Mampukah Pendidikan Gratis Diwujudkan

Jumat, 16 Oktober 2009

Permasalahan pemerintah mengenai pendidikan berkutat seputar kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Negara. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik.
Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum. Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan 1) setiap warga berhak mendapat pendidikan, 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Pada tahun 2003, pemerintahan Megawati Sukarnoputri menterjemahkan amanah ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas menyebutkan keinginan besar pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengamanatkan agar dana pendidikan---selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan---dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan dana APBN sebesar itu pemerintah bercita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis.
Namun kenyataannya, kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003). Pada tahun ajaran 2004/2005 angka drop out (DO) untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah.
Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih di dalam angan. Di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan. Masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam
gedung yang hampir roboh.
Berbagai Program pemerintah untuk memberantas hal tersebut Mulai dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah), BOP (Bantuan Operasional Pendidikan), BKM (Bantuan Khusus Murid), GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh), DAK (Dana Alokasi Khusus) Pendidikan, Hingga Voucher Pendidikan, ternyata belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini juga terkait bagaimana menejemen sokolah sebagai ujung tombak pelaksanaan program-program tersebut bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Masalah lainnya adalah kondisi perekonomian Indonesia yang menghadapi ancaman inflasi tinggi, ditandai dengan melambungnya harga BBM di ikuti bahan pokok yang lain. Disusul krisis Amerika juga berpengaruh terhadap keadaan ekonomi dalam negeri. Ketidakmampuan melepas diri dari jerat utang luar negeri semakin menyebabkan Indonesia tidak bisa mengembangkan perekonomian yang mandiri. SDA yang melimpahruah belum bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat.
Disisi lain Pemerintah terus mengampanyekan bahwa dengan dialihkannya sebagian subsidi BBM ke pembiayaan pendidikan, maka pendidikan dasar akan dapat dinikmati rakyat secara gratis (Kompas, 21 Maret 2005). Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih (Ujiyanti:2005). Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menjelaskan tiga komitmennya dalam meningkatkan pendidikan. Ketiganya adalah pendidikan gratis, akses ke pendidikan tinggi, dan kesejahteraan guru (Tempo, 22 Oktober 2004).Belum lagi janji-janji para calon legislatif maupun eksekutif dari tingkat daerah hingga nasional pada saat kampanye, pendidikan gratis adalah nyanyian (baca:janji) yang yang sering di obral kepada rakyat.
Melihat kondisi pendidikan dan perekonomian Indonesia saat ini, mungkinkah hal tersebut bisa diwujudkan? suatu pendidikan gratis dan bermutu yang merata bagi seluruh rakyat sebagaimana tersurat dalam UUD ’45 dan UU No. 20 tahun 2003.

0 komentar:

Posting Komentar