Mengeja Tan Malaka Lagi

Kamis, 13 Januari 2011

Jika mau mencermati ketokohan seseorang, barangkali tak cukup hanya bersandar pada catatan semacam biografi ataupun autobiografi tokoh tersebut. Jauh lebih penting adalah menyelami lautan corak pikir dan karya yang telah disepuhnya sebagai buah dari idealisme. Karena dengan begitu, pembaca mampu memerkirakan dan memetakan ke arah mana ia akan berlabuh.

Berpijak pada kerangka seperti itulah, seharusnya pembaca menilai penerbitan (kembali) karya monumental Tan Malaka ini. Madilog, dengan demikian, merupakan proses kajian Tan Malaka yang tak habis dibaca. Ia akan terus menjuntai. Ia akan menghantui pikiran pembaca. Uraiannya yang demikian detil dan bercabang-cabang, setidaknya membikin pembaca “ngos-ngosan”. Oleh karena itu, harus disertai bekal pengalaman pembacaan yang cukup agar tiap istilah yang dipapar tidak menguar tanpa pemahaman yang mengena.

Dalam buku ini, Tan Malaka mempersoalkan sengkarut materialisme, dialektika, dan logika dengan nalar yang begitu mencengangkan. Saya membayangkan, horizon pengetahuan yang direngkuhnya melampaui dimensi orang-orang biasa. Bisa dikatakan isi otaknya berkali-kali lipat dengan otak orang biasa. Dengan begitu bisa disimpulkan, sejarah baca Tan Malaka pun merentang dari ujung hingga ke ujung.

Dalam bahasan dialektika (BabV), Tan Malaka menyoal ilmu berfikir. Sekarang ini, pada zaman Tan, sudah saat merekonstruksi gaya berlogika. Bahwa jawaban dari setiap pertanyaan tidak lagi cukup dijawab dengan ya dan/atau tidak. Melainkan harus melalui sekian asumsi dan prediksi. Dia mencontohkan pertanyaan apakah Thomas Edison bodoh atau pandai, tak tercukupkan dijawab dengan jawaban ya atau tidak begitu saja.

Alkisah, ketika berumur 6 tahun, Edison diusir oleh gurunya karena dianggap bodoh. Tapi, sekarang seluruh dunia mengakui betapa klaim yang dilontarkan guru tersebut adalah salah kaprah. Apa yang terjadi? Melihat ini, Tan Malaka mengurai waktu lah yang berperan dalam sekian proses. Waktu telah mengubah Edison yang semula goblok menjadi cerdik-cendekia.

Dalam memproblematisasikan hal ini, Tan Malaka menulis, “Kita diajari di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai waktu, hal 146”. Dengan begitu, jelas lah sudah bahwa untuk mencapai suatu kemaksimalan yang dibutuhkan tak lain adalah elemen yang dibentuk dan sekaligus membentuk waktu; proses, kesungguhan, pendalaman, pengalaman, dan penngamalan.

Dari pemaparannya yang kompleks itu, terlihat antusiasme Tan Malaka dalam abdi penyadaran cara berpikir manusia (Indonesia). Meskipun, rujukan yang kerap disebut adalah buku-buku karangan bangsa Barat. Meliputi Hegel, Plato, Aristoteles, Marx, Engels, Feuerbach, dan lain sebagainya. Namun, adat ketimuran Tan Malaka tetap saja terbaca. Sebagai suatu karya, ini merupakan perangkat berpikir dan berkontemplasi.

Sebagaimana diakuinya sendiri, Tan Malaka menolak metode belajar mengahapal, hal 24. Kendati semasa kecilnya pernah melampaui aktifitas semacam itu. Baginya, kebiasaan itu tidak menambah kecerdasan. Sebaliknya menjadikan bodoh, mekanis, layaknya mesin. Menyoal hal-ihwal mesin, kecakapannya dibawa pada pemahaman Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa mesin itu setan. Dan kota di mana terkumpul mesin, ditasbihkan sebagai neraka, hal 96.

Dalam pembacaan saya, ia bukan penyuka istilah yang panjang dan bertele-tele. Pembaca pun akan menjumpai pemaknaan tentang hidup yang terlihat biasa bagi Tan. Defenisi hidup ia artikan sebagai suatu yang sangat simple. Dalam pengertiannya hidup ia benturkan dengan sifat negatif. Ia mengartikannya dengan: bukan mati. Berbeda jauh dengan uraian yang didapatkan dari Encyclopedia Eritanica, hal 370. Namun dalam hal ini, Tan serasa mengingkari apa yang dijabarkan terlebih dahulu mengenai result, hal 80. Bukankah dengan memberikan uraian cukup panjang segala sesuatu akan terasa prosesnya?

Rangkaian dialektika, logika, dan materialisme yang dijabarkan Tan Malaka diuji saat menilik kasus memaknai ketimuran, hal 296. Baginya, (adat) ketimuran adalah segala hal yang berhubungan dengan mistika, kegaiban, dari manapun juga datangnya.

Pembaca bakal terbata-bata, menerjemahkan bahasa ungkap Tan Malaka yang “lampau”. Dan itu, barangkali, adalah sisi kelemahan proyek cetak ulang buku ini. Meskipun, hal itu bisa dipahami sebagai upaya menjaga orisinilitas sebuah karya. Ini jadi hal yang dilematis. Di satu isi hendak menghadirkan ulang gagasan kompleks Tan Malaka. Namun di sisi lain ditekan dengan idealisme bernama orisinilitas.

Nah, dengan membaca Madilog ini, bisa jadi pembaca tengah mengamalkan apa yang dijabarkan Tan Malaka mengenai geometri (hal 82). Pembacaan mengenai itu, akan memahamkan pembaca pada tataran yang lebih prinsipil. Meliputi pengetahuan terhadap sifat badan, muka garis, dan titik. Semua elemen itu bisa dijumpai dan dierenungi ketika apa yang dipaparkan Tan Malaka usai kita rasakan dan rayakan sebagai suatu metode berpikir. Demikian.

Judul buku : Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika Penulis : Tan Malaka Penerbit : Narasi, Yogyakarta Terbit : pertama, 2010 Tebal : 568 halaman

oleh: AHMAD KHOTIM MUZAKKA

0 komentar:

Posting Komentar