Sejarah Dakwah Sunan Kalijaga

Jumat, 16 Oktober 2009

A. Latar Belakang.
Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tenteram dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta animisme. Mereka pun memiliki kepastian hidup, bukan karena wibawa dan perbawa Sang Sultan. Kepastian hidup ada karena disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat hukum Kesultanan Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam. Sayang memang, Demak hanya bertahan sampai umur 65 tahun. Keberadaannya sebagai kerajaan dengan dasar Islam telah tercatat dalam sejarah. Dipegang-teguhnya syariat Islam sebagai pedoman hidup seluruh isi negeri Demak tak lepas dari perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan kesultanan, para ulama itu berperan sebagai tim kabinet (kayanakan) sultan. Para ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan sebutan Walisanga, wali sembilan.
Nama Walisanga begitu dekat dengan umat Islam, khususnya di Jawa. Ia menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang kebanyakan. Berbagai karya dalam bentuk tulisan, gambar, bahkan film berusaha menghidupkannya kembali. Tak ayal lagi, anak sekolah dasar pun begitu hapal sembilan tokoh dan kisah Walisanga. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (1), Sunan Ampel (2), Sunan Giri (3), Sunan Bonang (4), Sunan Kalijaga (5), Sunan Gunung Jati (6), Sunan Kudus (7), Sunan Muria (8) serta Sunan Derajat (9). Akan tetapi, menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang. Sumber kuno tersebut memuat ihwal kehidupan para ulama penyebar Islam di Jawa dan kiprah dakwahnya. Nama Walisana yang menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat ribuan wali lainnya.
Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menegakkan agama Allah.
Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali (selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh.
Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan, Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu. Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat para ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan memiliki lembaga pengadilan.
Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.
Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit.
Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di beberapa kadipaten.
Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh Raja sawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai Banh Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji. Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan Demak.
Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim (Sunan Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai mubalig keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan dan metode dakwah masing masing.
Sunan Kalijaga yang merupakan anggota sembilan wali yang juga sangat berpengaruh dalam politik dan perkembangan islam kala itu, dalam pandangan masyarakat sangatlah lain dan berbeda dengan wali-wali yang lainya. Keunikan Kanjeng Sunan Kalijaga itulah yang menjadikan penulis untuk menguak secara deskriptif tentang keberadaan kanjeng sunan Kalijaga yang terangkum dalam tulisan dngan judul “Sunan Kalijaga Dan Cara Dakwah di Jawa”. Untuk itu diperlukan rumusan masalah sebagai berikut
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat Sunan Kalijaga
2. Bagaimana cara Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan islam
C. Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui misteri Sunan Kalijaga dengan membedah sejarah singkat Sunan Kalijaga
2. untuk mengetahui pendekatan yang dipakai oleh Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan islam ditanah jawa.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini digunakan metode analisis Diskriptif dengan memaparkan sesuai dengan penulisan yang bersifat cerita dengan mengambil data data dari buku dan cerita sejarah yang ada. dalam metode penulisan yang dipakai untuk study tokoh ini menggunakan pendekatan penelitian persuasif, dimana kajian penokohan ditekankan pada pengaruh yang di tanamkan seorang tokoh tersebut dalam masa kemasa.
Dalam penulisan makalah ini digunakan metode penelitian kualitatif data, artinya adalah penulis mengadakan penelitian melalui beberapa buku yang kemudian penulis menuliskan kembali dengan menggunakan bahsa penulis.

KAJIAN PUSTAKA
A. Study Tokoh
Pada dasarnya pembahasan suatu penokohan sangatlah tergantung dengan tokoh yang di teliti tersebut, studi tokoh merupakan sebuah kajian yang membahas tokoh tertentu dengan pendekatan tertentu dan tehnik tertentu, pengertian ini berangkat dari pemahaman bahwa study tokoh merupakan pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran atau gagasan seseorang pemikir muslim, keseluruhannya atau sebagiannya . seseorang dapat dikatakan tokoh apabila memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
1. Integrasi tokoh tersebut; hal ini dapat dilihat dari kedalaman keilmuannya, latar belakang, keberhasilan terhada bidang yang digelutinya, hingga kehasanyang dimiliki yang mungkin tidak dimiliki orang yang lain
2. Karya monumental, yaitu bagaimana tokoh tersebut meninggalkan karya karaya yang mungkin dapat dijadikan bukti dan pengingat dari pada keberhasilan dan usaha seorang tokoh tersebut.
3. kontribusi atau pengaruhnya secara nyata dalam masa ke masa
Dalam penelitian ada beberapa unsiur yang mendasari metode penelitian studi tokoh tersebut, selain pengembangn konsep yang telaha ada dan berlaku. diantara konsep yang penting difahami dalam melakukan kajian studi tokoh adalah sebagai berikut ;
1. penegasan objek kajian: objek kajian dalam studi tokoh meliputi dua hal, yang Pertama objek material yaitu pikiran salah seorang tokoh seluruh karyanya atau salah satunya. Kedua objek formal yaitu pikiran atau gagasan seorang tokoh yang sedang dikaji, di selidiki dan di amati.
2. pengenalan tokoh. dalam pengenalan tokoh ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pertama latar belakang eksternal dan internal, hal ini meliputi latar belakang nkehidupan dan peranannya dalam kehidupan, sedangkan eksternalnya adalah bagaimana tokoh tersebut mengalami kehidupannya dalam masa tersebut. kedua metode berfikir dan perkemabngan pemikirannya, hal ini dimaksudkan adalah bagaimana seorang tokoh mampu menghasilkan pemikiran yang dapat merubah pandangan terhadap tokoh tersebut, sehingga seorang tokoh juga dapat dikatakan sebagai seorang yang berhasil berfikir kritis terhadap perkembangan pemikiran kala itu.
3. pengeruh dan keterpengaruhan, maksudnya adalah bagaimana seorang tokoh dapat mempengaruhi pemikirannya orang lain dan bagaimana metode pemikiran yang dihasilkan tokoh tersebu dilihat dari latar belakang bagaimana tokoh bias menghasilkan pemikiran yang sedemikian rupa.
penelitian studi tokoh bertujuan untuk mengetahui sejauh mana seorang tokoh berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan, baik pada zamannya atau pada zaman sekarang, baik pengaruhnya positif ataupun justru sebaliknya pengaruhnya negative, yang jelas pada intnya study tokoh bertujuan mengangkat pemikiran seseorang dengan mengkajinya atau menelitinya secara mendalam dengan berbagai pendekatan pendekatan tertentu
B. Riwayat Hidup Sunan Kalijaga
1. Masa Kecil dan kelahiran Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan anak seorang bupati didaerah tuban, nama kecil beliau adalah Raden Syahid, ayah beliau adalah seorang penguasa tuban yang bernama prabu wilatikta, sedangkan ibunya bernama Nyai Nawangrum , ada pendapat lain menyebutkan bahwa ibu Kalijaga adalah dewi Retno Dumulah . Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an , akan tetapi ada beberapa pendapat mengenai kelahiran beliau yang menyebutkan bahwa Kalijaga lahir pada tahun 1440-an, hal ini dikaitkan dengan pembangunan masjid demak pada decade 1460-an, sedangkan apabila ditinjau dari peranannya dalam pengangkatan Mas Karebet menjadi sultan pajang pada tahun 1564, maka usia sunan Kalijaga sudah terlalu tua, yaitu lebih dari 120 tahun .
Sunan Kalijaga merupakan keturunan Ario Adika atau lebih terkenal dengan sebutan Ronggolawe yang merupakan putra dari Ario Wiraraja atau Banyak Wide, putra seorang adipati di ponorogo yang pada pemerintahan raja terahir singosari, Prabu Kertanegara, pernah menjadi menteri luar negeri. Tetapi Karena Ario Wiraraja sering memperingatkan sang prabu tentang keberadaan Jayakatwang, menjadikan ario wairaraja dipindahkan dan menjadi seorang bupati disumenep. Lambat laun Ronggolawe atau Ario Wiraraja menurunkan salah seorang anak dengan nama Ario Tejo yang kemudian menjadi seorang bupati di Tuban pada pemerintahan Prabu Wijaya(kerajaan majapahit), kemudian Ario Tejo I tersebut mempunyai keturunan bergelar Ario Tejo II, Haryo Tejo III yang kemudian menurunkan anak bernama Raden Sahur yang kemudian bergelar Tumenggung Wilatikta. dalam versi yang lain dapat dijelaskan bahwa sunan Kalijaga adalah seorang wali yang dilahirkan pada sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam .Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga
2. Masa Remaja Sunan Kalijaga
Pada waktu masih kecil sunan Kalijaga sudah diajarkan ajaran-ajaran tentang islam, akan tetapi ketika beliau menginjak dewasa dan mengetahui tentang keadaan kademangan yang kontradiksi dengan ajaran islam, maka raden syahid tersebut memberontak dengan keadaan ini. Melihat penderitaan rakyat yang sangat menyedihkan tersbut raden syahid merasa terpanggil untuk membantunya, beliau merelakan diri menjadi seorang perampok dengan tujuan untuk membantu kelaparan rakyat, beliau sering di sebut sebagai perampok Lokajaya. masa muda Kalijaga merupakan masa yang suram dimana kelaparan melanda masyarakat tuban pada umunya sehingga keputusan sunan kalijogo untuk menjadi maling cluring, dirasa sangat tepat untuk membantu mengentaskan kemiskinan yang terjadi pada masa itu. dikarenakan salah satu dan lain hal sampai syahid diusir dari kadipaten, dan saat inilah masa masa syahid akan menemukan guru yang memebimbingnya kepada ilmu kewalian yang tinggi. syahid mengembara sampai pada ahirnya bertemu sunan Bonang di hutan Jati Wangi, dan pada ahirnya pula pertemuan itulah yang menjadikan syahid tercerahkan hatinya untuk menuntut ilmu yang dalam dari Sunan Bonang .
3. Riwayat pendidikan sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali tanah jawa yang belajar agama islam sejak kecil, dikadipaten tuban pada saat itu sudah tersebar agama islam dengan pesat, sehingga sunan Kalijaga merupakan anak yang sudah kenal islama sejak kecil. selanjutnya dalam memperdalam pengetahuannya tentang islam beliau dibimbing seorang wali yang terkenal yaitu sunan bonang.
4. karya sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan seorang dai asli tanah jawa sehingga bentuk atau corak budaya yang dimiliki juga sangat kental dengan kepentingan jawaisme, dimana seluruh kehidupannya juga bercirikaskan dengan jawa. pengaruh jawa yang sangat kuat dan kental dapat dirasakan melalui beberapa peninggalan beliau, diantaranya adalah sebagai berikut ;
1. Serat Dewaruci; serat dewaruci merupakan serat yang menceritakan lakon wayang mahabarata kususnya lagi perjalanan raden Bima(anggota pandawa lima yang kedua) dalam mencari hakekad hidup didunia ini. Dalam lakon tersebut gambaran bima adalah sebagai seorang salik dalam tataran pengetahuan sufisme untuk menuju pintu ma’rifat pengetahuan ilmu yang mendalam dalam hidupnya, sangbima pada lakonnya mendapatkan beberapa rintangan dimana rintangan tersebut merupakan jalan ujian untuk mendapatka air suci kayugung susuhing angina (air suci perwitasari, kayu besar sarang nafsu), yang pada akir ceritanya yang dicari adalah hakekad diri Bima sendiri yang merupakan jelmaan Dewa ruci itu sendiri
2. Suluk Linglung; suluk ini merupakan sebuah cerita yang dibuat oleh sunan Kalijaga, dimana isi dari serat ini intinya sama dengan serat dewaruci yaitu pencarian jati diri sebagai seorang manusia yang nmengemban amanah dimuka bumi ini, dalam suluk ini juga dituliskan bagaimana riwayat hidup sunan Kalijaga secara umum.
disamping beberapa karya tulis tersebut sunan Kalijaga juga dikenal sebagai seorang ahli sastra jawa, hal ini terbukti dengn salah satu sastranya yang berupa sair doa yang diberi judul Rumekso ing wengi, binyinya sebagai berikut :
ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jin setan data purun
paneluhan tan ora wani
miwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemah tirto
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna//
sakehing lara pan sama bali
sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibanan wesi
sakehing wisatawa
sato galak tutut
kayu aeng lemah sangar
songing landak gowane wong lemah miring
myang pakiponing merak//
pagupaning warak sakalir
nadyan arca miyang segara asat
temahan rahayu kabrh
apan sariso ayu
ingideran widodari kang ayu
rinekso malaikat
lan sagung para rasul
pinayungan sang hiyang sukmo
ati adam utekku bagindo esis
pangucapku yao Musa//
napasku nabi Ngiso linuweh
nabi ya’kup pamiyarsaningwang
dawud suwaraku mangke
nabibrahim nyawaku
nabi sleman kasekten mami
nabi yusup rupeng wang
edris ing rambutku
bagindo ngali kulit wang
abu baker getih daging ngumar singgih
balung bagindongusman//
sungsunginsun patimah linuweh
siti aminah bayning angga
ayub ing ususku mangke
nabi nuh ing jejantung
nabi yunus ing otot mami
netraku yo Muhammad
pamuluku rosul
pinayungan adam kowo
sampun pepak sekatahe poro nabi
dadiyo sariro tungngal
artinya:
Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Jin dan setan pun tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat. Guna guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyab.
Semua penyakit akan pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena, bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang uas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, goa orang, tanah miring dan sarang merak.
Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mongering. Pada akirnya semua selamat. Sebab badannya selamat, dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat. Dan semua rasul, dalam lindungan Tuhan. Hatiku adam dan otakku nabi sis. Ucapanku adalah nabi musa.
Nafasku nabi isa yang amat mulia. Nabi ya’kub pendengaranku. Nanti nabi daut menjadi suaraku. Nabi ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sualiman menjadi kesaktiannku. Nabi yusuf sebagai rupaku. Nabi idris pada rambutku. Ali sebagai kulitku. Abu baker darahku dan umar dagingku. Dan ustman sebagai tulangku.
Sumsumku adalah fatimah yang amat mulia. Siti aminah sebagai kekuatan badanqu. Nabi ayb ada pada unusku. Dabi nuh dalam jantungku. Nabi yunus dalam ototku. Mataku adalah nabi Muhammad. Air mukaku rosul dalam lindungan adam dan hawa. Maka, lengkaplah semua rosul, yang menjadi satu badan
Sair diatas biasanya dipakai dan diajarkan untuk doa sebelum tidur dimalam hari, dimana di dalamnya merupakan kumpulan nama nabi dan sahabt yang diajarkan oleh sunan Kalijaga. Diantara karangan yang lain sunan Kalijaga akan dijelaskan di bab selanjutnya.
Diantara karya monumental sunan Kalijaga lainnya adalah adany cerita pewayangan yang dikarang oleh beliau yang mana beliau memesukkan unsusr islam dalam kaitannya dengan ibadah kususnya petuah untuk kebaikan, sebagai contoh adanya cerita Punokawan(semar, bagong, petruk, dan gareng) dimana punokawan sendiri tidak ada dalam karangan asli cerita pewayangan yang dari India. Disamping wayang beliau juga membuat beberapa model tembang dan lagu dalam mengiringi hidup ini, selain itu beliau juga mengarang musik yang sekarang disebut musik gamelan sekaten. Soko tatal juga menjadi karya beliau yang paling terkenal sampai sekarng ini, diamana pembuatannya sendiri dilakukan dan dirancang oleh sunan Kalijaga sendiri.

PEMBAHASAN
A. SEJARAH SINGKAT SUNAN KALIJAGA
Dalam catatan Rahimsyah sejarah tentang asal usul sunan Kalijaga terdapat tiga fersi (arab,cina, dan jawa), secara umum sejarah mencatat bahwa sunan Kalijaga merupakan seorang anak pejabat (seorang adipati, setingkat bupati)di daerah tuban yang bernama prabu Wilatikta, nama asli dari sunan kali jaga adalah Raden Syahid, beliau di lahirkan pada tahun 1450 masehi, akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1430-an, hal ini di hitung dari perkawinan dengan Siti khofsoh putri dari Sunan Ampel .
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Sahid. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Pada versi cerita yang lain menyebutkan bahwa Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam sejarah di ceritakan meskipun kedua orang tua syahid merupakan orang hindu yang sangat kuat, akan tetapi kedua orang tua syahid mendidik syahid dengan cara islam, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa syahid merupakan muslim dari kecil meskipun kedua orang tunnya hindu yang taat. Masa muda syahid tegolong seoarng yang berandalan, akan tetapi beliau bersifat seperti itu dikarenakan dorongan kemanusiaan yang sangat kuat yang muncul dari pribadi syahid terdalam, beliau merupakan perampok ulung yang ditakuti seluruh penjahat, beliau sering dijuluki sebagai perampok Lokajaya sebelum akhirnya berguru kepada sunan Mbonang.
Dalam sejarah yang lain disebutkan bahwa Sunan Kalijaga memiliki dua orang istri, yang pertama adalah dewi saroh putri dari Maulana Ishaq , dan yang kedua adalah dewi Saokah putri dari sunan Gunung Jati , akan tetapi diatas juga ada penjelasan bahwa Sunan Kalijaga juga menantu dari sunan Ampel, kalau hal itu benar bararti Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri. Dalam sejarah disebutkan bahwa beliau memiliki beberapa putra yang diperolehnya dari perkawinan beliau, dengan dewi saroh beliau berputra tiga yaitu: Raden Umar shahid , Nyai Ruqoyyah, dan Nyai Shofiyah, sedangkan dari hasil perkawinan beliau dengan dewi sarokah di karuniai lima orang anak : Kanjeng Ratu Pembayun (istri sultan Trenggono ), nyai ageng Panenggak (istri Kyai Pakar), sunan Hadi (menggantikan ayahnya di Kadilangu), raden Abdurrohman, dan yang terahir Nyai Ageng ngerang.
Dari kesimpulan diatas dapat diketahui bahwa sejarah sunan kalijogo juga mengalami kesimpang siuran sejarah, hal ini dapt dilihat dari beberapa peristiwa yang berbeda antara satu pendapat dengan yang lainnya.
B. CARA DAKWAH SUNAN KALIJAGA
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sunan Kalijaga merupakan seorang wali tanah jawa yang murni tidak memiliki darah dari luar jawa, sehingga dalam cara beliau berdakwah sangatlah memperhatikan bahkan tidak meninggalkan adat yang dari kecil mempengaruhi beliau, dalam berdakwah beliau juga tidak pernah melupakan asal usul beliau yang merupakan keturunan jawa, sehingga sehingga beliau lebih dikenal sebagai seorang sunan atau wali Njawani atau yang masih melekat Kejawennya. Dalam dakwahnya beliau juga sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Dalam kenyataannya ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Sunan Kalijaga juga merupakan seorang wali yang moderat, artinya bahwa beliau tidak memeksakan islam kepada masyrakat jawa dengan faham dan budaya aslinya yang bersal dari arab atau Makah dan Madinah, akulturasi budaya yang dipakai Sunan Kalijaga untuk berdakwah sangatlah berdampak positif, artinya bahwa keberadaan jawa yang pada dasarnya kebudayaan asli tidak tergeser dengan adanya islam yang dibawa Sunan Kalijaga. Sebagaimana contoh cara dakwah kanjeng sunan yang njawani adalah dengan cara beliau berpakaian yang sangat jawa, yaitu dngan mengenakan pakian yang bermodel baju takwa sekarang ini dengan warna kas jawa yaitu hitam(sering disebut sebagai baju Wulung) atau baju yang bermotif sulur (atau sering disbut sebagai baju srojan).
Penyampaian ajaran yang juga sangat kental dengan nuansa jawa juga dipakai beliau dalam berdakwah, hal ini dapat dilihat dari beberapa ajaran beliau yang terdapat dalam surat Centini, serat dewo ruci, serat linglung maupun serat cibolek. Dalam penyampaian materi agama Sunan Kalijaga juga sering menggunakan bahasa bahasa sastra yang bisa dicerna oleh kalangan bawah, sebagai contoh adalah karya monumental belia berupa sair yang berjudul Lir Ilir yang berbunyi sebagai berikut
Lir iliir lir iliir tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo tak senggu kemanten anyar
Bocah angon- bocah angon penekno blimbing kuwi,
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro,
Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane yo surao o o o suurak iiyo

Ada juga sebuah tembang yang digunakan sunan Kalijaga dalam berdakwah, yaitu sair yang berjudul tembang Rumekso Ing wengi, yang dalam hal ini sudah disebutkan diatas .Sunan Kalijaga sangat banyak memberikan sumbangan yang besar terhadap kasusastran jawa hal ini dikarenakan setiap beliau berdakwah pastilah pendekatan sastra yang paling banyak digunakan, sumbang tersebut berupa sair sair jawa, dan bentuk langgam-langgam jawa seperti pangkur, pelok, dan slendro. Yang kesemuanya merupakan unsur penting dalam budaya perlanggaman dalam seni jawa.
Sunan Kalijaga juga terkenal seorang wali seniman yang ulung, hal ini di kerenakan kanjeng Sunan Kalijaga dalam mendekati masyarakat lebih menggunakan metode budaya masyarakat pada jaman dahulu, suatu missal Sunan Kalijaga juga menggunakan cerita wayang dalam menyebarkan islam, bahkan Sunan Kalijagalah yang kemudian dipercaya sebagai pencetus bentuk wayang kulit yang sekarang kita kenal sebagai salah satu budaya jawa asli. Disamping itu beliaulah yang menciptakan kreasi musik gamelan yang terkenal dengan julukan Kyai Sekaten, yang kini sebagai pusaka di Kasultanan Ngayogyokarto Dan Kasunanan Surokarto. Kesenian lain yang menjadi karya adalah kaligrafi arab yang tertuang dalam pahatan pahatan dan ukiran ukiran pada pintu pintu kususnya pada pintu masjid Demak, yang sering disebut pintu Blhedeg. Tata kota yang pada umumnya diterapkan diseluruh kota di tanah jawa dibawah demak pada umumnya merupakan hasil tatanan dan pengarahan sunan Kalijaga, dimana setiap kota memiliki alun-alun dengan masjid disebelah barat dan sebuah balai pertemuan(kantor, aula, atupun pendopo) disebelah timur alun-alun. Tata seni yang ada di masjid masjid pada kebanyakan bangunan masjid (masjid kuno) di tanah jawa ini juga merupakan hasil kreasi beliau, dengan tatanan sebuah bangunan utama yang memiliki tiang bersusun limas dengan tiga undagan(dengan makna tertentu, Syariat, thoriqoh dan ma’rifat), yang mana masjid juga memiliki serambi dibagian depan (serambi depan merupakan kreasi sunan Kalijaga, yang mana pertama kali beliau mencetuskan adanya serambi depan setelah mengalahkan majapahit dalam sebuah pertempuran dan hasil kemenangannya adalah keislaman demak dengan runtuhnya majapahit dengan ditandai dengan diangkatnya pendopo majapahit dan dipakainya sebagai serambi masjid demak ). Hasil kreasi sunan Kalijaga yang laian adalah adanya sebuah upacara selamatan yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh kalangan kraton dijawa tengah, yaitu selamatan Grebeg Suro dan grebeg Maulud serta Grebeg sawwal.
Pendekatan social yang dipakai Sunan Kalijaga dalam berdakwah cenderung bersifat sederhana dan tidak muluk muluk, hal tersebut terlihat jelas dari sasaran dakwah beliau yang hanya mendekati para rakyat jelata ketimbang para pejabat di jaman itu, meskipun beliau sendiri juga merupakan dari kalangan ningrat atau bangsawan dikala itu. Kesederhanaan serta apa adanya dalam berdakwah dan mengajarkan islam menjadi daya tarik tersendiri bagi para jelata untuk ikut dan percaya terhadap islam, terbukti dari berbagai kisah para wali yang beredar dimasyarakat, dimana Sunan Kalijaga dianggap sebagai wali yang sangat tangguh dalam ilmu maupun kesaktian, padahal sungguhnya keilmuan wali yang lain tidak kalah dengan apa yang dimiliki oleh kanjeng Sunan Kalijaga. Pemilihan daerah kadilangu sebagai tempat bermukim beliau juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, dimana daerah ini yang dulunya hanya daerah yang sepi(ada yang mengatakan hutan belantara) menunjukkan ajakan untuk bersederhana dalam bertempat tinggal.
Ada beberapa hal dalam kehidupan Sunan Kalijaga yang dijadikan tauladan bagi masyarakat, bahkan sampai sekarang ini, beberapa hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai bagian cara beliau berdakwah dimasyarakat, dimana dapat diketahui dengan melihat beberapa hal sebagai berikut ini:
a. Ajaran Sunan Kalijaga
Seperti yang telah dikemukana diatas bahwa Sunan Kalijaga dalam berdakwah lebih menggunakan seni dan budaya, hal ini sangat efektif dijaman tesebut karena keadaan masyarakat yang pada umumnya belum mampu menerima ajaran islam dalam bentuk aslinya dari Negara arab. Pendekatan sosiokultural yang dikembangkan Sunan Kalijaga tergambar jelas dari ajaran ajaran beliau, seperti contoh menjawakan ajaran rukun islam pada perangkat wayang yang diidentifikasikan pada keberadaan Pandawa Lima, membuat doa-doa yang berhubungan dengan keseharian masyarakat awam pada umumnya, seperti doa tanam padi, doa panen bahkan doa penyembuhan atau sering disebut sebagai metode Suwu’ (metode penyembuhan dengan doa dalam jawa).
Pengangkatan tema budaya dan kepercayaan yang masih melekat dimasyarakat kal itu juga menjadi pertimbangn Sunan Kalijaga dalam berdakwah, dalam hal tertentu memang kelihatan seperti bertentangan dengan ajaran islam, akan tetapi sangat membantu dalam penyempaian islam dimasyarakat kala itu, seperti dapat kita contohkan tentang Tahlilan yang merupakan akulturasi budaya hindu yang tertanam dimasyarakat sebelum islam dengan ajaran islam itu sendiri, dimana pada dasarnya islam tidak mengajarkan tahlilan, akan tetapi kebutuhan dalam masyarakat dan untuk menarik masyarakat itulah Kanjeng Sunan Kalijaga mencampurkan budaya hindu yang ada dengan islam, mulai dari hitungan Telung Dino(Tiga Hari), Pitung Dino(tuju hari), Patang Puluhan(empat puluh hari), Satusan (seratus hari), Pendak Pisan-Pendak Pndo, sampai seribu hari dari kematian.
Ajaran yang bersifat memasyarakat inilah yang kemudian menjadi sebuah pertimbang tersendiri bagi masyarakat mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas untuk berbondong bondong memeluk agama islam yang dibawa Sunan Kalijaga, yang anggapan mereka sangat Njawani dan sangat kejawen.
Salah satu ajaran yang diberikan sunan kali jaga dalam mendakwahkan islam adalah, adanya faham, Sedulur Papat Gangsal Pancer , yang mana ajaran inilah yang menjadikan masyarakat mengetahui adanya sebuah kenyataan hidup, dalam falsafah sedulur papat gangsal pancer ini dijelaskan bahwa manusia yang hidup di dunia ini tidak akan bisa hidup tanpa adanya empat saudara dan yang kelima pancer, diantara saudara empat itu adalah kakang kawah(air ketuban), adi ari ari(tali pusar), roh dan rah(darah) tanpa adanya keempat hal tersebut maka manusia tidak akan bisa hidup kelama dunia ini, dan meskipun keempat hal tersebut terpenuhi tapi ketika tidak ada yang kelima yaitu esensi Alloh itu sendiri maka kehidupan juga tidak akan bisa tercapai dengan sempurna.
Dalam ajaranya yang lain sunan Kalijaga lebih mementingkan aspek kepentingan bermasyarakat dan bergotong royong, hal ini terlihat jelas dalam sebuah ungkapan beliau mengenai hakekat hidup yaitu, Urip tan keno gumbede drengki manah, sebab urip kuwi sinasat mampir ngombe, urip kuwi sinipat cokro manggilingan (dalam hidup ini tidak boleh saling sombong, hal ini disebabkan karena hakekat hidup adalah hanya sebagai sarana minum air, sifatnya hidup tidak ubahnya seperti roda berputas), dari salah satu ungkapan tersebut mak semakin jelas bahwa hakekad hidup ini adalah ketidak kuasaan manusia, sehingga semau harus saling asih dan tidak saling congkak satu dengan yang lainnya.
Ajaran ajaran suan kali jaga memeng sering hanya lewat tembang dan budaya jawa.
b. Cara Berpakaian
Masyarakat Indonesia tentunya lazim mengetahui bagaimana gambaran cara berpakaian Kanjeng Sunan Kalijaga yang agak beda dengan wali-wali yang lain. Cara berpakaian yang tidak lazim bagi para wali inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat awam pada masa itu. Dengan cara berpakaian yang serba hitam dengan model jawa asli inilah yang menjadikan masyarakat tidak takut dengan islam, dengan pakaian ini pula masyarakat juga dapat menilai bahwa dengan memeluk islam tidak semuanya dari budaya asli harus ditinggalkan melainkan budaya asli dapat melengkapi keberadaan beragama dan bermasyarakat pada kala itu.
Pada dasarnya pakaian hanyalah tutup yang bersifat tidak kekal, meskipun kecenderungan para wali dalam berpakaian dimasa itu menirukan gaya berpakaian para sahabat dan Rosul, akan tetapi esensinya adalah sama yaitu sebagai penutup aurat saja tidak lebih dari itu. Pemilihan Ageman atau pakaian yang disandarkan pada budaya local inilah yang mempengaruhi eksistensi dari Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai seorang wali yang kejawen dan peduli bagi budaya masyarakat pada umumnya, sehingga beliau lebih di segani dimasyarakat jawa ketimbang para wali lainya.
Cara pakian yang ditunjukkan sunan Kalijaga yang serba hitam tersebut merupakan bentuk metode dakwah sunan Kalijaga tersendiri, dimana dengan berpakaian seperti itu sunan Kalijaga akan lebih leluasa berhubungan dan bergaul dengan masyarakat pada umumnya, hal ini dikrenakan apabila sunan Kalijaga memakai pakaian layaknya sunan yang lain maka dimungkinkan masyarakat akan enggan bahkan takut untukmendekat atau didekati sunan kali jaga.
Cara beliau berpakaian ini juga merupakan bentuk ajaran sunan, dimana dengan pakaian tersebut menunjukkan bahwa islam merupaka agam yang menjunjung tinggi kesederhanaan, dan menjunjung tinggi pengabdian pada kepentingan masyarakat bukan kepentingan pribadi. Sehingga dapat difahami bahwa sauna juga menggunakan media baju dalam mengajarkan islam dan isinya
c. Sikap dan Peranan Didalam politik
Keinginan yang kuat Kanjeng Sunan Kalijaga yang sangat kuat untuk mengislamkan jawa dengan tanpa meninggalkan budaya jawa, juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan politik di Demak Bintoro kala itu kususnya setelah era kepemimpinan Raden Patah. Meskipun dalam politik sunan Kalijaga sangat diperhitungkan, akan tetapi biliau tidak secara langsung ikut dalam andil politik. Dalam prakteknya beliau hanya menjadi pengarah bagi tokoh politik pada masa yang lalu
Cara pandang sunan Kalijaga terhadap islam dan budaya menjadikan beliau dikenal sebagai sufistik jawa, dimana ajaran ajaran beliau banyak dipakai orang orang yang menginginkan islam dan jawa bersatu dan manunggal.
Dalam dunia politik sunan Kalijaga memiliki peran yang sangat dominant, kususnya pasca pemerintahan Raden Patah, hasil rekayasa politik ini juga menunjukkan bagaimana keinginan sunan Kalijaga terhadap perkembangan demak masa depan, diman perkembangan demak juga merupakan perkembangan islam masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya demak bintara sebagai pusat pemerintahan islam pertama kali dijawa merupakan juga hasil usaha sunan Kalijaga, pembentukan hukum jawa demak yang disesuaikan atau disamakn dengan hokum islam yang ada dimakkah ditujukan untuk mengatur umat dijawa ini secara tidak langsung, dan hal itu semua ditujukan agar umat betul betuul terselamatkan dengan memehami islam tersebut.

KESIMPULAN
Sunan Kalijaga yang merupakan tokoh wali yang sangat berpengaruh di kalangan para wali pada jaman dulu adalah budayawan jawa yang mendakwahkan islam. Sunan Kalijaga berdakwah dan mengajarkan islam melalui cara dan metode yang lain dari pada para wali yang lain, beliau menggunakan pendekatan social dan budaya dalam pengajaran islam. Budaya yang dipandang sebagi jatidiri masyarakat tidak begitu saja diacuhkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga, hal ini terlihat dengan kentalnya peninggalan beliau terhadap kebudayaan jawa yang islami.
Islam adalah isi sedangkan bungkusnya adalah kebudayaan masing masing masyarakat. Sunan Kalijaga yang merupakan putra asli jawa berhasil menggabungkan jawa dan islam. Islam dibumikan dijawa dengan pendekatan jawanya dan kultur kejawen tanpa melupakan atau mengurangi ajaran islam pada intinya.

DAFTAR RUJUKAN
Chodim, Achmad 2003. Mistik Dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Endraswara, suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta : NARASI
Purwadi, Dkk.2006. Jejak Para Wali Dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Kompas Media Nusantara
So’an, Soleh. 2002. Tahlilan Penelusuran Histories Atas Makana Tahlilan Di Indonesia. Bandung: Agung Ilmu
Simon, Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar. Yokyakarta: Pustaka Pelajar
Saksono, W 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Wali Songo. Bandung: Mizan
Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normative Versus Kebatinan . Yogyakarta : LKIS

0 komentar:

Posting Komentar