Saya P.K.I atau bukan P.K.I

Minggu, 23 Oktober 2011

Pertanyaaan "P.K.I atau bukan P.K.I", "Marxis atau bukan Marxis" tidak
berbeda dengan pertanyaan " China atau bukan China", "Blasteran China atau
Bukan Blasteran", "Arab atau bukan Arab" , "Islam ekstrim atau baukan
Islam ekstrim" dll. Sebab pertanyaan serupa itu bukan mempersoalkan
pendapat, melainkan hanya "warna" belaka. Kalau "Warna" tak cocok, maka
pendapat juga tak cocok. Selain itu, saya menolak untuk menjawab pertanyaan
serupa itu. Karena itu, saya akan memberikan alasan -alasannya dibawah ini.
Sebelumnya , mohon ma'af bila terlalu panjang. Ia tak bisa dihindarkan.

Sejak ia dipindahkan dari pabrik gula Semboro (daerah Jember Jawa Timur) ke
pabrik gula Ngadirejo daerah kediri jawa timur pada tahun 1959, M.
Kartawijaya menjabat sebagai direktur pabrik gula sampai tahun 1967. Antara
tahun 1967 sampai 1968 ia menjabat sebagai inspektur pabrik gula di
Semarang, kemudian pada tahun berikutnya menjadi direktur utama PNP XXI
(daerah Situbondo) dan berkedudukan di Surabaya.

Jabatannya sebagai direktur pabrik gula di Ngadirejo tidak mudah. Sebab
mulai 1959, seluruh pabrik gula di Indonesia yang semula milik Belanda, di
Nasionalisasikan dan ditangani oleh Departemen Pertanian. Lalu, politisasi
politik dan polarisasi kehidupan politik serikat-serikat buruh sangat
terasa . Di pabrik gula Ngadirejo sendiri, terdapat 3 serikat buruh, yaitu
Serikat Buruh Gula (SBG - ormas PKI ), Serikat Buruh Muslimin Indonesia
(SARBUMUSI - NU) dan Kesatuan Buruh Gula (KBG - PNI).

Meskipun pabrik gula telah di Nasionalisasi, tapi kehidupan sosialnya tidak
berubah (Budaya Belanda masih melekat). Di Pabrik Gula Ngadirejo, terdapat
lapisan " Employe" (Direktur, wakil direktur, Sinder tebu, masinis ahli
gula, kepala kendaraan dls - jumlah keseluruhan sekitar 30 sampai 40 orang)
dan lapisan Buruh (buruh tetap dan Buruh musiman, supir, Waker/penjaga
keamanan). Catatan saja: Buruh musiman hanya dipekerjakan pada
musim"Giling", di pabrik gula Ngadirejo sekitar 4 -5 bulan dan dari pabrik
ke pabrik berbeda. Ada yang cuma 3 bulan dalam satu tahun. Ini tergantung
dari besar kecilnya pabrik gula dan luas tanah perkebunan tebu.

Setiap lapisan punya kenikmatan yang berbeda, misalnya :
1. Hanya anak-anak "Employe" yang berhak naik - bis sekolah yang disediakan
oleh pabrik gula (gratis) untuk pergi sekolah (SD,SMP,SMA atau perguruan
tinggi) di kota Kediri. Jarak Ngadirejo ke Kediri 14 km, Semboro -Jember 35
km. Bila anak-anak buruh hendak pergi kesekolah seperti SMP,SMA atau STM
(SD letaknya sekitar pabrik gula), maka harus pergi kekota Kediri:
A. mengendarai sepeda (PP 28 km). Karena jalan raya yang menghubungkan
antara Kediri dan Ngadirejo pararel dengan Sungai Brantas, maka angin
bertiup cukup kencang. Bila angin bertiup dari utara ke selatan, maka
pulang sekolah cukup enteng, karena sepeda didorong oleh angin. Tapi
berangkat sekolah cukup berat bisa-bisa loyo sampai disekolah.
B. Naik kendaraan umum (bis, oplet) dan ongkos ditanggung sendiri.
C. Berjalan kaki / naik sepeda ke kota Ngadiluwih (4 km), kemudian naik
kereta api. Dan ongkos ditanggung sendiri.

2. Pemutaran filem yang bagus (biasanya filem-filem Barat, seperti Koboy,
Drakula) bertempat digedung pertemuan (SUSITET) . Yang berhak menonton cuma
keluarga "Employe".
3. Fasilitas pemandian, tenis, tenis-meja, cuma boleh dinikmati oleh
keluarga Employer (tak jarang keluar ucapan dari anak-anak employe, bahwa
jika anak-anak buruh boleh berenang di pemandian tersebut, maka bisa-bisa
mereka ketularan penyakit kulit, seperti Kadas dan Panu).
4. Buat keluarga Employe disediakan kendaraan buat rekreasi ke kota Kediri.
Biasanya hari Rabu dan Sabtu sore/ malam.
5. Buat keluarga Employe disediakan kendaraan untuk pergi ke Rumah Sakit
Pabrik Gula di kota Pare (25 km sebelah timur laut Kediri) dan 40 km dari
pabrik gula Ngadirejo. Bagi Buruh, cukup Klinik Pabrik Gula. Kecuali kalau
penyakitnya cukup parah. Bagi keluarga Employe Klinik tak menarik, sebab
yang melayani cuman seorang mantri dan bukan Dokter (kecuali kalau perlu
jodium atau spiritus buat luka-luka ringan). Sebaliknya, yang melayani
pasien di Pare adalah Dokter.
6. Kalau menyelanggarakan pesta: "Buka Giling" buruh cuma boleh menikmati
pasar malam atau wayang kulit semalam suntuk. Sedangkan Employe dapat
menikmati pertunjukan-pertunjukan yang lebih TOP, misalnya pabrik gula
Ngadirejo pernah mengundang Lilis Suryani (Penyanyi TOP Indonesia pada
tahun 60 an)


Selain beberapa contoh kenikmatan diatas, bagi seorang direktur pabrik
gula , seperti M. Kartawijaya, disediakan sebuah rumah yang cukup besar :
2 ruang tamu [ 1 untuk tamu yang tidak penting dan dikenal, 1 untuk tamu
yang dikenal dan penting], 1 kamar tidur khusus untuk tamu, 4 kamar
tidur, 1 ruang makan, 3 kamar mandi + kakus, 3 kamar pembantu rumah, 1
dapur 1 kamar mandi + kakus bagi pembantu, 1 gudang barang, 1 gudang
bahan-bahan pangan dan 2 garasi mobil [ 1 jeep Nissan dan 1 Mercedes 190
bersama 2 orang supir].Selain 3orang pembantu wanita [ plus seorang anak
lali-laki], juga bekerja disana 2 orang pembantu laki-laki.


P.K.I VERSUS KARTAWIJAYA;

25 km disebelah Timur Kediri, terletak puing-puing bekas pabrik gula,
yaitu di Jengkol. Dulunya, ia merupakan pabrik gula yang mandiri, tapi
hancur karena perang. Yang tersisa hanyalah rumah-rumah employe dan
perkebunan tebu yang luas dan tercecer dimana-mana.
Pada tahun 1962, Departemen Pertanian merencanakan untuk menyatukan
tanah-tanah perkebunan tebu didaerah Jengkol untuk kemudian diintegrasikan
ke pabrik gula Ngadirejo. Dengan demikian, areal perkebunan tebu milik
pabrik gula Ngadirejo menjadi luas dan kapasitas produksi meningkat .
Cuma, rencana penyatuan tanah-tanah perkebunan harus mengorbankan
rumah-rumah penduduk. Penduduk harus pindah, dan ditempatkan
didaerah-daerah yang telah disediakan pemerintah.
Dan rencana ini ditentang oleh P.K.I bersama ormas-ormasnya, seperti
Barisan Tani Indonesia [ BTI ], Gerakan Wanita Indonesia [ GERWANI ], SBG
atau Pemuda Rakyat. Karena protes mereka tak membawa hasil, akhirnya massa
yang tergabung dalam PKI tak terkendalikan lagi. Meraka mengubur
hidup-hidup sopir traktor dan seorang polisi.
Aksi ini menimbulkan reaksi pula. Tentara didatangkan, massa PKI
menentang. Menurut cerita, yang berbaris paling depan adalah GERWANI.
Mungkin dipikir, mana mau tentara menembak wanita ? Tapi akhirnya tentara
menembak. Korban dipihak PKI berjatuhan. Begitu banyak korban yang
berjatuhan, sehingga berita ini disiarkan oleh Radio Australia Siaran
Bahasa Indonesia.
Dan clash ini merupakan awal daripada pertentangan antara PKI [ terutama
SBG ] dengan M. Kartawijaya.

Sejak itulah , dalam setiap kesempatan, baik dalam rapat-rapat atau
pawai-pawai mereka selalu muncul semboyan-semboyan : " retool Karta","
Karta Kabir", " Karta ex Masyumi". "Karta 7 setan desa", dsb. -
istilah-istilah yang sedang populer pada masa itu.
Dan kelima putra Kartawijaya harus turut mendengar dan membaca cacian atau
slogan-slogan yang terpajang dispanduk-spanduk mereka.
Telinga cukup panas, hati terasa terbakar, dan dendam semakin menumpuk.

Selain rapat-rapat dan pawai, SBG sendiri selalu mengadakan
demonstrasi-demonstrasi dipabrik gula. Tuntutan a.l " Penyediaan bis buat
anak-anak buruh yang hendak bersekolah di Kediri", selain " retool Karta" ,
dlsbnya.
Meskipun M. Kartawijaya dimusuhi oleh SBG tapi dia dibela oleh
SARBUMUSI-juga N.U.-dan KBG-juga PNI/FM. Cuma, menurut kabar, jumlah kedua
anggota organisasi tsb. Seimbang dengan jumlah anggota SBG. Tampaknya, SBG
lebih populer dan atraktif bagi buruh gula.

Menjelang G-30-S, kebijaksanaan Kartawijaya dalam menangani tuntutan SBG
semakin tak disukaii. Sebab, misalnya dalam menangani buruh yang tergabung
dan diorganisir oleh SBG, ia memotong upah buruh yang mogok. Dan dengan
uang tersebut, ia memberikan uang ekstra kepada buruh-buruh yang tidak
mogok [ tentunya yang tergabung dalam SARBUMUSI dan KGB ]. Pertentangan
antara PKI dengan Kartawijaya, bukanlah merupakan satu-satunya
pertentangan politis di daerah Kediri. Didaerah Gurah, 10km sebelah Timur
Kediri, pernah seorang Lurah PNI dibacok oleh PKI karena urusan tanah pada
tahun 1964. Tentu saja, PNI da NU tak tinggal diam [ untuk memudahkan
identitas, maka pada setiap pergelangan kiri pasukan gabungan diikat daun
kelapa ]. Dan Perang Romawi seperti dilayar film tak terelakkan lagi.
Maklum, senjata tak dimiliki, yang ada cuma senjata tajam.
Pertentangan-pertentangan semacam ini meningkatkan suhu politik di daerah
Kediri. Aapalagi [ karena kita juga memiliki hari -hari besar dan pada
waktu itu adalah masa Trikora-Dwikora ] pawai dan rapat-rapat raksasa
sering diselenggarakan . "Retool Karta", "Karta Kabir", dll. Merupakan
bahasa sehari-hari.
Suasana yang demikian panas juga menjalar ke sekolah-sekolah. Dimana
putra-putra Kartawijaya belajar. Tidak jarang, misalnya putra II
Kartawijaya , menerima cacian sebagai " Anak Kabir ", "Anak Bekas Masyumi"
, "Anak 7 Setan Desa",dll. Dari anggota-anggota Ikatan Pemuda Pelajar
Indonesia [ IPPI-PKI ].
Ditambah dengan rasa antipati terhadap PKI dan keinginan buaat membela
orang tuanya. Maka putra II Kartawijaya menjadi anggota Gerakan Siswa
Nasional Indonesia [ GSNI-PNI/FM ]. Meskipun keluarga ayahnya religius [
orang Sunda dan pernah ke Mekkah ] dan ia sendiri rajin sembahyang, tapi ia
memilih PNI dan bukan NU. Sebab, ia termasuk pemuja Bung Karno, meskipun ia
tak mengerti bahwa " Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan dan
disesuaikan dengan situasi si Indonesia" [ begitu kursus yang pernah
diterimanya pada kaderisasi anggota-anggota GSNI ].
Semakin gencar serangan SBG-PKI terhadap Kartawijaya, semakin giat putra II
Kartawijaya turut bergerak didalam aktifitas PNI. Dan dalam setiap
kesempatan pawai, ia turut terlibat. Seperti seragam PNI lainnya,
pakaianpun hitam-hitam.

Menjelang G-30-S, SBG menyelenggarakan rapat digedung buruh di daerah
Margosari [ perkampungan buruh ]. Putra II Kartawijaya dan sahabatnya,
Maxkakiay [ orang Ambon ] pergi untuk memata-matai jalannya rapat tersebut.
Dan yang hadir luar biasa banyaknya. Disana dikatakan segala " Keburukan
Kartawijaya". Oleh karena itu, mereka sepakat untuk berdemonstrasi
menentang Kartawijaya. Menurut rencana, bila Kartawijaya pergi ke kantor,
maka ia harus dicegah agar ia tidak memasuki tempat kerjanya.
Tapi, kedua mata-mata tersebut tak sempat mendengarkan isi rapat. Sebab,
bagian keamanan mereka kebanyakan dari Pemuda Rakyat-PKI, datang
mengerumuni mereka berdua. Meskipun mereka berdua duduk berkerudung
sarung. Mereka berdua sempat dimaki sebagai" anjing" 7Setan Desa, dllnya .
Akhirnya, mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu.

Rencana SBG yang bukan rahasia , menyebar dengan pesat. Dan kebetulan,
SARBUMUSI seluruh Jawa Timur sedang berkonperensi di pabrik gula Ngadirejo.
Ketika mereka mendengar rencana tersebut, kontan saja mereka mengerahkan
massanya ditambah bantuan dari Santri-Sanri Pesantren /Pondok sekitar
daerah Kediri. Tak ketinggalkaan , pihak PNIpun ikut mengerahkan massanya.
Dipagi hari , pada hari rencana SBG untuk memboikot Kartawijaya pergi ke
kantor, jalanan didepan rumah Karta wijaya penuh oleh massa NU dan PNI,
sambil menjaga rumah Kartawijaya. Bisa dibayangkan panasnya suhu politik
pada waktu itu. Masing-masing pihak membawa dinamit dendam kesumat.
Untungnya clash tak sempat terjadi,karena tentara didatangkan untuk
mengamankan suasana.
Sebenarnya kedudukan Kartawijaya tidak jelek. Karena ia dianggap sebagai
lawan nomor satu bagi PKI, maka pihak NU, PNI serta Komandan KODIM misalnya
memberikan simpati kepadanya. Tak jarang, tokoh-tokoh NU (misalnya kyai
Haji Machrus dari pondok Lirboyo) atau tokoh-tokoh PNI datang berkunjung ke
rumah. Tentu saja, mereka diterima diruang tamu yang disediakan bagi
tamu-tamu penting dan terdekat (catatan: pedagang-pedagang China, misalnya
pedagang gula, onderdil mobil seperti pak Ang Kok yang mendapat julukan
"pendekar bungkuk", biasanya diterima ruang tamu depan).
Berbeda dengan oleh-oleh yang selalu dibawa oleh pedagang-pedagnag Cina
(seperti makanan, koe Cina, tape recorder dll.), maka oleh-oleh yang dibawa
oleh Kyai-kyai pondok/ pesantren biasanya berupa doa atau berkah. Pernah
seorang Kyai memberikan ikat pinggang bertuliskan ayat-ayat al Qur'an atau
tulisan tulisan ayat-ayat Al Qur'an yang untuk dipasang diatas pintu-pintu
di dalam rumah. Semuanya dimaksudkan sebagai pelindung terhadap bahaya
orang-orang kafir.

Tentang hubungan dengan pedagang-pedagang Cina : Kartawijaya pernah
mengatakan kepada putra-putranya, bahwa sebenarnya seorang direktur pabrik
gula tidak perlu korupsi (mengambil uang pabrik). Sebab, segala kebutuhan
materi selalu dipenuhi oleh pedagang-pedagang Cina. Dan hadiah-hadiah yang
diterima selalu melebihi gajinya. Para pedagang Cina cuma minta/
mengharapkan untuk diberi kesempatan (kalu bisa hak monopoli) supaya boleh
membeli gula, besi-besi tua atau misalnya, menjual onderdil mobil, beras
dan pakaian bagi kebutuhan para buruh pabrik gula.
Kalau Kartawijaya bertugas ke Surabaya atau pergi bersama keluarga, maka
makan-makan di restoran Cina sudah merupakan kebiasaan. Habis, semuanya
serba gratis. Pernah putra II Kartawijaya mengatakan pada ayahnya,
"Cina-Cina itu kok baik". Kartawijaya cuma menjawab, "mereka bukannya baik.
Mereka sekarang sedang butuh sama bapak. Lihat saja nanti, kalau bapak
tidak menjabat lagi".
Seperti halnya diluaran maka suasana disekolahpun cukup panas. Kelompok
para siswa terbagi dalam kelompok Pemuda Nasionalis, Agama dan Komunis. Dan
seperti juga diluar, pemuda Komunis (misalnya IPPI) berdiri sendirian.
Sedangkan yang lain selalu bergabung, baik dalam kegiatan pawai maupun rapat.

Peningkatan suhu tersa menjelag tahun-tahun 1965, baik di sekolah maupun di
luaran. Pada tahun 1965, putra II Kartawijaya duduk di bangku SMA negri I
kediri kelas satu.

SITUASI SELAMA G30S 1965:
Sampai tahun 1965, front terbagi dua, yaitu: Front Komunis disatu pihak dan
Front Gabungan Nasionalis dan Agama dilain pihak. Kekuatan pihak Komunis
seimbang dengan kekuatan Gabungan Nasionalis dan Agama. Entah bagaimana,
justru kekuatan PKI di daerah Kediri, Tulungagung dan Blitar begitu
menonjol. Mungkin terjadi pergeseran kekuatan dari Madiun menuju Kediri.

Kejadian 1 Oktober 1965 merupakan sebuah peristiwa yang tak pernah dan
mudah dilupakan. Sebab suasana sangat tegang, seolah semuanya menantikan
sesuatu hal setelah diumumkannya peralihan kekuasaan di Jakarta.
Kartawijaya hanya mengatakan kepada keluarganya, "Awas, jaga-jaga ada
kejadian yang tak beres di Jakarta" . Yang biasanya pintu-pintu dan
jendela-jendela rumah di tutup pada jam 22.00 maka dengan peristiwa 1
Oktober tsb, pintu-pintu dan jendela-jendela di tutup sekitar jam 19.00.
Ketakutan menghinggapi keluarga Kartawijaya, sebab desa-desus bahwa PKI
yang melakukan perebutan kekuasaan dan melakukan pembunuhan terhadap para
jendral telah meluas. Sikap PKI yang offensif dan cara pembunuhan mereka
terhadap para jendral memperkuat dugaan keterlibatan PKI. "pembunuhan
sekejam itu" hanya dapat dilakukan oleh orang-orang kafir, yaitu Komunis",
begitu komentar yang ditangkap waktu itu. Tapi, keluarga Kartawijaya merasa
bershukur, karena jendral Nasution lolos dari rencana pembunuhan tersebut.
Cuma, sayangnya putrinya yang masih kecil tak tertolong.

Hampir selama 2 minggu tak ada kegiatan didaerah Kediri. Semuanya cuma
ber-siap siap dan ber jaga-jaga. Suasana di SMA Negri I pun sangat panas.
Kabar bahwa PKI yang memberontak tersebar dengan cepat. Setiap kesempatan,
pihak nasionalis dan Agama memakai para siswa yang tergabung dalam IPPI di
sekolah. Pihak IPPI mengelak dan menolak "tuduhan". Mereka tak tahu menahu
katanya. Yang terjadi di Jakarta adalah persoalan Dewan Jendral katanya.

Selang dua minggu setelah kejadian 1 Oktober, pihak NU mulai bergarak
(terutama Pemuda Ansor) berdemonstrasi, yang diikuti oleh massa para
Santri dari berbagai pesantren/Pondok sekitar Kediri. Mereka menuntut
pembubaran PKI, agar nyawa 1 Jendral ditebus dengan 100.000 orang PKI.
Kantor-kantor, gedung-gedung milik PKI diserbu dan dihancurkan oleh para
demonstran. Kabarnya sekitar 11 orang PKI yang harus mati konyol karena
merasa perlu untuk mempertahankan milik PKI.
Dalam kemelut yang diisi oleh dendam yang demikian tebal terhadap PKI, maka
semuanya dianggap wajar, karena bukankah memerangi orang-orang kafir
merupakan tugas bersama? Dan pembalasan terhadap PKI merupakan tindakan
yang wajar, karena selama ini PKI dianggap kurang ajar. Karena itu, cuma 11
orang PKI yang mati, malahan dianggap belum cukup. Pemikiran demikian juga
menghiggapi Putra II Kartawijaya.
Tapi, ada sebuah kasus yang menarik untuk dikemukakan disini: Disebelah
Timur Stasiun Bis Kota Kediri, terdapat sebuah kantor PKI. Sebenarnya ia,
hanyalah rumah biasa. Cuma didepan rumah tersebut terpajang papan nama dari
semua yang berbau PKI: mulai dari PKI, BTI, GERWANI, IPPI sampai ke Pemuda
Rakyat.
Ketika para demonstran tiba didepan kantor tersebut, kebetulan duduk disana
seorang kakek yang tampaknya sedang mencari udara segar diluar. Ia ditanya
oleh para demonstran, apakah ia anggota PKI. "bukan", jawab nya, "saya
anggota BTI" . "Wach sama saja", teriak beberapa demonsran sambil memukul
sih kakek ia terjungkir sembari merintih kesakitan. Untung tak dibunuh.
Tapi rumah keburu hancur akibat luapan kemarahan massa. Dan seperti
biasanya, sebelum massa NU melakukan tugasnya mereka selalu berteriak
"Allah Huakbar". Setelah demonstrasi berdarah ini, keadaan di Kediri
menjadi tenang kembali. Cuma suasana tetap tegang dan keadaan begini
berlangsung sekitar 3 sampai 4 minggu.

WANTED: ORANG-ORANG KOMUNIS:
Setelah ketenangan yang menghayutkan ini usai, maka dimulailah pembunuhan
secara besar-besaran. Bukan hanya massa NU yang bergerak, tapi juga massa
PNI. Dan tentara tak banyak turut campur.
Perkampungan buruh dipabrik gula mulai digerebek. Biasanya pada malam hari,
untuk dibersihkan dari unsur-unsur Komunis. Caranya, satu desa dikepung
oleh satuan-satuan pemuda Nasionalis dan pemuda Agama (baik Islam maupun
Kristen, misalnya di Pare). Pemuda Ansor banyak didatangkan dari
pesantren-pesantren/pondok-pondok di daerah Kediri. Rata-rata, didalam
opasi penggerebekan begini diikuti oleh sekitar 3000 oprang. Dengan
dikepung nya desa, diharapkan agar tak ada unsur-unsur Komunis yang lolos.
Hasilnya juga lumayan. Setiap hari, kalau putra II Kartawijaya pergi atau
pulang dari SMA N I selalu melihat mayat-mayat PKI yang mengapung di sungai
Brantas. Sebab, SMA- N I terletak di "kulon" (Barat) sungai Brantas. Dan
mayat-mayat tersebut biasanya tidak berupa manusia lagi. Tanpa kepala. Lalu
isi perut keluar dan baunya luar biasa. Supaya mayat tak tenggelam, sengaja
mayat-mayat tersebut diikat dan disisipi oleh bambu. Pengiriman mayat dari
daerah daerah Kediri lewat sungai Brantas mengalami masa keemasan, ketika
mayat-mayat disatukan dan diletakan diatas rakit dengan bendera PKI yang
terpajang megah di atas rakit tersebut. Tentu saja diderah-daerah yang tak
dilalui sungai Brantas, mayat-mayat dikuburkan secara masal, seperti
misalnya didaerah Pare. Didaerah ini umat kristen banyak bergerak. Tapi,
pengiriman mayat lewat Brantas merepotkan kota Surabaya. Sebab, kabarnya
air minum didapat dari penyaringan air sungai Brantas. Lalu mayat-mayat
tersebut sudah hancur sesampainya dikota Surabaya. Setelah Surabaya protes,
maka mayat-mayat PKI tidak lagi dibuang di Sungai Brantas, melainkan
dikuburkan secara masal. Lubang yang disediakan cukup besar, dan sanggup
menampung ber-puluh-puluh orang Komunis.
Kemudian, Jalan menuju ke gunung Klotok (sebelah barat kota Kediri) pernah
dihiasi kepala-kepala PKI. Kira-kira 1 km disebelah utara pabrik gula
Ngadirejo banyak ditemui rumah-rumah pelacuran. Ketika pembersihan terhadap
unsur-unsur PKI berlangsung, tak ada lagi pengunjung yang hendak meumuaskan
hawa nafsunya lagi. Alasan: Banyak yang takut (baik pengunjung maupun para
pelacur) karena didepan rumah-rumah tersebut banyak digantungi kemaluan
laki-laki PKI/mirip jualan pisang. Tentu saja, pembunuhan massal demikian
disambut baik oleh pihak Nasionalis dan Agama. Malahan, target satu jendral
ditebus oleh seratus ribu orang PKI harus dicapai. Begitu juga, halnya
Putra II Kartawijaya dan keluarganya. Apalagi setelah diperoleh kabar,
bahwa untuk keluarga Kartawijaya, telah disiapkan lubang buaya yang akan
digunakan bila PKI menang.
Suasana pembalasan dendam kesumat ini menjalar kemana-mana. Bukan saja
diluar, tapi ia masuk ke sekolah-sekolah, misalnya SMA Negri I. Suasana
demikian menjadi subur, karena sekolah-sekolah praktis macet, pelajaran tak
berjalan sep[erti biasanya. Banyak siswa-siswa yang tak masuk sekolah,
seperti Syom sahabat putra ke II Kartawijaya, karena ia harus banyak
keliling turut membersihkan daerah Kediri dari unsur-unsur Komunis.
Putra II Kartawijaya banyak melihat bagaimana guru-guru SMA negri I dan
anggota-anggota IPPI yang ditodong pisau oleh teman-temannya yang agama dan
Nasionalis. Mereka diancam hendak dibunuh sembari ditodong pisau dileher
mereka. Mereka menangis meminta ampun dan merasa menyesal atas
perbuatan-perbuatan mereka selama di IPPI. Akhirnya semua rahasia (atau
mungkin juga cerita palsu) keluar. Semuanya mencari selamat dengan
mengorbankan orang lain. Mereka toch manusia juga, yang masih ingin
menikmati hidup lebih lama.

Daerah Kediri tampaknya tak aman bagi orang-orang Komunis (anehnya, kecuali
satu kasus mereka tak bergerak mengadakan perlawanan). Lalu kebanyakan dari
mereka berusaha lari ke Surabaya atau mencari perlindungan di KODIM di kota
Kediri. Tapi, dipenjarapun tidak aman, sebab terlalu banyak yang ingin
mencari perlindungan dan penjara tidak sanggup menampungnya. Akhirnya,
tentara sering mengangkut mereka dengan truk ke gunung Klotok (jalan menuju
kesana harus melalui SMA Negri I) entah apa yang diperbuat oleh tentara
terhadap mereka, tapi yang jelas pergi penuh muatan dan pulang kosong.

Selain dari pada itu, KODIM juga tak keberatan bila ada orang-orang
Nasionalis atau Agama datang kesana untuk meminta orang-orang komunis yang
dibutuhkan. KODIM bersedia menyerahkan tawanan komunis, asal mereka-meraka
yang membutuhkan membawa kendaraan (bukan sepeda motor tentunya).
Kegiatan belajar di SMA N I pun berjalan santai. Praktis seperti liburan
panjang, taoi berkumpul disekolah. Pernah seorang guru bertanya kepada
Syom, sahabat putra ke II Kartawijaya, pergi keman selama ini, dan tak
pernah kelihatan. Dan memang dia jarang muncul disekolah. Jawabnya: " turne
pak". Dan orang oun mengerti, apa yang dimaksudkan dengan "turne". Selain "
turu kono-turu kene" (tidur sana-tidur sini) ia juga berarti bertugas
membersihkan orang-orang Komunis. Syom adalah salah satu orang algojo. Dan
ketenaran seorang algojo diukur dari berapa banyak korban yang berhasil
direnggut nyawanya.
Biasanya, orang-orang Komunis yang berhasil dikumpulkjan, diserahkan kepada
seorang algojo. Agar ia mau mengirimkan nyawanya kedunia lain. Tidak semua
orang dpat membunuh (meskipun tersapat beberapa pengecualian). Menurut
beberapa pengakuan beberapa algojo (karena putra II Kartawijaya banyak
bersahabat dengan mereka), membunuh tak gampang. Setelah mencabut nyawa
korban pertama, biasanya badan panas dingin, tak bisa tidur. Tapi kalau
sudah banyak nyawa yang dikirimkan kedunia lain, maka pembunuhan menjadi
kebiasaan."Seperti memotong kambing", demikian pengakuan mereka. Dan
memang, putra II Kartawijaya yang sering diam-diam keluar rumah., entah
hendak turut menjaga markas PNI yang berkedudukan dirumah pak Salim yang
sopir bis sekolah disekolah Ngadirejo atau hendak menyaksikan pengiriman
nyawa manusia. Itupun membuat susah tidur. Terbayang, bagaimana ratapan
para korban yang minta diampuni, bunyi letupan darah yang keluar da
ri tubuh korban, atau semprotan darah segar bila kepala korban dipancung.
Semuanya cukup membuat bulu roma berdiri. Belum lagi jeritan kesakitan
seorang GERWANI karena lubang kemaluannya ditusuk oleh bambu runcing.
Mayatpun banyak menggelepar mirip ayam sehabis dipancung kepalanya.
Meskipun cukup mengerikan kejadian-kejadian begini, tapi semua partisipan
merasa bersyukur, karena telah diberi kesempatan buat dapat turut menumpas
orang-orang kafir. Belum cerita yang dibawa oleh Muja sahabat Putra II
Kartawijaya yamg turut membersihkan komunis di daerah Pare. Ia seorang
Kristen. Katanya, korban-korban diangkut oleh truk, lalu diturunkan untuk
dihadapkan ke lubang yang telah disediakan. Lalu kepala mereka dipancung
dengan samurai bekas peninggalan serdadu Jepang dahulu. Bila misi selesai,
maka lubangpun ditutup oleh tanah.
Di antara sekian banyak kejadian, tentu ada beberapa yang tetap merupakan
kenangan"indah" pada diri putra II Kartawijaya. Misalnya, dalam pengepungan
salah satu desa di sebelah timur pabrik gula oleh pemuda Ansor, maka ada
beberapa rumah yang didatangi untuk dibersihkan dari unsur-unsur komunis.
Dalam sebuah rumah, kebetulan berdiam 2 orang anak yang menurut daftar
aktifis pemuda rakyat. Ketika rumah tersebut diketuk yang keluar menyambut
mereka adalah orang tua kedua pemuda yang dicaari. "Mana anak-anakmumu?".
"Kalau bisa, anak-anak saya jangan dibunuh", demikian permintaan mereka
berdua. Dan sebagai gantinya mereka berdua bersedia untuk dibunuh. Tawaran
mereka bukan saja diterima , malahan selain kedua orang tua tersebut, para
pembersih juga membunuh anak-anak mereka.
Kemudian, meskipun Kartawijaya dimusuhi olleh PKI, tapi mereka pernah
menyuruh PutraII Kartawijaya untuk pergi kerumah pak Haryo, seorang Employe
yang tinggal disebelah rumah dan aktifis SBG. Kartawijaya berpessan, agar
pak Haryo dipanggil kerumah dan disuruh tidur disana dan disuruh membawa
pakaian secukupnya. Tapi, ketika itu malam cukup larrut, sehingga ketukan
putra II Kartawijaya tidak digubris oleh keluarga pak Haryo. Mungkin
mereka takut, kalau-kalau malaikat pencabut nyawa datang kesana. Keesokan
harinya, Kartawijaya daatang sendiri kesana untuk menjemput pak Haaryo.
Akhirnya ia dibawa ke Surabaya oleh Kartawijaya untuk disembunyikan disana.
Tentu saja, menolong orang-orang PKI tida k sesuai dengan konsep putra II
Kartawijaya. Lalu ia bertanya, " Kenapa justru bapak justru melindungi pak
Haryo?". "Pak Haryo tak tahu apa-apa, dan kasihan karena anak-anaknya
banyak".Kartawijaya selalu beruntung, karena ia selalu
diberitahu"siapa-siapa" yang bakal dicabut nyawanya. Dan banyak orang0orang
PKI yang pernah mencaci maki Kartawijaya datang kerumahnya untuk meminta
perlindungan . Dia pernah menyediakan ruangan khusus diruang pertemuan buat
orang-orang yang minta perlindungan untuk bermalam disana.
Selama pembersihan terhadap unsur-unsur komunis mesjid-mesjid jadi penuh
dan ramai dikunjungi oleh orang - orang PKI. Sampai -sampai gedung buruh
khusus dijadikan tempat sembahyang Jum'at. Dengan demikian , banyal orang
menilai bahwa para PKI telah menjadi sadar. Dan harapan untuk selamat jadi
besar. Dalam kesempatan sembahyang Jum'at, Kartawijaya pernah diminta untuk
berpidato dihadapan orang-orang yang bersembahyang katanya, bahwa
sembahyang bukan merupakan keharusan.Jangan dipaksakan yang mau sembahyang
ya sembahyang lah yang tidak mau ya tak usah lah. Yang menarik adalah,
meskipun Kartawijaya berpidato demikian (bayangkan pada masa demikian,
salah-salah bisa dituduh Komunis), dan meskipun dia banyak melindungi
orang-orang PKI, tetapi ia tak pernah dituduh PKI atau terlibat G30S.
Malahan, dengan kemenangan golongan Nasionalis dan Agama atas golongan
Komunis, Kartawijaya diangkat menjadi penasehat SARBUMUSI dan KBG seluruh
Jawa Timur. Dan sahabat-sahabatnya terutama tokoh-tokoh Islam (sampai
sekarang) banyak yang datang kerumahnya. Rupanya, karena di Ngadirejo
sendiri ia bersahabat dengan Pak Maksum yang ketua SARBUMUSI pabrik gula
Ngadirejo, maka pidatonya didepan sembahyang Jum'at tak menjadi persoalan.
Sembahyang boleh dan sembahyang jangan dipaksakan memang merupakan
pendidikan "kebebasan individual" yang diajarkan oleh Kartawijaya kepada
putra-putranya.
Putra I Kartawijaya yang tergabung dalam KAMI dan aktif bergerak di Bandung
sering harus berbeda pendapat dengan putra II yang aktivis GSNI. Sebab,
Bung Karno mulai dipertanyakan oleh KAMI. Bung Karno dituduh terlibat G30S
karena ia melindungi PKI. Tapi PNI atau FM daerah Kediri tak pernah
mempersoalkan Bung Karno. Yang jelas, PNI kediri tetap berdiri belakang
Bung Karno dan anti Komunis. Persetan dengan PNI ASU atau PNI Osa/Usep.
Kalau perbedaan pendapat antara putra I dan putra II sedah masuk dalam
rumah tangga Kartawijaya tak banyak turut campur. Ia tak pernah melarang
putra-putranya buat memihak kemana. Pokoknya setiap orang harus tahu apa
yang diperbuat. "sana, urus sendiri-sendiri". Salah satu kejadian yang tak
pernah dilupakan oleh putra ke II Kartawijaya adalah: setelah unsur-unsur
Komunis ditumpas habis di daerah Kediri, maka bila ia hendak berkibur
kerumah kakeknya di Bandung, ia harus naik kereta api dari Kertosono. Di
stasiun K.A ini ditemui pemandangan yang cukup menyayat hati. Banyak
anak-anak yang berumur sekitar 5 sampai 10 tahun berkeliaran disana minta
belas kasihan dari penumpang K.A agar mereka memberi makan sekedarnya. Bila
makana dilemparkan dari jendela K.A, maka dibawah sana bertebaran anak-anak
tsb memperebutkan makanan. Disitulah tak terdapat perbedaaan antaran anjing
dan manusia. Pemandangan serupa ini tak ditemui sebelum G30S meletus.
Orang tahu, bahwa anak-anak yang berkeliaran tak menentu ini adalah
anak-anak orang Kominis. Orang tua sudah tidak ada, maka apalagi yang
mereka harapkan ?

Tapi, meskipun banyak peristiwa yang mengetuk hati, putra Kartawijaya
merasa bersyukur, bahwa sekalah-sekolah milik orang Cina diambil alih oleh
elemen-elemen non Komunis. Bukan kah mereka berhubungan terlalu rapat
dengan RRC?.

ORDE BARU MEMAKAN SEKUTUNYA:
Selang setelah kejadian G30S, ketika unsur-unsur Komunis dibersihkan dari
daerah Kediri angin Orde Baru teras bertiup disana dengan masuknya pasukan
RPKAD. Mereka masuk secara diam-diam dan kabarnya mereka menginap di SEMEA
Kediri. Dengan masuknya RPKAD disana, ternyata yang dicari bukan lagi
unsur-unsur Komunis, melainkan PNI/FM.
Suatu ketika, pada kesempatan rapat raksasa, yang diselenggarakan oleh
unsur-unsur Nasionalis dan Agama di stadion sepek bola Kediri, putra II
Kartawijaya sempat turut menghadiri. Ia turut berbaris didalam barisan
GSNI. Sesampai disana, kontan saja barisan PNI dengan Ormas-orasnya
disambut dengan teriakan-teriakan "Ganyang PNI ASU", "hancurkan sisa -sisa
Orde Baru", (Sampai detik itu, PNI daerah Kediri masih mengakui Ali
Surahman sebagi ketua dan sekretaris PNI, karena belum ada keputusan siapa
yang menjadi ketua PNI seluruh Indonesia, tapi PNI daerah Kediri tetap anti
Komunis). Mendengar teriakan-teriakan tersebut, apalagi suasana begitu
panas, maka putra II Kartawijaya pilang ketekutan. "Aneh, pikirnya, dulu
sama-sama teman seperjuangan, kok sekarang jadi musuh?"

Proses penghancuran PNI, Sukarnoisme bersamaan dengan terbentuknya
KAMI?KAPPI. Jika dulu SMA Negri 1 siswa-siswa yang dituduh "jabangnya PKI
diburuh oleh siswa-siswa kelompok Agama dan Nasionalis, maka sekarang
posisi para siswa kelompok Nasionalis jadi terbalik. Sekara mereka diburu
oleh para siswa kelompok Agama yang trgabung dalam KAPPI. Dan para siswa
kelompok Nasionalis dituduh sebagai unsur-unsur Orde Lama.

Pada masa inilah putra II Kartawijaya banyak melihat, bagaimana fitnah
mulai berlangsung. Siapa yang dapat bertahan, biar prisip mengatakan bahwa
Marhaen akan tetap menang, tapi dilain pihak Orde Baru siap merenggut
nyawa? Arus perubahan ideologi sangat cepat mengalir. Tergantung pada
kekuatan belaka.
Putra II Kartawijaya pun melihat, bagaiman RPKAD turut terlibat
menghancurkan gedung PNI Pusat dijalan Daha Kediri. Lalu, jendela kaca
sudah hancur dan trpaksa diganti oleh papan-papan kayau maka
jendela-jendela tersebut dijadikan latihan bermain pisau. Bukan kah RPKAD
terkenal sebagai pasukan istimewa yang mahir bermain pisau?

Dalam keadaan yang genting begini bagi golongan Nasiomalis, tapi untung
KKO/Angkatan Laut berada dipihak mereka. Sehingga sepak terjang RPKAD dapat
tertahan. Meskipun kedudukan putra II KArtawijaya tak gampang, karena ia
anggota GSMI, tapi karana dan ini yang penting kedudukan ayahnya tetap
stabil. Sebab ia termasuk orang yang berjasa turut menghancurkan PKI
didaerah Kediri. Apalagi sahabat-sahabatnya banyak berasal dari golongan
Agama (NU). Jadi elemen-elemen Orde Baru Juga. Hubungan ini ternyata banyak
membantu, ketika putra II Kartawijaya harus mendekam di Penjara.
Kejadiannya begini: Sekitar tahun 1967, di Kediri diselenggarakan pawai.
SMA Negri I mengirimkan satu barisan yang berpakaian beraneka ragam. Ada
yang berbusana sarung, Celana tambal sulam dsb. Hanya, salah satu peserta
berpakaian haji. Dan selama pawai, dia menghitung uang. Rupanya, dia hendak
menyindir kebiasaan para haji yang suka menghitung kekayaan. Akhirnya ia
diculik oleh pemuda Ansor ketika barisan ini berada di jalan Daha. Seusai
pawai, baru diketahui bahwa peserta ini tak muncul dan karena putra II
Kartawijaya pemimpin pawai SMA N I, maka ia harus bertanggung jawab
perbuatan sang peserta yang berpakaian haji tsb kar4na itu ia dipanggil
oleh KODIM.

Sesampai disana, maslahnya bukan masalah kenapa yelah dibiarkan ada peserta
yang berpakaian haji sambil menghitung uang, tapi merembet ke masalah ORLA
dan ORBA. "Saudara aktif di organisasi apa?", "Bagaimana pendapat saudara
tentang ORLA dan ORBA" dsb. Interogasinya cukup lama : dari sore sampai
tengah malam.
Setelah itu, ia dimasukkan ke dalam sel digedung bekas sekolah Cina.
Digedung juga banyak sisa sisa ORLA yang harus meringkuk disana. Didalam
sel tsb, ia bertemu kembali dengan sang peserta pawai yang berpakaian haji
tadi. Dia menyumpaj-nyumpah. "sialan benar. Wong sama-sama KAPPI nya kok
diculik? Kok dimasukkan penjara?". Mereka berdua menghabiskan waktunya
didalam sel. Kadang-kadang boleh keluar kalau terpaksa harus ke WC. Mereka
berdua sama-sama bingung, kenapa merka harus nongkrong didalam penjara. Dan
orang Komunis juga bukan yang satu dituduh telah menghina agama Islam,
karena berpakaian haji sambil menghitung uang. Padahal, begitu tuturnya,
yang hendak disindir adalah prilaku kebanyakan Haji. Kemudian, dia
sekelurga orang Islam yang lebih dekat ke Masyumi daripada ke Nu.
Kakak-kakaknya tergabung dalam barisan HMI. Putra II Kartawijaya sendiri
tak mengerti, kenapa dia harus dimasukkan ke dalam sel. Kok persoalannya
merembet keaktivitasnya di GSNI? Bagaimana dia dapat mengerti dengan
perubahan jaman yang begitu cepat? Dari kegembiraan karena telah turut
menghancurkan PKI, lalu menjadi kebingungan karena sekarang dia digilas
oleh ORBA. Tapi untungnya, dia tak lama mendekam disana. Sebab relasi
keluarganya cukup kuat.

Pada tahun 1967, Kartawijaya dipindahkan ke Semarang untuk memangku jabatan
inspektur pabrik gula disana. Dan pada tahun berikutnya, ia dipindahkan
keSurabaya untuk menjabat direktur utama pabrik gula daerah Situbondo.
Sekitar 5 pabrik gula harus dia bawahi.
Jabatan semakin tinggi, sejarah masa lalu dengan PKI sedikit demi sedikit
mulai menguap dan pedagang-pedagang Cina semakin banyak yang datang. Karena
jabatannya praktis lebih tinggi dibanding direktur pabrik gula, maka
hadiah-hadiah yang dibawa para pedagnag China pun tak kepala tanggung.
Mercedes 280, FIAT 125, beberapa sepeda motor (Sampai-sampai tak bisa
dipakai semua, maka sepeda motor tsb harus dipak dalam karton untuk
disimpan digudang sebagai persediaan), lemari Es, AC, Sterio dlsb. Para
pedagang Cina bukan kaliber kota kecil, tapi kaliber kota besar. Mereka
tetap "baik" seperti ketika di Kediri.
Tapi, "kebaikan" mereka harus menghadapi ujian. Sebab, pada tahun 1970
Kartawijaya harus menyisihkan jabatannya karena seorang Brigjen Tentara mau
duduk dijabatan tsb. Alasan pergeseran pun ber-macam-macam, misalnya
korupsi, manipulasi. Dan kasus ini pernah dimuat di majalah sketmasa ( nama
majalah tak ingat benar). Kartawijaya berniat untuk mengajukan kedepan
pengadilan, karena namanya merasa dirugikan. Akhirnya, ia harus membatalkan
niatnya, karena oleh pengacaranya disarankan tak menuntut ke pengadilan.
Katanya, pergeseran ini bersifat politis. Jadi tidak dapat diganggu gugat.
Nanti yang celaka malahan keluarga.
Alasan politis? Komunis bukan. Yach, siapa yang berani melawan
"pahlawan-pahlawan" Orde Baru seperti tentara? Meskipun begitu, setahun
setelah mengenggur, ia boleh memangku jabatan lagi. Mula-mula di Solo,
kemudian di Surabaya. Ini semua berkat relasi keluarga. Yang menarik adalah
selama masa menganggur 1 tahun, kemana para pedagang Cina yang suka memberi
hadiah menghilang tanpa bekas. Rupanya mereka telah mendapat tuan baru.

Sejak tahun 1969 putra II Kartawijaya mulai duduk dibangku kuliah ITB.
Setahun kemudian, meletus peristiwa RENECONRAD, yaitu seorang mahasiswa ITB
yang mati ditembak oleh BRIMOB. Kabarnya koma sih penmbak adalah seorang
siswa AKABRI kepolisian dan anaknya seorang Jendral. Cuma yang harus
menerima beban adalah anggota korps BRIMOB yang berpangkat rendah. Akhirnya
dia musti dipecat, dan mahasiswa Bandung mengumpulkan dana untuk menolong
keluarga prajurit yang berpangkat rendah tersebut. Peristiwa ini memberi
pelajaran betapa gampangnya pihak tentara menggunakan senjata api. Tapi
pada sa'at itu juga, mereka tak sanggup melawan massa yang begitu banyak,
biar panser mereka beertebaran dijalan.

DI JERMAN BARAT: PENGALAMAN BARU

Bekal yang dibawa oleh putra II Kartawijaya cukup banyak. Pengalaman
sekeluarga menghadapi PKI, lalu kasus Orde Baru menggerogoti keluarga
karena mungkin Kartawijaya "cuma" orang sipil saja. Tapi, dari dua jaman,
baik ORBA maupun ORLA ada pelajran yang menarik: meskipun Kaetawijaya tidak
pernah giat dn ikut partai politik, tapi karena jabatannya sebagai direktur
pabrik pabrik gula, maka ia harus dilalap oleh PKI. Kartawijaya termasuk
type keluarga yang maunya hidup tenang, tak ikut-ikutan, asal kerja buat
anak istrinya.
Pada jaman ORBA, karena pengaman pos-pos penting dan pembagian rejeki oleh
dan diantara tentara-tentara (kalau bukan begitu, maka jamannya juga bukan
Orde Baru), maka ia tergilas dalam kebijaksanaan Orde Baru. Oleh karena
itu, tak usah heran bila keluarga Kartawijaya sering tidak mengerti dengan
cepatnya perubahan jaman. Ter lebih-lebih istri Kartawijaya yang akhirnya
mencari perlindungan dari Tuhan: semakin susah jamannya, semakin banyak
sembahyang nya. Karena hukum yang dibuat oleh manusia ternyata hanya
melindungi yang punya kekuasaan belaka. Pengalaman-pengalaman masa lalu
dibawa ke Jerman Barat. Pergaulan dengan orang-orang Jerman banyak membuka
matanya. Satu hal yang menarik: orang-orang Jerman teman bergaulnya tak
dapat menerima sesuatu alasan hanya kareana misalnya "Konmunis jelek",
"Liberal jelek", "Orang yang tak bertuhan jelek", "Kiri jelek" dsb tanpa
alasan. Dan memang putra II Kartawijaya terlalu banyak mendengar dn
mengalami masa pahit selama PKI Jaya. Tapi dari pengalaman tsb ia banyak
belajar, bahwa ternyata banyak yang harus dibunuh, karena tidak tehuan
mereka. Dan dia turut terlibat menghancurkan PKI karena ketidak tahuan
belaka/ cuma alasan emosional, karena sang ayah di retool oleh PKI, lalu
dia berusaha membela.
Lalu kenapa banyak orang PKI harus mati, padahal sebelum mereka dibunuh
menangis meminta ampun dan kebanyakan dari mereka orang-orng biasa saja.
Tak tahu menahu. Apa Komunisme pun tak tahu. Coba bayangkan, kebanyakan
golongan Agama da Nasionalis bernggapan, orang-orang Komunis tak bertuhan.
Pernah seorang tukang tambal ban sepeda diajak ngobrol oleh putra II
Kartawijaya tentang asalah ini. Dia cuma bilang, "ach den, itu tidak benar.
Orang-orang Komunis juga, yang mau sembahyang ya sembahyang. Yang tidak ya
tidak. Teserah saja". "Yach, Komunis macam apa?", pikir putra II Kartawijaya.
Lalu, kenapa siswa-siswa yang tergabung dalam IPPI (bayangkan, masih kelas
1 SMA) pun harus membayar dengan nyawa mereka. Taunya apa? Sedangkan
pentolan-pentolan PKI nya seperti ketua SBG Ngadirejo sempat selamat.
Karena kesempatan buat mempelajari semua ideologi demikian bebas di Jerman
Barat, maka ia juga membuka pemikiran-pemikiran baru. Kalau orang belajar
sosiologi disini harus membaca teori-teorinya KARLMARX lalu setuju, maka
kenapa harus salah? Terpengaruh ? Lalu siapa yang salah? Yang mempengaruhi
atau uang dipengaruhi? Kenapa universitasnya saja yang tidak dihancurkan,
agar teori-teori itu tidak "merusak" pikiran orang Indonesia?
Lalu kalau bertahun-tahun bekerja dikantoe\rnya orang-orang Jerman yang
kiri dan di sana tak dikenal istilah bos atau bawahan, kemudian dianggap
baik oleh putra II Kartawijaya, kenapa tidak boleh? Semuanya kahn cuma
persoalan pendapat belaka. Diterima atau tidak. Kalu tidak diterima yach
syukur, diterima yach syukur juga. Tapi kenapa harus dilarang, dituduh?
Kenapa orang harus dibunuh karena ia mengnut suatu IDE? Toch waktu itu PKI
tidak dilarang. Kalau tak dilarang kan orang juga boleh masuk PKI? Itu khan
urusan mereka sendiri. Mungkin menurut mereka baik. Ya urusan pencernaan
IDE oleh otak mereka. Kalau anggota PKI banyak, itu cuma membuktikan
kepopulersn mereka saja. Mungkin mereka pandai jual obat.
Dilain pihak, kalau DI memberontak kenapa orang-orang Islam tidak dibunuh
semua? Lalu kenapa PNI digencet, meskipun mereaka telah turut menghancurkan
PKI di daerah Kediri? Lalu, kalu pimpinan AD memberontak, seperti pada
masa-masa silam, kenapa AD tidak dibubarkan saja kemudian, kalau PKI
dianggap berontak, kenapa Bung Karno harus turun dari Jabatan? Kenapa dia
tidak diadili?
Yang jelas, persoalan ORLA dan ORBA (kenapa dia demikian gampang memakan
anaknya sendiri) adalah persoalan sistim. Begiru kesimpulan yang didapat
oleh putra II Kartawijaya ini. Dan siapakah dimaksud dengan putra II
Kartawijaya ini? Dia adalah saya sendiri, PIPIT ROCHIJAT KARTAWIJAYA.

PKI DAN BUKAN PKI TIDAK PENTING:

Dengan sedikit latar belakang kehidupan tersebut (komplitnya sedang
dibuat), maka akan saya jawab pertanyaan apakah saya PKI atau bukan.
Pertanyaan demikian, secara prinsip al tak akan saya jawab. Sebab
pertanyaan serupa itu sama dengan pertanyaan: kamu Cina ya? Kamu blasteran
Cina ya? Kamu Arap ya? Dlsb. Kalau kamu PKI, maka pendpat mu tak benar.
Kalau kamu Cina (apalagi) maka pendapat mu/niatmu juga tidak benar.
Pertanyaan serupa ini hanya hendak menunjukkan saja bahwa yang dipentingkan
bukan lah pendapat, tapi warnanya belaka.

Terlepas Komunis atau tidak, Mao dapat memberi makan rakyat RRC yang
demikian banyaknya. Terlepas Islam atau tidak, Gaddafi dapat menciptakan
masyarakat yang boleh dicontoh. Dan buat apa kita mengaku punya Pancasila,
tapi rakyat hidup setengah mati disatu pihak, dan penguasa ber foya-foya
dilain pihak. Seperti juga kata ayah saya, "mau jadi Komunispun boleh
(meskipun ia tidak suka ide ini), asal punya prinsip maka begitu juga saya.
Mau dikatakan apapun boleh, terserah penilaian situ. Dan saya saya tak
melarang penilaian demikian. Situ mau berbuat apa yang dianggap benar, ya
terserah situ. Mau bermental seperti pedagang Cina ketiak ayah saya
menjabat, juga boleh (kalau butuh muka distel manis). Mau berbaik sama
orang Komunis karena dapat fasilitas hidup, tapi se olah-olah lupa kalau
suasananya sedang mentertawakan "antek-antek" PKI, juga boleh. Mau
berteriak paling "revolusioner" karena banyak dapat teman disana, tapi lalu
terpaksa perseneling dipasang mundur, gara-gara urusan hidup, depan orang
kiri mengaku kiri, didepan penguasa mengaku paling setia, juga boleh.

Oleh karena itu, hai "kawan-kawan" ku (hati-hati memakai istilah "KAWAN",
sebab setahu saya yang memakai istilah begini cuma Aidit, raja Komunis
Indonesia dulu. Bisa-bisa kamu dituduh komunis juga), jangan bertanya
terus, saya ini apa. Sebab, saya juga tidak pernah peduli dari mana kamu
berasal dan apa warna kamu. "Sana, urus sendiri-sendiri pokoknya punya
prinsip saja".

Sebagai penutup. Sebenarnya saya berkhayal demikian: Alangkah baiknya bila
Komunis dihancurkan secara total, sehingga dunia ini bersih dari komunisme.
Maka pertanyaan PKI dan bukan PKI tak mungkin ada. Setelah dunia bersih,
lalu Islam Ekstrim juga dibabat. Dan pertanyaan Islam Ekstrim dan bukan
Islam Ekstrim tidak akan muncul. Kalau perlu Islam yang tidak Ekstrim.
Setelah itu Cina juga dihabisi sampai ke jabang-jabangnya. Lalu, pertanyaan
Cina dan bukan Cina juga tak ada. Pokoknya apa-apa yang dianggap kotor
dibersihkan. Bila dunia ini sudah bersih, akhirnya yang tinggal cuma satu
pertanyaan saja. Yaitu:" You saudaranya pak Harto bukan?. Nah, apa yang
akan trjadi?

Berlin Barat Februari 1984.

Pipit Rochijat

Sumber : Majalah gotong royong, perhimpunan pelajar Indonesia - Berlin
(April 1984)

0 komentar:

Posting Komentar