In Memoriam Aloysius Sartono Kartodirdjo

Selasa, 18 Januari 2011

Resensi: Membuka Pintu bagi Masa Depan - Biografi Sartono Kartodirdjo

Jumat, 7 Desember 2007. Langit terlihat kelabu. Guru utama itu berpulang ke haribaan Tuhan. Sang guru meninggal dalam damai, sementara para muridnya tak kuasa menahan air mata yang berderai.

Kepergian Sartono Kartodirdjo sangat menyesakkan dada. Di tengah "gejala pikun sejarah" yang mulai merasuk ke segenap sendi kehidupan, sosok Pak Sartono --demikian ia akrab dipanggil --sesungguhnya masih sangat dibutuhkan. Peringatan 100 hari kepergiannya, yang diselenggarakan apda Sabtu, 15 Maret lalu, di University Center UGM, Yogyakarta, cukup mengobati kerinduan keluarga, murid-murid, kolega, dan para pengagumnya. Acara itu terasa istimewa karena dua buku tentang Pak Sartono diluncurkan sekaligus.

Buku pertama bertajuk Membuka Pintu bagi Masa Depan – Biografi Sartono Kartodirdjo. Adalah sejarawan muda M. Nursam yang sejak tujuh tahun lalu telah mempersiapkan materi buku biografi ini, meski proses penulisannya sendiri ia kebut dalam setengah bulan. Sementara buku kedua berjudul Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo. Buku ini merupakan bunga rampai artikel yang ditulis oleh keluarga dan mereka yang mengenal Pak Sartono secara dekat. Dari kedua buku itu para pembaca akan mampu membuat konstruksi imajiner siapa itu Sartono Kartodirdjo

Tiga Titik Kisar

Perjalanan hidup Pak Sartono tergolong kompleks sebab ia mengalami masa kolonial Belanda hingga era reformasi. Dilahirkan pada 15 Februari

1921 di Wonogiri, Sartono kecil datang dari latar belakang masyarakat Jawa.

Alam bawah sadarnya dibentuk oleh cerita-cerita pewayangan. Pendidikan awal nonformal ini mengantarkan Sartono kecil untuk mengenali sosok-sosok manusia ideal dalam pandangan masyarakat Jawa.

Pada 1927 ia bersekolah di MULO dan kemudian hijrah ke HIK Muntilan (1936), sekolah calon bruder. Inilah titik kisar pertama riwayat hidup Sartono, perpindahan dari “antroposentrisme” ke "teosentrisme". Dari HIK-lah kepekaan batinnya diasah; semacam ketajaman instingtif yang kelak menuntunnya menjadi ilmuwan yang asketis.

Kisaran kedua berlangsung kala ia kembali bergeser dari dunia kerohaniawanan ke lingkungan kehidupan biasa. Terjadi pergulatan iman dalam diri Sartono muda ketika kondisi sosial-ekonomi keluarganya saat itu membuatnya harus memilih profesi guru dan tidak melanjutkan menjadi bruder.

Sejak 1941 hingga akhir hayatnya, profesinya cuma satu: guru. Agaknya, menjadi guru adalah jalan hidup pengabdian yang harus ia tempuh. Pengalaman mengajarnya komplet, mulai mengajar anak TK menyayi hingga menjadi dosen S3 yang menguji disertasi.

Kisaran ketiga bermula kala ia melanjutkan studi di Yale, Amerika Serikat, dan Amsterdam, Belanda. Disertasi doktoralnya tentang “Pemberontakan Petani Banten 1888" adalah karya historiografi modern pertama yang ditulis orang pribumi. Karya ini membuka jalan baru tradisi penulisan sejarah di Indonesia, yang sebelumnya pekat dengan aroma neerlandosentris. Ia secara kukuh memperjuangkan "dekolonisasi sejarah" agar corak indonesiasentrisme tampil ke muka.

Ia juga sadar betul bahwa penulisan sejarah tak hanya bergerak pada tataran makro, namun juga meso dan mikro. Karenanya, aktor dalam sejarah tak cuma golongan atas, tapi semua golongan. Entah elite dan non-elite atau aristokrat dan petani, semuanya berperan menjadi pelaku sejarah.

Sekembalinya dari luar negeri, Sartono bertekad memulai kerja besar membangun tradisi kritis dalam ilmu sejarah di Indonesia. Mula-mula ia memperbaiki kurikulum Jurusan Sejarah UGM. Sebagai dosen, ia adalah penghulu sejarawan-sejarawan negeri ini. Hampir seluruh pakar sejarah terkemuka Indonesia yang masih hidup hingga kini adalah muridnya.

Pada akhir 1950-an sampai 1960-an, Sartono memakai istilah pendekatan multidimensional untuk merekonstruksi sejarah. Karena sebuah peristiwa memiliki banyak dimensi, pengetahuan tentang struktur di mana peristiwa muncul menjadi penting. Sejarawan baru bisa memahami kondidi struktural jika ia bersentuhan dengan ilmu sosial lain. Pendekatan multidimensional kemudian ia sempurnakan dalam istilah "interdisipliner" saat ia menjabat Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3KP, 1973-1982). Waktu itu, ia begitu mengidamkan runtuhnya tembok-tembok yang menjadi sekat antarfakultas di UGM.

Asketisme Intelektual

Tak ada yang membantah intelektualitas Sartono. Dunia internasional pun mengakuinya sebagai sejarawan kelas wahid. Pada 1977 ia menjadi orang yang pertama kali menerima Benda Prize. Inilah anugerah yang dinisbatkan pada sejarawan H.J. Benda, yang juga pernah membimbing Sartono saat studi di Amsterdam. Sembilan belas tahun kemudian, 17 juni 1996, Universitas Humboldt, Jerman, merasa perlu untuk menyematkan gelar Doctor Honoris Causa untuk Sartono atas sumbangsihnya pada disiplin ilmu sejarah.

Pertanyaannya, kemudian, apa yang membuat Sartono bisa sedemikian hebat?

Mereka yang mengenal dekat Pak Sartono akan menjawab dengan suara

koor: asketisme intelektual. Dalam Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo, suara itu terdengar jelas. Ada P. Swantoro, Syafi'i Ma'arif, Anhar Gonggong, J. Sumardianta, Jakob Oetama, St. Sularto, hingga J.J. Rizal yang menekankan dimensi istimewa Pak Sartono ini.

Istilah "asketisme intelektual" dekat dengan kata "mesu budi" dalam Wedhatama karya Mangkunegara IV. Jika budi secara tepat bisa diartikan sebagai mind, maka “mesu budi” bisa diartikan sebagai asketisme intelektual yang mencakup disiplin spiritual, suatu latihan kemampuan kognitif dalam segala aspeknya: logis, kritis, analitis, maupun diskursif. Menurut Sartono sendiri, seseorang yang menjalani asketisme ialah orang yang melakukan latihan olah jiwa untuk menahan diri dari hawa nafsu jasmaniah.

Asketisme intelektual itulah yang membuatnya sekukuh batu karang dan setulus cahaya rembulan. Berbagai kesulitan yang menerpanya sejak belia ia jalani dengan etos kerja keras, kreativitas, kejujuran, dan disiplin tinggi. Dalam bahasa Fischer, asketisme intelektual pada diri Sartono adalah gabungan dari sosok Arjuna (kehalusan siap), Gatotkaca (kejujuran), dan Semar (kearifan) sekaligus.

Pokok soal asketisme intelektual adalah keinsafan batin yang menghunjam di dalam kesadaran Sartono sebagai ilmuwan sejati. Ia tak mudah larut dalam keheningan, juga tak terseret gegap-gempita. Saat era reformasi, misalnya, berbeda dengan kebanyakan cendekiawan yang terkena demam euforia reformasi, sehingga cenderung asal dalam berpendapat, Sartono selalu berargumentasi dengan tingkat kesantunan dan kesopanan tinggi, yang menjunjung tinggi etika akademik. Suatu sikap yang mengejawantah terus-menerus dalam seluruh pengabdian ilmiahnya.

Kini ia telah pergi. Kepergiannya, barangkali, justru menyediakan konteks kehangatan baru bagi kontekstualisasi ide-ide cemerlangnya yang, karena laju waktu, menjadi dingin. Pada generasi penerus, Sartono berpesan agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan menengok ke belakang sesuai dengan semboyan bahwa melupakan sejarah (berarti) menutup pintu bagi masa depan.

Judul buku : Membuka Pintu bagi Masa Depan - Biografi Sartono Kartodirdjo
Penulis: M. Nursam
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: 1, Maret, 2008
Tebal: xviii + 382 halaman
Judul buku: Sejarah yang Memihak - Mengenang Sartono Kartodirdjo
Penulis: M. Nursam, Baskara T. Wardaya, Asvi Warman Adam (Editor)
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan: 1, Maret, 2008
Tebal: xvii + 507 halaman


Oleh: Ahmad Musthofa Haroen

0 komentar:

Posting Komentar