peduli dari mana kamu</div><div style="text-align: left;">berasal dan apa warna kamu. "Sana, urus sendiri-sendiri pokoknya punya</div><div style="text-align: left;">prinsip saja".</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sebagai penutup. Sebenarnya saya berkhayal demikian: Alangkah baiknya bila</div><div style="text-align: left;">Komunis dihancurkan secara total, sehingga dunia ini bersih dari komunisme.</div><div style="text-align: left;">Maka pertanyaan PKI dan bukan PKI tak mungkin ada. Setelah dunia bersih,</div><div style="text-align: left;">lalu Islam Ekstrim juga dibabat. Dan pertanyaan Islam Ekstrim dan bukan</div><div style="text-align: left;">Islam Ekstrim tidak akan muncul. Kalau perlu Islam yang tidak Ekstrim.</div><div style="text-align: left;">Setelah itu Cina juga dihabisi sampai ke jabang-jabangnya. Lalu, pertanyaan</div><div style="text-align: left;">Cina dan bukan Cina juga tak ada. Pokoknya apa-apa yang dianggap kotor</div><div style="text-align: left;">dibersihkan. Bila dunia ini sudah bersih, akhirnya yang tinggal cuma satu</div><div style="text-align: left;">pertanyaan saja. Yaitu:" You saudaranya pak Harto bukan?. Nah, apa yang</div><div style="text-align: left;">akan trjadi?</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Berlin Barat Februari 1984.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Pipit Rochijat</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sumber : Majalah gotong royong, perhimpunan pelajar Indonesia - Berlin</div><div style="text-align: left;">(April 1984)</div><div style="text-align: left;"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-65611043181189942202011-10-23T22:35:00.001+07:002011-12-26T11:23:00.337+07:00Wawancara Exclusif, dengan Sarjono Kartosuwiryo (Anak Kandung SM. Kartosuwiryo Pendiri DI/TII)<div style="text-align: justify;">Pada 1950-1960-an, hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerima gagasan negara Islam. Kini lebih kecil lagi: satu per dua atau tiga ribu. Demikian Sarjono Kartosuwiryo, anak kandung SM Kartosuwiryo (pendiri DI/TII), yang kini bergiat di Forum Silaturahmi Anak Bangsa kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (29 Maret) di Radio 68H Jakarta.<br />
————–<br />
<br />
<b>Beberapa waktu lalu ada sekelompok orang yang mengatasnamakan NII, yang meminta sumbangan dan melakukan beberapa penjarahan di Jawa Barat. Sebagai anak kandung almarhum SM Kartosuwiryo, pendiri DI/TII, apa tanggapan Anda?</b><br />
<br />
Pertama-tama saya kaget juga ketika ada gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sampai saat ini. Saya bertanya kepada diri sendiri, apa mungkin negara Islam dibangun di Indonesia dalam keadaan seperti ini? Sepanjang perhitungan saya dan pertimbangan akal sehat manusia, itu tak mungkin, kecuali hanya untuk menjual isu belaka.<br />
<br />
Pada beberapa siaran media massa, saya tercengang karena ada yang menghubung-hubungkan gerakan ini dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) SM Kartosuwiryo. Padahal, yang namanya DI/TII Kartosuwiryo itu selesai sejak 1962.<br />
<br />
Setelah itu, tak ada lagi gerakan yang menamakan DI/TII, baik di siaran pers maupun di tempat mana pun. Yang ada adalah gerakan sekelompok orang yang menamakan diri NII. Lalu, NII ini, terutama yang KW-IX di daerah Jakarta, mengadakan tindakan-tindakan yang abnormal, seperti tindak-tindak kriminal.<br />
<br />
<b><br />
Ada berapa KW di NII saat ini?</b><br />
<br />
Yang saya tahu ada sembilan. KW-I di Priangan Timur, KW-II di Jawa Tengah, KW-III di Jawa Timur, KW-IV di Sulawesi, KW-V di Aceh, KW-VI di Sumatera selain Aceh, KW-VII di Garut dan Bandung, KW-VIII di Kalimantan, dan KW-IX di Jakarta.<br />
<br />
Nah, sampai kini gerakan ini masih hidup, independen, dan terlepas dari induknya. Dan, di antara orang-orang yang aktif di KW-IX tidak ada satu pun anak Kartosuwiryo, ataupun bekas anak buahnya. Semua adalah orang-orang baru yang mengambil isu Negara Islam Indonesia supaya produknya bisa dijual.<br />
<br />
<b>Sepertinya ada keterputusan ideologis antara Anda dan almarhum ayah Anda. Apa bisa disebut Anda bukan anak ideologisnya?</b><br />
<br />
Bagi saya, Islam itu berasal pada suatu keinginan hidup yang mendambakan keselamatan di dunia dan di akhirat. Itulah yang selalu didengungkan para mubalig. Itu sudah merupakan cita-cita umum umat Islam. Kita ini selalu mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.<br />
<br />
Nah, Kartosuwiryo ini memodifikasi model mencapai kebahagiaan itu. Dalam perjalanan hidupnya, dia memulai karir di Serikat Dagang Islam (SDI), lalu di Serikat Islam (SI), di Partai Islam Indonesia (PII), ke Masyumi, sampai kemudian mendirikan DI/TII.<br />
<br />
Itu semua dia lakukan untuk mengangkat Islam dan bangsa Indonesia dari kondisi keterpurukan penjajahan menjadi bangsa yang terhormat di mata dunia. Tapi, sayang, pada 1962, para pengikutnya di seluruh wilayah Indonesia baru berjumlah 40 ribu dari total jumlah penduduk Indonesia yang sudah berjumlah 40 juta saat itu. Jadi, rasionya satu berbanding seribu. Itu suatu kepemimpinan yang tidak mungkin.<br />
<br />
Akhirnya, gerakan itu berakhir pada 1962 dengan keluarnya Maklumat Imam yang menyerukan untuk mengakhiri tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Ketika itu, usia saya baru lima tahun. Dan, saya dibesarkan sudah di daerah ini, di negeri ini, ketika bapak saya meninggal.<br />
<br />
<b>Jadi, ada modifikasi?</b><br />
<br />
Ya, ada modifikasi dalam sejarah hidup Kartosuwiryo. Awalnya dia masuk di SDI, lalu SI, lalu PII. Akhirnya, dia membentuk DI/TII. Jadi, ada perkembangan mental dan keorganisasian sesuai dengan kondisinya saat itu. Begitu juga saya. Saya harus berkembang mengikuti kondisi masyarakat saat ini. Jadi, saya tetap harus bergumul dengan kondisi saat ini. Kalau tidak bergumul, perjuangan saya bisa mati.<br />
<br />
<b>Kita tahu, dulu ayah Anda membuat konstitusi Darul Islam yang bersifat eksklusif. Salah satu butirnya mengatakan bahwa pemimpin negara wajib Islam dan menteri-menterinya juga wajib Islam semua. Kalau dievaluasi, apakah pemikiran seperti itu perlu?</b><br />
<br />
Inti pertanyaan Anda adalah: mungkin nggak saya menarik model tahun 1962 itu ke model tahun 2007, sampai ke depan? Nah, model ini sudah saya jelaskan dari awal; hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerimanya. Sisanya belum menerima.<br />
<br />
Ketika itu saja, pemasarannya sudah begitu. Apalagi sekarang; angkanya pasti lebih kecil. Mungkin sudah menjadi satu per dua ribu atau satu per tiga ribu. Jadi, sesuatu yang tidak mungkin kalau kondisi masyarakat Indonesia seperti ini.<br />
<br />
<b>Apa itu berarti masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ingin ber-Islam secara kultural saja tanpa memaksakan ideologi Islam pada aspek kenegaraan?</b><br />
<br />
Ya. Islam Indonesia itu kan Islam yang sangat awam. Orang mengartikan Islam itu hanya di KTP (kartu tanda penduduk). Memang, ada kelompok tertentu yang mempelajari Islam lebih dalam. Tapi, mayoritas umat Islam itu hanya KTP. Dan, karena itu, tidak mungkin dibangun suatu Negara Islam di atas masyarakat seperti itu.<br />
<br />
<b>Apakah suatu saat perlu dibangun Negara Islam di Indonesia?</b><br />
<br />
Itu sama dengan pertanyaan: seandainya saat ini adalah kerajaan dinosaurus, kemudian dua ribu tahun lagi ada kerajaan kera, apakah mungkin dibangun negeri kera? Wah, itu tidak bisa saya jawab. Suatu masa yang berbeda itu tidak bisa diandai-andaikan.<br />
<br />
<b>Pernahkan Anda bersentuhan langsung dengan orang-orang yang masih berpikir perlunya Negara Islam Indonesia?</b><br />
<br />
O, banyak. Jadi, memang mereka berpikiran ideal. Artinya, untuk mengangkat nilai-nilai Islam supaya Islam bermarwah, orang Islam diharuskan untuk mendirikan negara Islam. Mereka berpikir, kalau orangnya Islam, negara idealnya harus Islam. Itu bukan berarti bentuk negara lain tidak bisa, bisa saja, tapi itu tidak dianggap ideal.<br />
<br />
<b>Aspek-aspek apa yang membuat negara Islam itu mereka anggap ideal?</b><br />
<br />
Yang jelas, adanya kontrol. Dalam negara kita sekarang, tidak ada kontrol dari Tuhan. Di negara Islam, setiap individu setiap hari dikontrol oleh Tuhan. Dengan begitu, dia tidak berani untuk melanggar walaupun pimpinannya tidak ada.<br />
<br />
Saat ini asumsi seperti itu kan dianggap naïf. Setiap kekuasaan diandaikan punya potensi untuk korup. Makanya diadakan institusi pengontrol pemerintahan, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.<br />
<br />
<b>Apakah gagasan seperti itu tidak menarik bagi yang memperjuangkan negara Islam?</b><br />
<br />
Menarik atau tidak, itu bergantung pada konteks orangnya. Kalau melihat dari jumlah orang yang setuju daripada yang tidak setuju negara Islam, sekarang (yang setuju) memang masih sangat kecil, yaitu di bawah 10 persen.<br />
<br />
<b>Jadi, gagasan negara Islam belum menarik atau belum memikat?</b><br />
<br />
Ya. Sebab, tidak ada bukti yang nyata bahwa negara Islam mampu memberikan jawaban atas tuntutan-tuntutan masyarakat. Ketika suatu masyarakat berpikir terhadap negara Islam, mestinya dia minta tuntutan, dong! Saya mau sekolah, tapi sekolah di mana? Saya mau kerja, tapi kerja di mana? Kalau itu tidak bisa dijawab, (gagasan itu) akan ditinggalkan.<br />
<br />
<b>Berarti ada aspek praktis yang juga harus ditanggulangi oleh para ideolog negara Islam sekalipun?</b><br />
<br />
Ya. Dalam tataran tekstual, memang itu (negara Islam) sesuatu yang ideal. Tapi, itu tidak bisa diterapkan dalam masyarakat yang tidak ideal. Kemiskinan dan kebodohan itu harus dilepaskan dulu. Jadi, masyarakat harus dipintarkan dulu biar tidak bodoh lagi, biar tidak miskin. Orang yang miskin itu tidak peduli terhadap negara Islam atau tidak.<br />
<br />
<b>Apakah saat ini Anda punya ideologi yang berseberangan dengan almarhum ayah Anda?</b><br />
<br />
Masalah ideologi itu kan rumusan tentang suatu cita-cita. Kita pengin begini, mimpi begini. Saya rasa, saya tidak pernah berseberangan dengan bapak saya. Jangankan dengan bapak saya, dengan seluruh umat Islam di dunia juga saya tidak pernah bisa berseberangan. Saya hanya menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat.<br />
<br />
Problemnya, ada beberapa paket untuk selamat dunia-akhirat. Yang minimal adalah paket menjalankan segenap rukun dan ajaran Islam, tanpa harus diurus negara sekalipun. Tapi, ada juga yang ingin paket maksimal atau kaffah.<br />
<br />
<b>Paket mana yang Anda pikirkan?</b><br />
<br />
Paket saya adalah paket yang minimal tapi kaffah. Ketika semua persyaratannya sudah kaffah, suatu dosa kalau kita tidak melakukannya. Ketika kita sudah punya waktu, ketika sudah mengambil wudu, tapi tidak melakukan salat, itu adalah suatu dosa. Begitu juga dengan yang lain-lain.<br />
<br />
Tapi, contoh salat itu kan sederhana. Tanpa diurus negara, kita bisa salat di mana pun, bisa wudu di mana pun; yang penting ada airnya. Dan, kalau tidak ada air pun, kita bisa tayamum…. (novriantoni)</div><div style="background-color: transparent; border: medium none; color: black; overflow: hidden; text-align: justify; text-decoration: none;"><br />
Sumber: http://www.indoforum.org/t62383/#ixzz1bcSq86YW <br />
Hak Cipta: www.indoforum.org </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-87945191073044757582011-10-21T22:05:00.002+07:002011-10-21T22:05:10.719+07:00Isi Maklumat Wakil Presiden dan Maklumat Pemerintah No. X<div style="text-align: justify;">Sebagai Wakil Presiden, Mohammad Hatta menunjukkan peran yang sangat besar dalam pengambilan keputusan dengan mengeluarkan beberapa produk hukum. Beberapa produk hukum yang pernah dikeluarkan oleh Mohammad Hatta, antara lain Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan eksekutif, yang sehari-hari dilakukan oleh Badan Pekerja KNIP. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun isi Maklumat X itu selengkapnya berbunyi: </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesudah mendengar pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dibentuk, kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional menurut Pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar hendaknya dikerjakan oleh Komite Nasional Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat; </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menimbang bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia, di sebelah Pemerintah; </div><div style="text-align: justify;">Menimbang selanjutnya bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat;</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Memutuskan; </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar dari pada Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selain mengeluarkan Maklumat No. X, Mohammad Hatta juga pernah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang anjuran kepada rakyat untuk membentuk partai-partai politik, yang isinya berbunyi sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada Pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu, bahwa:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1.Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">2.Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-66847035267112681382011-10-21T22:00:00.003+07:002011-10-21T22:00:41.437+07:00Konsep tentang Masyarakat , Struktur dan Peristiwa.<div style="text-align: justify;">Sejauh ini masalah yang menjadi tema diskusi-diskusi di kalangan sejarawan sosial adalah persoalan konsepsi tentang masyarakat, struktur-struktur dan peristiwa yang terdapat di dalamnya. Berbagai konsep telah dikemukakan seputar masalah ini. Konsep awal tentang ini telah ditunjukkan oleh kalangan strukturalis yang mengkonsepsikan masyarakat sebagai suatu kesatuan sendiri dan tidak hanya sekedar kolektifitas individu. Masyarakat memiliki struktur-struktur yang terdiri dari kesatuan-kesatuan dan properti-properti social yang hubungan antar struktur itu bersifat ketat (tighly structured) dan penjelasannya harus berkaitan dengan hubungan fungsional yang diduga dengan sistem sosial yang holistik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Analisis yang dilakukan oleh kalangan strukturalis diarahkan pada struktur social yang lebih menekankan pada aspek keumuman serta menempatkan kejadian/peristiwa pada bahagian terpisah dari studi sejarah struktural. Obyek sejarah struktural lebih ditekankan pada analisis terhadap struktur sosial yang dinamis dengan menggunakan generalisasi sebagai kesimpulan teoritis. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, bila suatu realitas sosial diungkapkan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang unik, maka sukar untuk dirumuskan dalam bentuk generalisasi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu kalangan strukturis mengkonsepsikan masyarakat sebagai satu kesatuan yang memiliki struktur yang digabungkan secara longgar (losely structured). Ia merupakan kumpulan relasi-relasi, peraturan-peraturan dan peran-peran yang selalu berubah dan mengikat kolektifitas individu melalui organisasi, ciri-ciri dan kekuatan sendiri yang muncul dari aksi-aksi, keperibadian dan alasan-alasan kolektiv dari individu untuk menjaga kelangsungan struktur (reproduksi) atau untuk melakukan perubahan-perubahan (transformasi). Masyarakat, menurut pandangan strukturisme, merupakan teori umum yang mutlak historik, karena struktur kelembagaan sosial adalah merupakan hasil dari individu secara kolektif. Ini menunjukkan proses dialektis di mana struktur, sistem peraturan, peranan, relasi-relasi dan arti yang dilembagakan dapat diproduksi dan ditransformasi melalui fikiran manusia dalam suatu waktu. Struktur, menurut pandangan strukturis adalah sebagai sistem peraturan sosial, peranan, relasi-relasi dan simbol-simbol di mana peristiwa, tindakan dan fikiran berlangsung (Lloyd, 1993) Karena itu kalangan Strukturis menempatkan struktur dan peristiwa pada bahagian yang sama dalam analisis sejarahnya.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-79097511800914913612011-10-15T19:56:00.000+07:002011-10-15T19:56:37.046+07:00Historiografi TradisionalHistoriografi (penulisan sejarah) adalah rekonstruksi yang imajinatif dari pada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses metode sejarah (Gottschalk, 1975: 32). Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawawan itu hidup. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi Indonesia Tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M (Adityana, 2007). <br />
Ciri-Ciri Historiografi Tradisional<br />
Adapun ciri-ciri Historiografi Tradisional dari berbagai sumber yang didapatkan, sebagai berikut:<br />
a. Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.<br />
Contoh: <br />
Kakawin Nagarakrtagama mengisahkan perjalanan Raja Hayam Wuruk beserta sejarah seputar keluarganya. Penulis Prapanca menceritakan kehidupan istana Majapahit pada masa Hayam Wuruk berkuasa. Pararaton merupakan kitab yang menceritakan para raja yang pernah berkuasa sejak Ken Angrok di kerajaan Tumapel hingga Majapahit akhir. Kehidupan dan intrik-intrik politik penguasa kerajaan sangat kental dan menjadi topic utama.<br />
b. Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.<br />
Contoh:<br />
Pararaton menyebutkan kematian Tohjaya pada tahun 1172 Çaka, namun Nagarakrtagama menyebutkan kematiannya pada tahun 1170 Çaka. Bila dikorelasikan dengan angka tahun raja penggantinya, yaitu nararyya Sminingrat, maka angka tahun dalam Nagarakrtagama lebih dapat dipercaya. Hal ini dapat dilihat dari angka tahun Prasasti Maribong yang dikeluarkan oleh nararyya Sminingrat pada tahun 1170 Çaka. Oleh karena itu, Sminingrat pada tahun 1170 Çaka telah naik tahta kerajaan Tumapel menggantikan Tohjaya. Hal ini sesuai pemberitaan Prasasti Mula-Malurung (1177 Çaka) pada lempeng III sisi belakang (verso).<br />
c. Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali tidak rasional.<br />
Contoh:<br />
Ken Angrok dalam Pararaton diceritakan sebagai anak Dewa Brahma, dan saat muda ia merupakan penitisan Dewa Wisnu, setelah ia menjadi penguasa Tumapel maka dia melegitimasikan diri sebagai Putra Girinata (Siwa). Konsep Dewa-Raja dalam kepercayaan Jawa Kuno telah dijadikan media untuk para perebut tahta diakui oleh para masyarakat umum. <br />
d. Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.<br />
e. Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).<br />
Contoh:<br />
Pararaton menceritakan kelahiran Ken Angrok merupakan hasil hubungan antara Ken Ndok dengan Dewa Brahma. Cerita tentang pembelahan kerajaan Airlangga menjadi Jenggala dan Panjalu oleh Mpu Baradah dalam kakawin Nagarakrtagama.<br />
f. Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.<br />
Contoh:<br />
Peristiwa-peristiwa dalam Carita Panji memiliki sumber yang tidak jelas. Bahkan kebenaran sejarah peristiwa yang diceritakan tidak dapat dibuktikan.<br />
g. Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.<br />
h. Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja (Adityana, 2007).<br />
Contoh:<br />
Cerita para raja dalam Pararaton merupakan cuplikan-cuplikan sepak terjang para raja dari masa Ken Angrok hingga keturunannya di Majapahit. Intrik-intrik politik, perebutan kekuasaan antar keluarga sangat mendominasi cerita Pararaton.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-21162630660251387942011-10-15T19:50:00.000+07:002011-10-15T19:50:27.728+07:00Perkembangan kebijakan sistem pertahanan AustraliaAustralia sebagai negara benua yang terletak diselatan khatulistiwa yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat keturunan Inggris (Anglo<br />
Celtic), masyarakat Australia merasa terisolir oleh lingkungan luarnya. Jika kita menganalisis dari segi historis, kultur, bahasa, tradisi dan sistem politik demokrasi masyarakat Australia lebih dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat, namun secara geografis Australia berdekatan dengan Asia. Kedekatan geografis dengan Asia dipandang bukan sebagai hikmah melainkan sebagai bencana. Ketakutan Australia pada Asia ini sudah muncul pada tahun 1850-an ketika Australia menemukan tambang-tambang emas dan perak dinegerinya yang akan mengundang pendatang dari Asia khususnya Cina.<br />
<br />
Politik Isolasionis bukan saja berlaku pada kebijakan keimigrasian, tetapi juga pada kebijakan pertahanannya. Konsekuensinya, Australia selalu peduli pada perkembangan lingkungan strategisnya, khususnya untuk mencegah datangnya ancaman dari utara. Karena persepsi terisolasi dan ketidak mampuaannya mempertahankan diri sendiri itu pula yang menyebabkan timbul budaya strategis pada para perancang pertahanan Australia yang selalu melihat perlunya kekuatan luar yang besar yang dapat melindunginya, yang dikenal dengan Imperial Benevolent.<br />
<br />
Antara 1788 sampai dengan 1941 kekuatan besar pelindung Australia adalah induk semangnya sendiri, Inggris. Perang Dunia Kedua menyebabkan Inggris harus lebih mempertahankan keamanan dirinya di Eropa ketimbang melindungi anak-anak jajahannya di Asia Tenggara, sehingga menyebabkan jatuhnya Singapura ke tangan Jepang. Ini menyebabkan Australia mengalihkan ketergantungannya dari Inggris kepada Amerika Serikat (AS), atau dikenal sebagai dari “Pax Britannica” ke “Pax Americana”. Untuk itulah Australia harus bersedia membantu AS yang mereka pandangjuga untuk mendapatkan jaminan keamanan darinya. Fokus perhatian AS untuk mencegah perluasan komunisme di Asia Pasifik menyebabkan Australia mengembangkan “Forward Defence Strategy” (Strategi Pertahanan Depan) yang di wujudkan antara lain melalui keikutsertaan Australia dalam Politik Pembendungan Komunisme (Containment Policy) AS di Asia, seperti dalam perang Korea dan Perang Vietnam. Selain itu, Australia juga bergabung dalam Pakta Pertahanan Asia Tenggara (South East Asia Treaty Organization – SEATO), British Commonwealth Far East Strategic Reserve (FESR) dan segitiga kerjasama pertahanan Australia, New Zealand and the United States (ANZUS). Ini sesuai dengan kepentingan pertahanan Australia.<br />
<br />
Perubahan kebijakan Pertahanan Amerika Serikat terhadap kawasan Asia Tenggara pada masa Presiden Richard Nixon (Doktrin Nixon 1969) juga mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan Australia dari ketergantungannya yang begitu besar pada aliansinya dengan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya menjadi suatu upaya untuk <br />
memperkuat defence self-reliance. Ini bukan berarti Australia tidak ingin lagi beraliansi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat atau tak mau lagi membangun jaringan pertahanan dengan negara-negara tetangganya, melainkan adanya upaya agar semakin mandiri dibidang pertahanan.<br />
<br />
Gagasan Self-defence strategy baru benar-benar diimplementasikan pada akhir 1980an seperti yang termaktub dalam Dibb’s Report 1986 dan buku putih Pertahanan Australia 1987. Walaupun demikian Australia tetap tidak merasa mampu untuk mempertahankan keamanannya sendiri Tanpa bantuan AS atau kerjasama pertahanan dengan Negara-negara tetangganya. Karena itu, selain mempertahankan kerjasama pertahanan dengan AS dalam kerangka ANZUS, Australia juga berupaya untuk membangun jarring-jaring pertahanan keamanannya dengan Negara-negara tetangga Asia Tenggara dan Asia Pasifik. <br />
<br />
Perkembngan lingkungan strategis pada akhir 1980an juga mengubah secara bertahap budaya strategis Australia dari pertahanan continental menjadi pertahanan maritime. Hal ini di buktikan John Howard pada masa pemerintahannya mengumumkan suatu kebijakan baru tentang informasi wilayah maritim Australia yang dikenal dengan nama Australia’s Maritime Identification Zone (AMIZ) pada tahun 2004 (melalui pernyataannya “Strengthening Australia’s Offshore Maritime Security”). AMIZ adalah suatu implementasi dari Program Missile Amerika (Standard Missile-3/SM-3) karena keikutsertaan Australia dalam program tersebut. Dengan diberlakukannya AMIZ sejauh 1000-1500 mil laut dari wilayah Australia, maka terdapat kewajiban bagi kapal-kapal barang atau manusia yang akan berlayar dan belabuh dipelabuhan-pelabuhan Australia untuk memberi tahu siapakan nahkoda dan anak buah kapalnya, membawa barang apa, berapa penumpangnya, akan menuju kepelabuhan mana di Australia dan sebagainya. <br />
<br />
Berbagai Program keamanan mulai dari Dibb’s Repport 1986: Review of Australia’s Defence Capabilities, Buku Putih Pertahanan Australia 1987: The Defence of Australia, Buku Putih Pertahanan 1994: Defending Australia, Australia’s Strategic Policy 1997, Defence White Paper 2000: Our Future Defence Force, Defence White Paper 2003: A Defence Update. Di gunakan untuk mempertahankan keamanan dan wilayah dari berbagai ancaman dan sebagai upaya untuk memperkuat Defence Self-Reliance.<br />
<br />
Kalau dibandingkan dengan kebijakan pertahanan di era PM John Howard, sebenarnya tidak ada beda secara prinsipil. Maksudnya Australia tetap akan menjadi pemain regional dan militernya akan terus bersifat sebagai expeditionary forces. Australia tidak ingin melihat instabilitas di kawasan sekitar Australia, karena instabilitas itu akan ganggu stabilitas Australia.<br />
Dari situ bisa disimpulkan bahwa kalau pun ada perbedaan kebijakan dengan era PM Howard, lebih banyak pada program-program saja. Misalnya pengadaan suatu alutsista dari jenis X yang diputuskan di masa Howard dinilai tidak sesuai kebutuhan pertahanan. Kemudian oleh PM Rudd diganti menjadi jenis Y. Jadi perubahan kebijakan yang terjadi sifatnya tidak substansial. Dalam konteks Angkatan Laut, sepertinya PM Rudd akan meneruskan keputusan soal air warfare destroyer yang diputuskan oleh PM Howard. Nggak ada yang berubah. So…sesungguhnya antara kebijakan di masa PM Howard dan PM Rudd tidak ada perbedaan substansial.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-91811354555637790752011-10-15T19:45:00.004+07:002011-10-15T19:47:27.429+07:00Pengertian dan macam-macam Arsip<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip adalah:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut asal kata</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">, arsip berasal dari bahasa Belanda yaitu archief yang berarti tempat penyimpanan secara teratur bahan-bahan arsip : bahan-bahan tertulis, piagam, surat, keputusan, akte, daftar, dokumen, dan peta (Atmosudirjo : 1982).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut UU No.7 Tahun 1971</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan, arsip dalah naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lembaga pemerintah, swasta aupun perorangan dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">The Georgia Archeves (2004)</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> menyebutkan bahwa arsip dapat berasal dari berbagai bentuk, yaitu semua dokumen, kertas, surat, peta, buku (kecuali buku yang dikelola perpustakaan), microfilm, magnetic tape, atau bahan lain tanpa menghiraukan bentuk fisiknya dibuat atau diterima menurut undang–undang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut <b><i>International standars Organization (ISO),</i></b> arsip adalah informasi yang disimpan dalam berbagai bentuk, termasuk data dalam komputer, dibuat atau diterima serta dikelola oleh organisasi maupun orang dalam transaksi bisnis dan menyimpannya sebagai bukti aktivitas (ISO/DIS15489). </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut <b>Deserno dan Kynaston (2005</b>) arsip adalah dokumen dalam media yang mempunyai nilai historis atau hukum sehingga disimpan secara permanen.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Jadi bisa disimpulkan bahwa pengertian arsip berdasarkan beberapa pendapat di atas adalah:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">arsip merupakan informasi yang terkandung dalam berbagai bentuk berkas (lembaran </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">kertas), file elektronik, maupun bentuk lain yang dibuat, diterima, atau dikelola oleh organisasi maupun perorangan dan menyimpannya sebagai hasil dan bukti dari suatu kegiatan. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sedangkan macam-macam arsip dapat digolongkan atas berbagai jenis atau macam, tergantung dari sisi peninjauannya, antara lain: </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">A.</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> <b>Berdasarkan Fungsi</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut fungsi dan kegunaanya, arsip dapat dibedakan menjadi:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">(a) Arsip dinamis, yakni arsip yang masih dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, dan atau penyelenggaraan administrasi perkantoran.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">(b) Arsip statis, yaitu arsip yang tidak dipergunakan lagi secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, aan atau penyelenggaraan aamlnlstrasl perkantoran, atau sudah tidak dipakai lagi dalam kegiatan perkantoran sehari-hari.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">B.</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> <b>Berdasarkan Nilai Guna</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ditinjau dari segi kepentingan pengguna, arsip dapat dibedakan atas:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">a. Nilai guna primer yaitu : nilai arsip yang didasarkan pada kegunaan untuk kepentingan lembaga/instansi pencipta atau yang menghasilkan arsip. Nilai guna primer meliputi: </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">* Nilai guna administrasi yaitu : nilai guna arsip yang didasarkan pada kegunaan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga/instansi pencipta arsip. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">* Nilai guna hukum yaitu : arsip yang berisikan bukti-bukti yang mempunyai kekuatan hukum atas hak dan kewajiban warga negara dan pemerintah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">* Nilai guna keuangan yaitu : arsip yang berisikan segala hal yang menyangkut transaksi dan pertanggungjawaban keuangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">* Nilai guna ilmiah dan teknologi yaitu : arsip yang mengandung data ilmiah dan teknologi sebagai akibat/hasil penelitian murni atau penelitian terapan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">b. Nilai guna sekunder yaitu : nilai arsip yang didasarkan pada kegunaan arsip sebagai kepentingan lembaga/instansi lain, dan atau kepentingan umum di luar instansi pencipta arsip, serta kegunaannya sebagai bahan bukti pertanggungjawaban kepada masyarakat/pertanggungjawaban nasional.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Nilai guna sekunder, juga meliputi:</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Nilai guna pembuktian, yaitu arsip yang mengandung fakta dan keteranganyang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang bagaimana lembaga/isntansi tersebut diciptakan, dikembangkan, diatur fungsinya, dan apa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, serta apa hasil/akibat dari kegiatan itu.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Nilai guna informasi, yaitu arsip yang mengandung informasi bagi kegunaanberbagai kepentingan penelitian dan sejarah, tanpa dikaitakan dengan lembaga/instansi penciptanya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">C. Berdasarkan sifat</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Berdasarkan sifatnya, arsip dapat dibedakan atas :</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip tertutup, yaitu arsip yang dalam pengelolaan dan perlakuannya berlaku ketentuan tentang kerahasian surat-surat.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip terbuka, yakni pada dasarnya boleh diketahui oleh semua pihak/umum. </span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">D.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Berdasarkan tingkat penyimpanan dan pemeliharaannya</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut tingkat penyimpanan dan pemeliharaannya, arsip dibagi atas :</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip sentral, yaitu arsip yang disimpan pada suatu pusat arsip (depo arsip), atau arsip yang dipusatkan penyimpan dan pemeliharaannya pada suatu tempat tertentu. </span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip pemerintah, yang mengandung nilai khusus ada yang disimpan secara nasional di Jakarta yaitu pada Lembaga Arsip Nasional Pusat yang disebut dengan nama ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia).</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip unit, yaitu arsip yang disimpan di setiap bagian atau setiap unit dalam suatu organisasi. Arsip unit disebut juga arsip mikro atau arsip khusus, karena khusus hanya menyimpan arsip yang ada di unit yang bersangkutan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">E. Berdasarkan Keasliannya</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut keasliannya, arsip dibedakan atas: arsip asli, arsip tembusan, arsip salinan, dan arsip petikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">F. Berdasarkan Subyeknya</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Berdasarkan subyek atau isinya, arsip dapat dibedakan atas berbagai macam, misalnya: Arsip keuangan, Arsip Kepegawaian, Arsip Pendidikan, Arsip Pemasaran, Arsip Penjualan, dan sebagainya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">G. Berdasarkan Bentuk dan Wujudnya</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Menurut bentuk atau wujudnya, arsip terdiri dari:</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip Konvensional, yaitu arsip yang biasa disebut sebagai arsip tekstual dengan media kertas. Misal, arsip kartografik dan arsip kearsitekturan.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip Media Baru, yaitu arsip yang biasa disebut arsip nontekstual yaitu arsip berupa film (moving images), video, VCD/DVD, microfilm, foto, rekaman suara, dll. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">H. Berdasarkan Sifat Kepentingannya</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip penting, yaitu arsip yang mempunyai nilai hukum, pendidikan, keuangan, dokumentasi, sejarah, dan sebagainya.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-indent: -18pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Wingdings; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Arsip vital, yaitu arsip yang bersifat permanen, disimpan untuk selama-lamanya, misalnya akte, ijazah, buku induk mahasiswa, dsb.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt;"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-8698817595535086992011-02-23T22:24:00.000+07:002011-02-23T22:24:31.618+07:00Mohammad Hatta Biografi Singkat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://djaka1.files.wordpress.com/2010/08/moh-hatta.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="185" src="http://djaka1.files.wordpress.com/2010/08/moh-hatta.jpg" width="200" /></a></div><br />
<strong>Mohammad Hatta</strong> lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.<br />
<br />
<br />
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.<br />
<br />
Masa Studi di Negeri Belanda<br />
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).<br />
<br />
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.<br />
<br />
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.<br />
<br />
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.<br />
<br />
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.<br />
<br />
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.<br />
<br />
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.<br />
<br />
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.<br />
<br />
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).<br />
<br />
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.<br />
<br />
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.<br />
<br />
Kembali ke Tanah Air<br />
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.<br />
<br />
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).<br />
<br />
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.<br />
<br />
Masa Pembuangan<br />
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.<br />
<br />
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).<br />
<br />
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.<br />
<br />
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang<br />
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.<br />
<br />
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.<br />
<br />
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."<br />
<br />
Proklamasi<br />
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.<br />
<br />
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.<br />
<br />
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.<br />
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.<br />
<br />
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.<br />
<br />
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia<br />
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.<br />
<br />
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.<br />
<br />
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.<br />
<br />
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.<br />
<br />
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.<br />
<br />
Periode Tahun 1950-1956<br />
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).<br />
<br />
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.<br />
<br />
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.<br />
<br />
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.<br />
<br />
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.<br />
<br />
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.<br />
<br />
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.<br />
<br />
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.<br />
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.<br />
<br />
Berikut Biodata dari Mohammad Hatta<br />
<br />
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)<br />
<br />
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902<br />
<br />
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980<br />
<br />
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim<br />
<br />
Anak :<br />
<br />
* Meutia Farida<br />
* Gemala<br />
* Halida Nuriah<br />
<br />
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986<br />
<br />
Pendidikan :<br />
<br />
* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)<br />
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)<br />
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)<br />
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)<br />
<br />
Karir :<br />
<br />
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)<br />
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)<br />
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)<br />
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)<br />
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)<br />
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)<br />
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)<br />
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)<br />
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)<br />
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)<br />
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)<br />
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)<br />
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)<br />
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)<br />
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)<br />
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)<br />
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)<br />
<br />
[Dari Berbagai Sumber]Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-64116804943823270252011-01-22T22:06:00.000+07:002011-01-22T22:06:51.020+07:00Gerakan Freemason dalam Lintasan Sejarah IndonesiaMeski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.<br />
<br />
Di antaranya adalah: Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).<br />
<br />
Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.<br />
<br />
Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional.<br />
<br />
Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia. Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.<br />
<br />
Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.<br />
<br />
Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini.<br />
<br />
Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering.<br />
<br />
Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bin - tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).<br />
<br />
Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”<br />
<br />
Jadi, misi Freemason adalah “menghapus pemisah antarmanusia!”. Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah 'agama'. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”<br />
<br />
Paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity. Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.<br />
<br />
Prinsip Freemasonry adalah 'Liberty, Equality, and Fraternity'. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996). Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.<br />
<br />
Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas alir n positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason.<br />
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/10/07/16/125000-gerakan-freemason-dalam-lintasan-sejarah-indonesiaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-1129880013650536722011-01-18T22:10:00.000+07:002011-01-18T22:10:44.137+07:00Sejarah Monumen Nasional (Monas) Jakarta<iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=1936594609&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe>Monas atau Monumen Nasional merupakan icon kota Jakarta. Terletak di pusat kota Jakarta, menjadi tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Monas didirikan pada tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian pada tahun 1961.<br />
<br />
Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir. Rooseno. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.<br />
<br />
Sedangkan wilayah taman hutan kota di sekitar Monas dahulu dikenal dengan nama Lapangan Gambir. Kemudian sempat berubah nama beberapa kali menjadi Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas dan kemudian menjadi Taman Monas.<br />
<br />
1. Ukuran dan Isi Monas<br />
Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.<br />
<br />
2. Lidah Api<br />
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.<br />
<br />
3. Pelataran Puncak<br />
Pelataran puncak luasnya 11x11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.<br />
<br />
4. Pelataran Bawah<br />
Pelataran bawah luasnya 45x45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.<br />
<br />
5. Museum Sejarah Perjuangan Nasional<br />
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu Museum Nasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80x80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://kumpulan.info/images/stories/travel/monas-ukuran.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://kumpulan.info/images/stories/travel/monas-ukuran.jpg" width="257" /></a></div><div style="text-align: center;"><br />
</div>Di taman ini Anda dapat bermain bersama kawanan rusa yang sengaja didatangkan dari Istana Bogor untuk meramaikan taman ini. Selain itu Anda juga dapat berolahraga di taman ini bersama teman maupun keluarga.<br />
<br />
Taman Monas juga dilengkapi dengan kolam air mancur menari. Pertunjukan air mancur menari ini sangat menarik untuk ditonton pada malam hari. Air mancur akan bergerak dengan liukan yang indah sesuai alunan lagu yang dimainkan. Selain itu ada juga pertunjukkan laser berwarna-warni pada air mancur ini.<br />
<br />
Bagi Anda yang ingin menjaga kesehatan, selain berolahraga di Taman Monas, Anda pun dapat melakukan pijat refleksi secara gratis. Di taman ini disediakan batu-batuan yang cukup tajam untuk Anda pijak sambil dipijat refleksi. Di taman ini juga disediakan beberapa lapangan futsal dan basket yang bisa digunakan siapapun.<br />
<br />
Jika Anda lelah berjalan kaki di taman seluas 80 hektar ini, Anda dapat menggunakan kereta wisata. Taman ini bebas dikunjungi siapa saja dan terbuka secara gratis untuk umum.<br />
<br />
Wisata Monas<br />
Untuk mengunjungi Monas, ada banyak jenis transportasi yang dapat Anda gunakan. Jika Anda pengguna kereta api, Anda dapat menggunakan KRL Jabodetabek jenis express yang berhenti di Stasiun Gambir. Anda pun dapat menggunakan fasilitas transportasi Bus Trans Jakarta. Jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, tersedia lapangan parkir khusus IRTI, atau Anda dapat memarkir kendaraan Anda di Stasiun Gambir.<br />
<br />
Untuk dapat masuk ke bangunan Monas, Anda dapat melalui pintu masuk di sekitar patung Pangeran Diponegoro. Lalu Anda akan melalui lorong bawah tanah untuk masuk ke Monas. Anda pun dapat melalui pintu masuk di pelataran Monas bagian utara. Jam buka Monas adalah jam 9.00 pagi hingga jam 16.00 sore.<br />
<br />
Monas dapat menjadi salah satu pilihan Anda untuk berwisata bersama keluarga dan tempat mendidik anak-anak untuk lebih mengenal sejarah Indonesia. Anda pun dapat menikmati udara segar dari rindangnya pepohonan di Monas. Dan jangan lupa untuk menjaga kebersihan Taman Monas agar tetap indah untuk dinikmati siapapun.<br />
<br />
sumber: <span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: arial;"><span style="font-size: 78%;"> http://all-mistery.blogspot.com/2010/07/sejarah-tugu-monas-monumen-nasional.html</span></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-20397925078391758492011-01-18T21:57:00.000+07:002011-01-18T21:57:21.869+07:00In Memoriam Aloysius Sartono Kartodirdjo<iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=8791114667&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe>Resensi: <span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Membuka Pintu bagi Masa Depan - Biografi Sartono Kartodirdjo</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Jumat, 7 Desember 2007. Langit terlihat kelabu. Guru utama itu berpulang ke haribaan Tuhan. Sang guru meninggal dalam damai, sementara para muridnya tak kuasa menahan air mata yang berderai.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Kepergian Sartono Kartodirdjo sangat menyesakkan dada. Di tengah "gejala pikun sejarah" yang mulai merasuk ke segenap sendi kehidupan, sosok Pak Sartono --demikian ia akrab dipanggil --sesungguhnya masih sangat dibutuhkan. Peringatan 100 hari kepergiannya, yang diselenggarakan apda Sabtu, 15 Maret lalu, di University Center UGM, Yogyakarta, cukup mengobati kerinduan keluarga, murid-murid, kolega, dan para pengagumnya. Acara itu terasa istimewa karena dua buku tentang Pak Sartono diluncurkan sekaligus.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Buku pertama bertajuk <i>Membuka Pintu bagi Masa Depan – Biografi Sartono Kartodirdjo</i>. Adalah sejarawan muda M. Nursam yang sejak tujuh tahun lalu telah mempersiapkan materi buku biografi ini, meski proses penulisannya sendiri ia kebut dalam setengah bulan. Sementara buku kedua berjudul <i>Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo</i>. Buku ini merupakan bunga rampai artikel yang ditulis oleh keluarga dan mereka yang mengenal Pak Sartono secara dekat. Dari kedua buku itu para pembaca akan mampu membuat konstruksi imajiner siapa itu Sartono Kartodirdjo<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Tiga Titik Kisar</b><br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Perjalanan hidup Pak Sartono tergolong kompleks sebab ia mengalami masa kolonial Belanda hingga era reformasi. Dilahirkan pada 15 Februari<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">1921 di Wonogiri, Sartono kecil datang dari latar belakang masyarakat Jawa.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Alam bawah sadarnya dibentuk oleh cerita-cerita pewayangan. Pendidikan awal nonformal ini mengantarkan Sartono kecil untuk mengenali sosok-sosok manusia ideal dalam pandangan masyarakat Jawa.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pada 1927 ia bersekolah di MULO dan kemudian hijrah ke HIK Muntilan (1936), sekolah calon bruder. Inilah titik kisar pertama riwayat hidup Sartono, perpindahan dari “antroposentrisme” ke "teosentrisme". Dari HIK-lah kepekaan batinnya diasah; semacam ketajaman instingtif yang kelak menuntunnya menjadi ilmuwan yang asketis.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Kisaran kedua berlangsung kala ia kembali bergeser dari dunia kerohaniawanan ke lingkungan kehidupan biasa. Terjadi pergulatan iman dalam diri Sartono muda ketika kondisi sosial-ekonomi keluarganya saat itu membuatnya harus memilih profesi guru dan tidak melanjutkan menjadi bruder.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Sejak 1941 hingga akhir hayatnya, profesinya cuma satu: guru. Agaknya, menjadi guru adalah jalan hidup pengabdian yang harus ia tempuh. Pengalaman mengajarnya komplet, mulai mengajar anak TK menyayi hingga menjadi dosen S3 yang menguji disertasi.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Kisaran ketiga bermula kala ia melanjutkan studi di Yale, Amerika Serikat, dan Amsterdam, Belanda. Disertasi doktoralnya tentang “Pemberontakan Petani Banten 1888" adalah karya historiografi modern pertama yang ditulis orang pribumi. Karya ini membuka jalan baru tradisi penulisan sejarah di Indonesia, yang sebelumnya pekat dengan aroma <i>neerlandosentris</i>. Ia secara kukuh memperjuangkan "dekolonisasi sejarah" agar corak indonesiasentrisme tampil ke muka.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Ia juga sadar betul bahwa penulisan sejarah tak hanya bergerak pada tataran makro, namun juga meso dan mikro. Karenanya, aktor dalam sejarah tak cuma golongan atas, tapi semua golongan. Entah elite dan non-elite atau aristokrat dan petani, semuanya berperan menjadi pelaku sejarah.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Sekembalinya dari luar negeri, Sartono bertekad memulai kerja besar membangun tradisi kritis dalam ilmu sejarah di Indonesia. Mula-mula ia memperbaiki kurikulum Jurusan Sejarah UGM. Sebagai dosen, ia adalah penghulu sejarawan-sejarawan negeri ini. Hampir seluruh pakar sejarah terkemuka Indonesia yang masih hidup hingga kini adalah muridnya.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pada akhir 1950-an sampai 1960-an, Sartono memakai istilah pendekatan multidimensional untuk merekonstruksi sejarah. Karena sebuah peristiwa memiliki banyak dimensi, pengetahuan tentang struktur di mana peristiwa muncul menjadi penting. Sejarawan baru bisa memahami kondidi struktural jika ia bersentuhan dengan ilmu sosial lain. Pendekatan multidimensional kemudian ia sempurnakan dalam istilah "interdisipliner" saat ia menjabat Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3KP, 1973-1982). Waktu itu, ia begitu mengidamkan runtuhnya tembok-tembok yang menjadi sekat antarfakultas di UGM.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Asketisme Intelektual</b><br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Tak ada yang membantah intelektualitas Sartono. Dunia internasional pun mengakuinya sebagai sejarawan kelas wahid. Pada 1977 ia menjadi orang yang pertama kali menerima Benda Prize. Inilah anugerah yang dinisbatkan pada sejarawan H.J. Benda, yang juga pernah membimbing Sartono saat studi di Amsterdam. Sembilan belas tahun kemudian, 17 juni 1996, Universitas Humboldt, Jerman, merasa perlu untuk menyematkan gelar Doctor Honoris Causa untuk Sartono atas sumbangsihnya pada disiplin ilmu sejarah.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pertanyaannya, kemudian, apa yang membuat Sartono bisa sedemikian hebat?<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Mereka yang mengenal dekat Pak Sartono akan menjawab dengan suara<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">koor: asketisme intelektual. Dalam <i>Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo</i>, suara itu terdengar jelas. Ada P. Swantoro, Syafi'i Ma'arif, Anhar Gonggong, J. Sumardianta, Jakob Oetama, St. Sularto, hingga J.J. Rizal yang menekankan dimensi istimewa Pak Sartono ini.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Istilah "asketisme intelektual" dekat dengan kata "mesu budi" dalam <i>Wedhatama</i> karya Mangkunegara IV. Jika budi secara tepat bisa diartikan sebagai <i>mind</i>, maka “mesu budi” bisa diartikan sebagai asketisme intelektual yang mencakup disiplin spiritual, suatu latihan kemampuan kognitif dalam segala aspeknya: logis, kritis, analitis, maupun diskursif. Menurut Sartono sendiri, seseorang yang menjalani asketisme ialah orang yang melakukan latihan olah jiwa untuk menahan diri dari hawa nafsu jasmaniah.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Asketisme intelektual itulah yang membuatnya sekukuh batu karang dan setulus cahaya rembulan. Berbagai kesulitan yang menerpanya sejak belia ia jalani dengan etos kerja keras, kreativitas, kejujuran, dan disiplin tinggi. Dalam bahasa Fischer, asketisme intelektual pada diri Sartono adalah gabungan dari sosok Arjuna (kehalusan siap), Gatotkaca (kejujuran), dan Semar (kearifan) sekaligus.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pokok soal asketisme intelektual adalah keinsafan batin yang menghunjam di dalam kesadaran Sartono sebagai ilmuwan sejati. Ia tak mudah larut dalam keheningan, juga tak terseret gegap-gempita. Saat era reformasi, misalnya, berbeda dengan kebanyakan cendekiawan yang terkena demam euforia reformasi, sehingga cenderung asal dalam berpendapat, Sartono selalu berargumentasi dengan tingkat kesantunan dan kesopanan tinggi, yang menjunjung tinggi etika akademik. Suatu sikap yang mengejawantah terus-menerus dalam seluruh pengabdian ilmiahnya.<br />
</span><br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Kini ia telah pergi. Kepergiannya, barangkali, justru menyediakan konteks kehangatan baru bagi kontekstualisasi ide-ide cemerlangnya yang, karena laju waktu, menjadi dingin. Pada generasi penerus, Sartono berpesan agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan menengok ke belakang sesuai dengan semboyan bahwa melupakan sejarah (berarti) menutup pintu bagi masa depan.</span><br />
<br />
<blockquote><span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Judul buku :</b> Membuka Pintu bagi Masa Depan - Biografi Sartono Kartodirdjo<br />
<b>Penulis:</b> M. Nursam<br />
<b>Penerbit:</b> Penerbit Buku Kompas, Jakarta<br />
<b>Cetakan:</b> 1, Maret, 2008<br />
<b>Tebal:</b> xviii + 382 halaman<br />
</span><span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Judul buku:</b> Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo<br />
<b>Penulis:</b> M. Nursam, Baskara T. Wardaya, Asvi Warman Adam (Editor)<br />
<b>Penerbit:</b> Ombak, Yogyakarta<br />
<b>Cetakan:</b> 1, Maret, 2008<br />
<b>Tebal:</b> xvii + 507 halaman</span></blockquote><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Oleh: </span><span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Ahmad Musthofa Haroen</b></span><span style="font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-42325011397394022292011-01-14T01:29:00.001+07:002011-01-14T01:31:49.837+07:00Membaca Kembali Jejak RA Kartini<img alt="" border="0" height="1" src="http://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=sejar-20&l=bil&camp=213689&creative=392969&o=1&a=0804761302" style="border: medium none ! important; margin: 0px ! important; padding: 0px ! important;" width="1" /><iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=0804761302&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe>Masih ingatkah dengan lirik lagu ini ?<br />
<br />
ra-kartiniIbu kita Kartini<br />
Putri sejati<br />
Putri Indonesia<br />
Harum namanya<br />
<br />
Ibu kita Kartini<br />
Pendekar bangsa<br />
Pendekar kaumnya<br />
Untuk merdeka<br />
<br />
Wahai ibu kita Kartini<br />
Putri yang mulia<br />
Sungguh besar cita-citanya<br />
Bagi Indonesia<br />
<br />
Ibu kita Kartini<br />
Putri jauhari<br />
Putri yang berjasa<br />
Se Indonesia<br />
<br />
Ibu kita Kartini<br />
Putri yang suci<br />
Putri yang merdeka<br />
Cita-citanya<br />
<br />
Wahai ibu kita Kartini<br />
Putri yang mulia<br />
Sungguh besar cita-citanya<br />
Bagi Indonesia<br />
<br />
Ibu kita Kartini<br />
Pendekar bangsa<br />
Pendeka kaum ibu<br />
Se-Indonesia<br />
<br />
Ibu kita Kartini<br />
Penyuluh budi<br />
Penyuluh bangsanya<br />
Karena cintanya<br />
<br />
Wahai ibu kita Kartini<br />
Putri yang mulia<br />
Sungguh besar cita-citanya<br />
Bagi Indonesia<br />
<br />
Pembicaraan tentang Kartini seakan-akan tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan.<br />
<br />
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun). Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.<br />
<br />
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.<br />
<br />
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.<br />
<br />
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.<br />
<br />
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.<br />
<br />
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.<br />
<br />
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.<br />
<br />
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.<br />
<br />
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.<br />
<br />
Agama Kartini<br />
Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.<br />
1. Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);<br />
2. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan<br />
3. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).<br />
<br />
Sinkretisme<br />
<br />
Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.<br />
<br />
Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.<br />
<br />
Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain.” (hlm 234)<br />
<br />
Kartini dan Alquran<br />
<br />
Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah bab yang berjudul ‘Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini’. Pandangan Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya” (surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)<br />
<br />
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny. Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun hal ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.<br />
<br />
Sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.<br />
<br />
Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti digambarkannya kepada EC Abendanon, ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami”. Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ”Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”<br />
<br />
”Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi”. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran Ahmad Mansur Suryanegara.<br />
<br />
Akrab dengan Ajaran Kristen<br />
<br />
Di dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.<br />
<br />
Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua.<br />
<br />
Sebab itu ketika Ny van Kol mengintroduksi ungkapan ”Tuhan sebagai Bapa”, Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jikalau dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny. van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ”Ibu sangat gembira… beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!”<br />
<br />
Pada surat lain, Kartini menulis ”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!”<br />
<br />
Dari Ny. van Kol pula Kartini belajar membaca Bibel dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.<br />
<br />
Dalam surat kepada Ny. van Kol, Agustus 1901, Kartini menyebutkan bahwa derita neraka yang dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hlm 41).<br />
<br />
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm 41)<br />
<br />
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. “Tetapi sebetulnya tidak demikian,” ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Kepada marhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.” (hlm 43).<br />
<br />
St. Sunardi, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang dilancarkan oleh Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan, emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama gending kegemaran Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman batin yang tidak menentu. Ada suasana muram saat Kartini mengunyah ide emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan keadaan di Jepara saat itu. ”Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk melahirkan yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat sangat kami cintai.”<br />
<br />
Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam, Protestan, Katholik, dan komunis, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan.<br />
<br />
Episode akhir hidup Raden Adjeng Kartini<br />
<br />
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“<br />
<br />
Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan bersama para raden ayu lainnya dari balik tabir. Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai tersebut.<br />
<br />
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya,<br />
<br />
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“<br />
<br />
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?“<br />
<br />
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar Islam dari seorang guru mengaji, memang telah lama merasa tidak puas dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji Aminah dari garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini merasa belum bisa mencintai agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qurâ’an asal jangan diterjemahkan.<br />
<br />
Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.<br />
<br />
Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu jilid tersebut. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun sudah cukup membuka pikiran Ibu Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.<br />
<br />
Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Padahal jika berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai �dari pemikiran yang tak terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam�.<br />
<br />
Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam, di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Ibu Kartini menjelang akhir hidupnya.<br />
<br />
Oleh sebab itu penulis membagi perjalanan hidup Ibu Kartini yang mengalami pencerahan dalam dua fase, yaitu fase pra dan selama-pasca mendapat hidayah. Momen perubahannya adalah pada saat beliau menghadiri pengajian tafsir Al-Qur’an yang diberikan oleh Kyai Sholeh Darat tersebut.<br />
<br />
Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Ibu Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Ibu Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.<br />
<br />
Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.<br />
<br />
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].<br />
<br />
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].<br />
<br />
Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Ibu Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].<br />
<br />
Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].<br />
<br />
Dan yang lebih penting lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Ibu Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].<br />
<br />
***<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta`ala Maha Berkehendak dengan menggariskan hidup Ibu Kartini yang terbilang cukup pendek, 25 tahun, yaitu empat hari setelah melahirkan putranya, R. M. Soesalit. Dia juga mentakdirkan hidup Kyai Sholeh Darat tidak cukup panjang untuk menuntaskan buku tafsir Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawanya, sehingga informasi mengenai Al-Qurâ’an yang diterima oleh Ibu Kartini masih terbatas. “Manusia itu berusaha, Allah-lah yang menentukan” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900].<br />
<br />
Namun sebenarnya itu sudah cukup untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya visi Ibu Kartini sebagai sosok muslimah, terutama pada masa-masa akhir hidupnya, yaitu fase selama dan pasca hidayah. Itu pun juga cukup bagi kita untuk bisa memahami mengapa beliau pada akhirnya merasa ikhlas menjadi isteri keempat Bupati Rembang, yang kemudian justru mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam pendidikan terhadap kaum wanita, yaitu dengan mendirikan sekolah wanita di Kabupaten Rembang. Kartini menulis mengenai suaminya, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 187].<br />
<br />
Dan itu juga cukup untuk dapat kita bayangkan, bahwa (semoga) Ibu Kartini wafat dalam keadaan husnul khotimah, setelah sebelumnya diombang-ambingkan oleh berbagai pemikiran teman-temannya, dan walaupun banyak orang mengulas kumpulan tulisannya dari berbagai sudut pandang dan agama.<br />
<br />
Namun yang juga sangat penting buat kita muslimah generasi penerusnya adalah pesan-pesan beliau secara tersirat agar kembali kepada fitrahnya dan selalu berpegang pada Al-Qurâ’an (dan Hadits). Al-Qurâ’an harus selalu dibaca, dipelajari, dihapalkan, dimengerti maknanya, dan diamalkan, agar benar-benar meninggalkan kegelapan menuju cahaya. Ajakan beliau ini lebih mendasar dan tentu lebih bermanfaat daripada mengedepankan isu-isu tentang feminisme dan kesetaraan gender, misalnya yang pada dasarnya merupakan konsep Barat. Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa sesuatu yang berasal dari Barat itu paling baik, justru digugat oleh Ibu Kartini sendiri.<br />
<br />
Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qurâ’an, di mana salah satu kehendak-Nya adalah justru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Pada dasarnya, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi wa Sallam tersebut.<br />
<br />
Hingga di sini, marilah kita merenung kembali, apakah kita semua telah mengikuti pesan dan teladan Ibu Kartini tersebut?<br />
<br />
sumber buku : <b>Seabad Kontroversi Sejarah</b>, Asvi Warman Adam, Ombak, 2007, hal 14 – 20.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-91734623987777918112011-01-14T01:06:00.002+07:002011-01-14T01:22:18.963+07:00Jejak Militan Jenderal Soedirman<iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=0521542626&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe><iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=0300105185&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe><iframe align="left" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://rcm.amazon.com/e/cm?t=sejar-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=0226285111&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifr" style="height: 245px; padding-right: 10px; padding-top: 5px; width: 131px;"></iframe>“Ingat, bahwa prajurit Indonesia bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang menjual tenaganya karena hendak merebut sesuap nasi dan bukan pula prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan, tetapi prajurit Indonesia adalah dia yang masuk ke dalam tentara karena keinsafan jiwanya, atas panggilan ibu pertiwi. Dengan setia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara.” —Jenderal Soedirman (1916-1950)<br />
<br />
Saat usianya masih 31 tahun Soedirman sudah menjadi seorang jenderal, beliau bukan jenderal akademik tetapi jenderal karena prestasi. Melalui Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Nama Panglima Besar yang disandang oleh Soedirman bukanlah berasal dari pemerintah, melainkan datang dari para pimpinan pasukan yang berkumpul di Yogyakarta, 12 November 1945, untuk memilih satu dari mereka yang menjadi pemimpin tentara. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden.<br />
<br />
Pengabdian Panglima Besar Soedirman hanya bagi kemerdekaan bangsanya “ Tentara kita jangan sekali–kali mengenal sifat menyerah kepada siapa pun juga, yang akan menjajah dan menindas kita kembali”. Inilah sikap patriotik sang Panglima Besar. Komitmen pada janji membela bangsa dan negara tanpa kenal menyerah. Prinsip–prinsip ini dapat dilihat pada salah satu kata–kata mutiara Jenderal Besar Soedirman berikut : “ Jangan sekali–kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat bahwa tiap–tiap perjuangan tentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji sekali kita tepati” (Asren Nasution, 2003)<br />
<br />
Panglima Besar Jenderal Sudirman mengingatkan, “ Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan Negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara memegang teguh kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh” (Jogjakarya 27 Mei 1945).<br />
<br />
Apa yang diperankan oleh Jenderal Besar Soedirman selama karir militernya memberikan data konkret mengenai militansi yang tinggi dan patriotisme yang begitu kental. Ia rela meninggalkan sang isteri tercinta dan keluarganya, bahkan rela menahan sakit dengan melawan nasihat dokter, walau ia tahu bahwa hal ini dapat mengancam jiwanya. Dengan bahasa yang mantap Jenderal Besar Soedirman mengatakan : “ Kalau dizaman damai, saya akan menuruti nasihat dokter, tetapi kalau seperti sekarang ini, zaman perang, diharap maaf saja” (Asren Nasution, 2003: 155). Hal tersebut terungkap dalam dialog Jenderal Besar Soedirman dengan dokter pribadi beliau, yaitu Dr. Suwondo, ketika sang Jenderal ingin bergerilya.<br />
<br />
Hasil perundingan Roem-Royen mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari pihak TNI. Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman pada tanggal 1 Mei 1949 mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada komandan-komandan kesatuan memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan. Ada 10 butir amanah Jendaral Soedirman antara lain :<br />
<br />
1. Tunaikan sumpah dan tugas kewajiban sebagai prajurit negara Republik Indonesia, yang sanggup menjamin keamanan dan keselamatan nusa dan bangsanya.<br />
2. Jagalah persatuan dalam tentara, sehingga dalam tentara kita dapat menjadi utuh satu dan merupakan satu bentuk yang kokoh kuat dalam menghadapi apapun.<br />
3. Peliharalah dengan tulus ikhlas taat disiplin dalam tentara kita.<br />
4. Dan saat musuh merajalela di daerah kita, jangan sekali–kali para komandan turut memikirkan akan datangnya perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan belaka.<br />
5. Ingat dan insyaflah, bahwa penderitaan pahit semenjak 19 Desember 1948 itu disebabkan karena sebagian besar para pemimpin kita, baik sipil maupun militer, sama–sama terpikat oleh perundingan, sehingga mereka lupa bahwa Belanda telah bersiap–siap lengkap di depan pintu kita.<br />
6. Soal perundingan, serahkan sepenuhnya kepada pucuk pimpinan yang bertanggungjawab atas keselamatan angkatan perang seluruhnya.<br />
7. Saya telah bersiap lengkap dengan syarat dan usal-usul yang saya ajukan pada pemerintah kita, syarat dan usul–usul mana saya sesuaikan dengan semangat dan jiwa perjuangan tentara kita dan rakyat pada dewasa ini pula mengingat serta memperhatikan suara–suara dari pada komandan–komandan terutama yang langsung memimpin pertempuran.<br />
8. Jangan bimbang dalam menghadapi macam-macam penderitaan, karena semakin dekat cita–cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami.<br />
9. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan sesuai negara yang didirikan diatas timbunan/runtuhan korban jiwa/harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia sipa pun.<br />
10. Berjuang terus, saya tetap memimpin kamu sekalian. Tuhan insya Allah melindungi perjuangan suci kita (Asren Nasution, 2003: 153-154).<br />
<br />
Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem-Van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan (KMB). Usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Soedirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.<br />
<br />
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini. Lima tahun mengabdi sebagai Panglima Besar sampai akhir hayatnya meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.<br />
<br />
Soedirman adalah salah seorang tokoh pejuang 45 yang telah mendarma-baktikan jiwa raga dan kemampuan yang dimilikinya untuk keluhuran cita-cita bangsa. Perjalanan hidupnya telah menimbulkan kesan yang mendalam dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Maka kiranya sepakatlah kita jika amal baktinya itu diabadikan dan dikomunikasikan. Jangan sampai terhapus oleh lampaunya waktu.<br />
<br />
“Kemewahan adalah permulaan keruntuhan. Kesenangan melupakan tujuan. Iri hati merusak Persatuan. Keangkaramurkaan menghilangkan kejujuran”<br />
<br />
(Amanat Jenderal Soedirman).<br />
<br />
Referensi<br />
<br />
1. Nasution, Asren. 2003. Religiositas TNI: Refleksi Pemikiran dan Kepribadian Jenderal Besar Soedirman. Jakarta: Kencana.<br />
2. Jenderal Soedirman (1916-1950) Panglima dan Jenderal Pertama RI<br />
3. Pesan Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman<br />
4. Nasution, Asren. MENJAGA NETRALITAS TNI DALAM PILPRES 2009<br />
<br />
sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2010/08/16/jejak-militan-jenderal-soedirman/Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-46618530888916277692011-01-14T00:37:00.003+07:002011-01-14T00:43:30.167+07:00K.H HASYIM ASHARI<p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam<a href="http://wapedia.mobi/ms/Demak"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Demak</span></a>. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="line-height: 115%;">KARYA-KARYANYA</span></strong><strong> </strong></span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain. </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) <em>Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin</em>, (2) <em>Ziyadat Ta’liqat</em>, (3) <em>Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman</em>, (4) <em>Al-Risalat Al-Jami’at</em>, (5) <em>An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin</em>, (6) <em>Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari</em>, (7) <em>Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat</em>, (8) <em>Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan</em>, (9) <em>Al-Risalat Al-Tauhidiyah</em>, (10) <em>Al-Qalaid</em> <em>fi</em> <em>Bayan</em> ma <em>Yajib min Al-‘Aqaid</em>.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Kitab ada <em>Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin</em> merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="line-height: 115%;">PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI</span></strong><strong></strong></span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar</span><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah</span><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >. </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar <em>Hadrat Asy-Syaikh</em> wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU). </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="line-height: 115%;" lang="IN">MENGENAI PENDIDIKAN :</span></strong><strong></strong></span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" >Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal</span><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" > </span></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="line-height: 115%;" lang="IN">NAHDATUL ULAMA :</span></strong><strong></strong></span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="line-height: 115%;" lang="IN">KESIMPULAN :</span></strong><strong></strong></span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan<em>Hadrat Asy-Syaikh</em> (guru besar di lingkungan pesantren).</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.</span></p><div style="text-align: left;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: left;"><span style="line-height: 115%;font-size:100%;" lang="IN" >Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar <em>Hadrat Asy-Syaikh</em> wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-42551242461550607042011-01-14T00:30:00.002+07:002011-01-14T00:47:21.262+07:00K. H. AHMAD DAHLAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: lucida grande;">Kyai Haji Ahmad Dahlan (1968-1923)adalah seorang Pahlawan Nasional. Merupakan putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.<br /><br />keluarga dan pendidikan<br /><br />Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).<br /><br />Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.<br /><br />Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K. H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.<br /><br />Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).<br /><br />Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.<br /><br />Pengalaman organisasi<br /><br />Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.<br /><br />Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.<br /><br />Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.<br /><br />Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.<br /><br />Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah . Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Siddiq Amanah Tabligh Fathonan (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul Aba, Ta'aqanu ala birri, Ta'aruf bima kanu wal Fajri, Wal Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).<br /><br />Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.<br /><br />Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).<br /><br />Pahlawan Nasional<br /><br />Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Rapublik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:<br /><br /> 1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;<br /> 2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;<br /> 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan<br /> 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria<br /></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-5862107831341585972011-01-14T00:29:00.000+07:002011-01-14T00:30:17.713+07:00PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKANPada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.<br /><br />Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”<br /><br />Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.<br /><br />Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.<br /><br />Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.<br /><br />Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.<br /><br />Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.<br /><br />Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. <br /><br />Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!<br /><br />oleh: Theo Riyanto, FICUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-53850471538732695042011-01-14T00:11:00.002+07:002011-01-14T00:29:17.608+07:00Ki Hajar Dewantara (1889-1959): Sosok yang Keras tapi Tidak Kasar<span>Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. <em>Kras maar nooit grof</em>, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.</span> <p><span id="more-156"></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Ketika partainya, Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda (1912), dia tidak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah juga dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1913, berjudul <em>Als ik eens Nederlander was</em> (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam, tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja, akibat tulisan itu Ki Hajar dibuang ke Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia baru saja mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia harus berbulan madu di pengasingan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan <em>Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa</em> atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Perguruan nasional Taman Siswa mencoba memadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri. Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda tidak diajarkan, karena garis perjuangan Ki Hajar bersifat non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial. Sifatnya mandiri.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Tak hanya dalam bersikap, secara fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya<span> </span>denga n pertimbangan keselamatan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Akhirnya, semua sepakat untuk hadir. Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden. Karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hajar enteng.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Sebagai Bapak Pendidikan Nasional<span> </span>Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia.<span> </span>Ki Hajar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional, selain itu melalui surat keputusan Presiden<span> </span>RI no. 395 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada di tahun 1957.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Orang seringkali<span> </span>lupa, semboyan tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, <em>ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani</em>. Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buahnya<span> </span>terancam bahaya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Masalah pendidikan memang rumit. Terlebih lagi jika anggaran dananya juga sedikit. Program pendidikan yang dicita-citakan bangsa ini begitu besar, namun kesadaran pendidikannya masih sering tercium aroma komersial. Akibatnya, nilai-nilai pendidikan tergeser begitu jauh dari pusarannya.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span>Sumber: Bulletin <em>Folder Buku</em> vol.4/Th.I/Mei 2003</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-63234825098715321302011-01-13T23:42:00.004+07:002011-01-13T23:58:19.874+07:00Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh Berhati Baja<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://farm4.static.flickr.com/3194/2849241420_64541c8013.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 448px; height: 464px;" src="http://farm4.static.flickr.com/3194/2849241420_64541c8013.jpg" alt="" border="0" /></a>sampai di usia senja ia tak berhenti melawan penjajahan, bagaimana dengan kita?<br /></div><br />Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.<br />Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.<br /><br />TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.<br /><br />Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.<br /><br />Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.<br /><br />Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.<br /><br />Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.<br /><br />Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.<br /><br />Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.<br /><br />Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.<br /><br />Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.<br />Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.<br /><br />Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.<br /><br />Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.<br /><br />Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).<br /><br />Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.<br /><br />Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.<br /><br />Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.<br /><br />Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.<br /><br />Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.<br /><br />DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.<br /><br />Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.<br /><br />Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.<br /><br />Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.<br /><br />Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.<br /><br />Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.<br /><br />sumber: http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-19671203728725302752011-01-13T23:25:00.001+07:002011-01-13T23:28:07.021+07:00Menafsir Ulang Gajah MadaTidak sulit menemukan nama Gajah Mada (GM) dalam buku pelajaran sejarah. Muhammad Yamin, sastrawan sekaligus tokoh pergerakan itu, menyebut sang mahapatih sebagai “pahlawan persatuan Nusantara” yang kemudian ditabal sebagai judul buku biografi GM gubahannya (1945). Saking terkenalnya, nama GM pun dipakai sebagai nama jalan, perguruan tinggi, bahkan nama restoran! Juga tak lupa, beberapa tahun lalu, Langit Kresna Hariadi menerbitkan 8 jilid biografi tokoh ini dalam bingkai fiksi. Meski banyak kalangan menganggap GM punya peran penting dalam sejarah bangsa ini, namun sosok GM masih diliputi misteri dan kerap mengundang polemik nan pelik.<br /><br />Pertengahan tahun 2009, Viddy AD Daery pernah membuat sebuah pernyataan sensaional. Ia menyatakan bahwa GM putra asli Lamongan. Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Sebagai orang yang berasal dari daerah Lamongan, juga tentunya sebagai orang yang mahfum betul tentang sosok GM, Viddy mengaitkan beberapa ansair folklor dalam kultur lokal masyarakat Lamongan dengan pribadi GM yang ia pahami. Salah satunya, toponimi sebuah daerah di Lamongan mirip dengan nama GM, yaitu Kecamatan Modo. Sebagai respon, Pemkab Lamongan kemudian membentuk tim pencari fakta untuk menguak kebenarannya. Namun, hingga kini belum terdengar kabar, apakah pencarian itu masih berlanjut atau berbuah hasil...<br /><br />Untuk menandai bahwa ikhtiar mencari gambaran eksistensi sosok GM belum menemui titik yang pasti, melalui buku ini. Agus Aris Munandar, coba mengungkap tafsiran baru atas biografi sang tokoh melalui telaah arkeologis terhadap Prasasti Gajah Mada dan dua arca perwujudan. Teks-teks sastra sejarah, seperti N?garakr?t?gama, Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Babad Gajah Mada, dan Babad Arung Bondhan, dipakai sebagai pembanding untuk menghasilkan interpretasi yang kredibel dalam telaah ini. Sebab, antara prasasti, arca, dan teks sastra sejarah (naskah kuno) memiliki kuantitas informasi yang berbeda-beda. <br /><br />Tidak semua bagian teks sastra sejarah tersebut dijadikan acuan, hanya yang dianggap punya fakta historis menyangkut sosok GM dan lingkungan sosialnya. Hal ini untuk menghindari bercampurnya peristiwa sejarah dengan peristiwa mitologis yang berlebihan dan irasional. Terlebih, teks-teks yang diacu punya ciri historiografi tradisional yang penarasiannya tiada batas antara fantasi dan kenyataan. Hanya N?garakr?t?gama sebagai perkecualian.<br /><br />Prasasti Gajah Mada ditemukan di pelataran Candi Singhasari (sekarang di Kecamatan Singosari, Malang) dan kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang berangka tahun 1273 ? (1351 M) ini dikeluarkan GM, yang menyebut diri “rakryan mapatih Mpu Mada”, pada masa pemerintahan ?ri Tribhuwanottunggadewi, raja ke-3 Majapahit. Sebagai sang mahâmatrimukya, GM punya hak untuk mengeluarkan prasastinya sendiri. Mungkin inilah alasan penulis lebih memilih nama Prasasti Gajah Mada dan memakainya secara konsisten dalam buku ini, daripada Prasasti Singhasari yang sudah lazim dikenal.<br /><br />Dalam prasasti tersebut, tersirat motif yang melatarbelakangi Sumpah Palapa (tan amukti palapa) yang legendaris itu. Disebutkan, GM punya hak untuk memerintahkan pembangunan caitya (bangunan suci) bagi tokoh yang telah meninggal. Karena prasasti ini ditemukan di pelataran Candi Singhasari yang notabenenya tempat pendharmaan Kertanagara, bisa ditengarai GM hendak mempersembahkan caitya kepada raja Singhasari terakhir itu. Dalam kultur Jawa Kuna, lazimnya caitya dipersembahakan oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh yang didharmakan. Jadi, tak lain tak bukan, GM adalah keturunan Kertanagara, tepatnya dari jalur selir.<br /><br />GM juga menjuluki diri Jirnnodhara, artinya ‘pembangun sesuatu yang baru’ atau ‘pemugar sesuatu yang telah runtuh’. Selain berkaitan dengan pembangunan Candi Singhasari, julukan ini membuktikan—GM ingin meneruskan gagasan Dwipantara mandala, yaitu pengembangan pengaruh hingga ke wilayah luar Jawa, yang semasa Kertanaga hidup terlaksana dalam ekspedisi Pamalayu (1197 ? / 1275 M). Setelah sang raja mangkat, gagasan ini meredup dan kehilangan penerus karena Jawa silih berganti mengalami huru-hara. Pembangunan Candi Singhasari jadi semacam “ngalap berkah” yang dilakukan GM kepada leluhurnya sebelum mengajukan Sumpah Palapa. GM sadar tentang konstelasi politik kawasan Asia Tenggara. Ia ingin membendung pengaruh kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara daratan agar jangan sampai masuk ke wilayah Kepulauan Nusantara. <br /><br />Selain itu yang menarik, dan tak terduga sebelumnya, adalah pengarcaan sosok GM dalam perwujudannya sebagai Bima dengan karakter lingga (phallus) menonjol. Ini bukti adanya unsur Siwaisme dan diduga berasal dari masa akhir Majapahit. Arca ini berasal dari Trenggalek, Jawa Timur. Pada patung tersebut juga terdapat inskripsi dengan karakter tulisan yang mirip dengan Prasasti Gajah Mada. Sayangnya, inskripsi hanya terbaca sebagaian karena kondisinya cukup rusak.<br /><br />Banyak yang berspekulasi, antara arca perwujudan Bima dan Prasasti Gajah Mada dibuat oleh seorang citralekha (pemahat batu) yang sama. Pendapat ini masih perlu ditinjau ulang, walaupun kemiripan karakter tulisan bisa dikatakan sangat jarang terjadi antara dua inskripsi. Dari segi isi, khususnya dari nama yang disebut, tidak ada hubungan antara keduanya. Mpu Wirata yang mempersembahkan arca ini, tidak pernah ada di Prasasti Gajah Mada, begitu juga sebaliknya. <br /><br />Berkaitan dengan tokoh Bima, penulis menghubungkannya dengan konsep astadikpalaka (delapan dewa penjaga arah mata angin) yang mengelilingi Siwa. Bima merupakan perwujudan Siwa di arah barat daya. Dalam konsep India Kuna, arah barat daya dipandang sebagai yang terburuk. Pengarcaan itu merupakan bentuk kerinduan masyarakat Majapahit saat itu kepada sosok GM yang tangguh dan dapat memulihkan stabilitas politik yang terus merosot akibat peperangan. Penemuan arca Bima di situs-situs tempat suci, juga menjadi tanda—GM seorang menguasai ilmu keagamaan.<br /><br />Pada masa sebelum GM lazim diwujudkan sebagai arca Bima, GM diwujudkan sebagai Brajanata, tokoh pendamping Panji, dengan karakter phallus yang juga menonjol menonjol. Ada kesinambungan konsep antara keduanya. Sebab, siklus cerita Panji merupakan penuturan simbolis kehidupan Majapahit di masa Hayam Wuruk. Tak lain tak bukan, tokoh Panji adalah figur simbolis sang raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Selain menjawab polemik seputar siapa sebenarnya tokoh Panji, pendapat ini juga mencuatkan gambaran lain tentang bentuk fisik GM. Jika Brajanata merupakan ikon GM, maka gambaran wajah GM sungguh sangat berbeda dengan yang dipahami selama ini. Gambaran itu muncul dalam cover buku ini.<br /><br />Banyak tafsiran baru tentang GM dalam buku ini, mulai dari pengertian nama GM secara etimologis-terminologis dan kaitannya dengan Gan?e?a (h. 12), siapa orang tuanya serta perkiraan tempat kelahiran (h. 10, lantas bandingkan dengan pernyatan Viddy di atas), muasal nama kota Bima di Sumbawa yang berkaitan dengan “penebusan dosa” GM pasca perang Bubat (h. 99), hingga senjata apa yang dipegang saat mengucapkan Sumpah Palapa (h. 51). Tak jarang, tafsiran itu membuat tercengang karena belum pernah terdengar dan terduga sebelumnya.<br /><br />Namun demikian, sebagaimana judul buku ini, sebagian besar substansi biografi mengungkap sepak terjang sang patih di ranah politik. Ini bisa dimaklumi. Sumber-sumber tentang profil GM dan yang bersifat rasional sebagain besar merekam sepak terjang sang tokoh di ranah itu. Agaknya GM lebih dikenal sebagai tokoh publik yang tangguh dan punya kredibilitas tinggi. Mungkin karena itulah, dan karena GM dikenal ketika berkiprah di ranah politik, kehidupan pribadi serta kelahirannya tersamar dan sering diliputi hal-hal fantastis. Dan penulis buku ini ingin menempatkan GM dalam proporsinya sebagai manusia biasa yang tak luput dari khilaf, bukan sebagai superhuman.<br /><br /> Buku ini punya kedudukan penting dalam kajian tentang biografi GM, sejarah Majapahit, dan sejarah Nusantara kuna umumnya. Buku ini bukan simpulan final atas siapa sebenarnya GM. Bagaimanapun, dalam buku ini biografi GM ditampilkan sebagai “realitas tafsir”. Lebih baik menyikapinya secara kritis, daripada menjadikannya serangkaian “mitos” dalam bentuk baru. Mungkin masih banyak data (artefak) yang terserak dan hingga kini belum ditemukan. Penelitian-penelitian selanjutnya masih ditunggu. Penulis buku ini pun mengharap demikian. Sayangnya, peminat bidang semacam ini terbilang langka. (*)<br /><br />Judul : Gajah Mada: Biografi Politik<br />Penulis : Agus Aris Munandar<br />Penerbit : Komunitas Bambu<br />Cetakan : Pertama, Maret 2010<br />Tebal : xiv + 162 halaman<br /><br />Oleh: Abimardha Kurniawan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-79829703587853044392011-01-13T23:22:00.000+07:002011-01-13T23:24:36.712+07:00Mengeja Tan Malaka LagiJika mau mencermati ketokohan seseorang, barangkali tak cukup hanya bersandar pada catatan semacam biografi ataupun autobiografi tokoh tersebut. Jauh lebih penting adalah menyelami lautan corak pikir dan karya yang telah disepuhnya sebagai buah dari idealisme. Karena dengan begitu, pembaca mampu memerkirakan dan memetakan ke arah mana ia akan berlabuh.<br /><br />Berpijak pada kerangka seperti itulah, seharusnya pembaca menilai penerbitan (kembali) karya monumental Tan Malaka ini. Madilog, dengan demikian, merupakan proses kajian Tan Malaka yang tak habis dibaca. Ia akan terus menjuntai. Ia akan menghantui pikiran pembaca. Uraiannya yang demikian detil dan bercabang-cabang, setidaknya membikin pembaca “ngos-ngosan”. Oleh karena itu, harus disertai bekal pengalaman pembacaan yang cukup agar tiap istilah yang dipapar tidak menguar tanpa pemahaman yang mengena.<br /><br />Dalam buku ini, Tan Malaka mempersoalkan sengkarut materialisme, dialektika, dan logika dengan nalar yang begitu mencengangkan. Saya membayangkan, horizon pengetahuan yang direngkuhnya melampaui dimensi orang-orang biasa. Bisa dikatakan isi otaknya berkali-kali lipat dengan otak orang biasa. Dengan begitu bisa disimpulkan, sejarah baca Tan Malaka pun merentang dari ujung hingga ke ujung.<br /><br />Dalam bahasan dialektika (BabV), Tan Malaka menyoal ilmu berfikir. Sekarang ini, pada zaman Tan, sudah saat merekonstruksi gaya berlogika. Bahwa jawaban dari setiap pertanyaan tidak lagi cukup dijawab dengan ya dan/atau tidak. Melainkan harus melalui sekian asumsi dan prediksi. Dia mencontohkan pertanyaan apakah Thomas Edison bodoh atau pandai, tak tercukupkan dijawab dengan jawaban ya atau tidak begitu saja.<br /><br />Alkisah, ketika berumur 6 tahun, Edison diusir oleh gurunya karena dianggap bodoh. Tapi, sekarang seluruh dunia mengakui betapa klaim yang dilontarkan guru tersebut adalah salah kaprah. Apa yang terjadi? Melihat ini, Tan Malaka mengurai waktu lah yang berperan dalam sekian proses. Waktu telah mengubah Edison yang semula goblok menjadi cerdik-cendekia.<br /><br />Dalam memproblematisasikan hal ini, Tan Malaka menulis, “Kita diajari di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai waktu, hal 146”. Dengan begitu, jelas lah sudah bahwa untuk mencapai suatu kemaksimalan yang dibutuhkan tak lain adalah elemen yang dibentuk dan sekaligus membentuk waktu; proses, kesungguhan, pendalaman, pengalaman, dan penngamalan.<br /><br />Dari pemaparannya yang kompleks itu, terlihat antusiasme Tan Malaka dalam abdi penyadaran cara berpikir manusia (Indonesia). Meskipun, rujukan yang kerap disebut adalah buku-buku karangan bangsa Barat. Meliputi Hegel, Plato, Aristoteles, Marx, Engels, Feuerbach, dan lain sebagainya. Namun, adat ketimuran Tan Malaka tetap saja terbaca. Sebagai suatu karya, ini merupakan perangkat berpikir dan berkontemplasi.<br /><br />Sebagaimana diakuinya sendiri, Tan Malaka menolak metode belajar mengahapal, hal 24. Kendati semasa kecilnya pernah melampaui aktifitas semacam itu. Baginya, kebiasaan itu tidak menambah kecerdasan. Sebaliknya menjadikan bodoh, mekanis, layaknya mesin. Menyoal hal-ihwal mesin, kecakapannya dibawa pada pemahaman Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa mesin itu setan. Dan kota di mana terkumpul mesin, ditasbihkan sebagai neraka, hal 96.<br /><br />Dalam pembacaan saya, ia bukan penyuka istilah yang panjang dan bertele-tele. Pembaca pun akan menjumpai pemaknaan tentang hidup yang terlihat biasa bagi Tan. Defenisi hidup ia artikan sebagai suatu yang sangat simple. Dalam pengertiannya hidup ia benturkan dengan sifat negatif. Ia mengartikannya dengan: bukan mati. Berbeda jauh dengan uraian yang didapatkan dari Encyclopedia Eritanica, hal 370. Namun dalam hal ini, Tan serasa mengingkari apa yang dijabarkan terlebih dahulu mengenai result, hal 80. Bukankah dengan memberikan uraian cukup panjang segala sesuatu akan terasa prosesnya?<br /><br />Rangkaian dialektika, logika, dan materialisme yang dijabarkan Tan Malaka diuji saat menilik kasus memaknai ketimuran, hal 296. Baginya, (adat) ketimuran adalah segala hal yang berhubungan dengan mistika, kegaiban, dari manapun juga datangnya.<br /><br />Pembaca bakal terbata-bata, menerjemahkan bahasa ungkap Tan Malaka yang “lampau”. Dan itu, barangkali, adalah sisi kelemahan proyek cetak ulang buku ini. Meskipun, hal itu bisa dipahami sebagai upaya menjaga orisinilitas sebuah karya. Ini jadi hal yang dilematis. Di satu isi hendak menghadirkan ulang gagasan kompleks Tan Malaka. Namun di sisi lain ditekan dengan idealisme bernama orisinilitas.<br /><br />Nah, dengan membaca Madilog ini, bisa jadi pembaca tengah mengamalkan apa yang dijabarkan Tan Malaka mengenai geometri (hal 82). Pembacaan mengenai itu, akan memahamkan pembaca pada tataran yang lebih prinsipil. Meliputi pengetahuan terhadap sifat badan, muka garis, dan titik. Semua elemen itu bisa dijumpai dan dierenungi ketika apa yang dipaparkan Tan Malaka usai kita rasakan dan rayakan sebagai suatu metode berpikir. Demikian.<br /><br />Judul buku : Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika Penulis : Tan Malaka Penerbit : Narasi, Yogyakarta Terbit : pertama, 2010 Tebal : 568 halaman<br /><br />oleh: AHMAD KHOTIM MUZAKKAUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-558895271511466729.post-26221434411343821392010-09-24T19:54:00.003+07:002010-09-24T20:00:30.351+07:00Emas dan Kisah Kejayaan BangsaUang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM-2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar, uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak. Standar Julius Caesar ini berlaku di belahan dunia Eropa. Sementara dalam belahan dunia di Semenanjung Arabia, uang emas dan perak dikenal dengan nama dinar dan dirham. Dinar dan dirham menjadi mata uang Semenanjung Arabia bahkan sebagian Eropa dan Asia sampai berakhirnya Dinasti Turki Usmani tahun 1924. <br /><br />Sebagai mata uang yang (hampir) terlupakan dalam jejak sejarah, dinar saat ini mulai menggeliat dalam perkembangan perekonomian di dunia. Belum seabad dinar hilang dalam peredaran, sekarang geliatnya bukan saja di Timur Tengah, bahkan di berbagai wilayah di Indonesia, dinar juga mulai mendapatkan apresiasi publik. Inilah yang ditengarai Muhaimin Iqbal dalam bukunya “Dinar The Real Money: Dinar Emas, Uang dan Investasiku.” Iqbal melihat dinar layak dipertimbangkan menjadi mata uang di era modern, khususnya di tengah gejolak ekonomi global yang rumit dan runcing. Selain mempunyai nilai instrinsik yang tinggi, nilai ekstrinsik dinar juga relatif stabil. Kedua nilai yang saling mendukung inilah yang menjadikan dinar waktu lampau bisa bertahan sampai 14 abad lamanya.<br /><br />Gerak dinar di masa lalu menjadi basis perekonomian dunia Islam. Seorang tokoh yang terus dikutip penulis buku ini adalah Abdurrhaman ibn Auf. Dia seorang sosok sahabat Nabi Muhammad yang kaya raya dan membelanjakan kekayaannya untuk menjamin masa depan umat Islam saat itu. Miliaran rupiah dia keluarkan untuk menanggung beban negara dalam mengayomi para tentara dan rakyat. Bahkan berkali-kali kekayaannya dari kapal hasil dagang dengan China diberikan semuanya kepada rakyat. Metode yang digunakan Abdurrahman ibn Auf adalah dengan dinar (emas). Cara dia untuk menginvestasikan kekayaan lewat dinar (emas) terbukti menjaga kesetabilan keuangan negara. Tak salah, ketika bersama Muhammad memimpin negara Madinah, Abdurrahman ibn Auf menjadi Menteri Keuangan sekaligus Kepala Bulog.<br /><br />Dari tangan dinginnya, peradaban Islam yang dibawa Muhammad bukan saja membangun kemegahan peradaban, sebagaimana diakui oleh Robert N Bellah, tetapi juga menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari tangan dingin Abdurrahman in Auf, dinar menjadi standar keuangan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Inspirasi ibn Auf dilakukan dengan seksama pada jaman Dinasti Bani Umayyah, Dinasti Bani Abbasyiah, bahkan juga Dinasti Turki Usmani. Ketika Harun Al-Rasid memimpin Dinasti Abbsyiah, ibn Auf menjadi inspirator gerakan ekonomi kerakyatannya, sehingga bangunan teknologi dan pengetahuan yang dibangun dengan megah, bisa sukses dan kesejahteraan rakyat miskin juga terjamin. Mereka bukan saja menjalannkan dinar sebagai gerak ekonomi, tetapi juga menjaga gerak fiskal dan moneter negara. Resesi ekonomi bisa dilalui tanpa harus mengorbankan rakyat kecil yang miskin. Itu semua dibuktikan oleh Dinasti Turki Ustami. Untuk itu, bukti dan jejak sejarah ini membuat penulis menjadikan dinar sebagai solusi strategis dalam menjaga perekonomian global saat ini.<br /><br />Inilah dinar sebagai investasi masa depan, yang oleh futurolog ekonom Barat, John Naisbitt, akan kembali menjadi mata uang dunia. Prediksi Naisbitt semakin menguat tatkala millenium ketiga krisis eknonomi melanda dunia ketiga (underdevelopment) dan berbagai negara kebingungan dengan mata uang dolar Amerika Serikat yang perkasa dan “hegemonik”. Masyarakat Eropa sendiri memproklamirkan mata uang Euro sebagai alat tukar kawasannya. Sementara kawasan lain masih dihegemoni dolar AS yang terus memperpuruk ekonomi dunia. Tak terkecuali Indonesia yang sampai sekarang masih dijerat hutang dari berbagai lembaga donor asing. Indonesia akhirnya bergantung dengan lembaga donor dan melupakan potensi ekonomi bangsa sendiri. <br /><br />Iqbal mendifisikan dinar sebagai investasi masa depan. Iqbal melihat dinar sebagai komoditi yang spesial dan unik. Dinar (emas) digali dalam perut bumi dan terakumulasi di permukaan bumi. Beredar tidak banyak, diperkirakan berkisar antara 150.000 ton-160.000 ton saja. Dinar, dengan demikian, menjadi alternatif dari US $ dan mata uang kertas lainnya. Seluruh mata uang kertas turun nilainya dari waktu ke waktu karena uang baru selalu bisa dicetak kapan saja dan berapa saja peemrintah mau. Daya beli dinar juga stabil sepanjang jaman. Statistik modern telah menunjukkan fakta tersebut dalam berbagai lintasan sejarah umat manusia. Selain itu, nilai emas ditentukan oleh pasar dan selalu dalam kondisi “bull market” (hlm. 69).<br /><br />Keunggulan-keunggulan inilah yang menjadikan dinar awet dalam melalui babakan sejarah. Indonesia terbukti ambruk perekonomiannya hanya terlalu bergantung dengan rupiah dan dolar. Terbukti, saat krisis 1998, satu dekade lalu, dinar (emas) diburu negara untuk menyelamatkan keuangan publik. Bukti historis inilah yang penting dipahami untuk menata perekonomian bangsa. Bahwa dinar layak menjadi jalan investasi masa depan. Dinar benar-benar solusi strategis bangsa untuk menjaga stabilitas ekonomi. Jangan sampai mata uang rupiah semakin ambruk karena ditopang mata uang asing yang hegemonik. Kita kembali belajar kepada masa silam bahwa dinar bertahan selama 14 abad menghidupi Semenanjung Arabia sampai ambruknya Turki Usmani 1924.<br /><br />Indonesia masih berumur panjang, jadikan dinar sebagai salah satu nafas pergerakan ekonomi masa depan. Inilah rekomendasi krusial yang dilayangkan penulis dalam bukunya yang bernas ini. <br /><br />Resensi<br />Judul : Dinar The Real Money: Dinar Emas, Uang dan Investasiku<br />Penulis : Muhaimin Iqbal<br />Penerbit : GIP Jakarta<br />Cetakan : I, 2010<br />Tebal : 199 halaman<br />oleh : Siti Muyassarotul Hafidzoh (Pengkaji Enterpreneurship dan Pendidikan di UIN Sunan Kalijaga)<br />sumber: http://oase.kompas.com/read/2010/08/13/00573870/Emas.dan.Kisah.Kejayaan.BangsaUnknownnoreply@blogger.com0