Apakah Declaration of Human Rights itu Universal?

Rabu, 21 Juli 2010

SALAH satu prestasi signifikan yang diraih Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rentang sejarah lima puluh
tahun pertama organisasi ini berdiri adalah
berhasilnya PBB menyusun satu deklarasi yang dikenal
dengan Deklarasi Hak Asasi manusia (HAM). Sejak
pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang HAM terus
hangat dibicarakan sampai sekarang, baik itu oleh
akademisi, pers, organisasi pemerintah,
lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, maupun para
aktivis HAM disemua level; domestik, regional, dan
internasional. Isu ini terus menggelinding dari mulai
mendiskusikan tentang pentingnya suatu negara
menjunjung tinggi HAM sampai perlu diadilinya para
pelanggar HAM, bahkan perlunya mengembargo negara yang
tidak memerdulikan hak yang paling asasi bagi manusia
tersebut.
Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan dua isu yang
berkaitan dengan hal ini. Pertama, kontroversi apakah
HAM harus dipahami sebagai prinsip universal yang bisa
diterapkan bagi seluruh umat manusia atau hanya
dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh
suatu negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu.
Kedua, hubungan Universal Declaration of Human Rights
di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi
lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di
dalamnya?

Apakah Declaration of Human Rights itu Universal?

Pertanyaan tentang apakah human rights bersifat
universal atau partikular sudah lama dibicarakan oleh
para ilmuwan sosial diberbagai penjuru dunia. Apakah
setiap pasal yang ditulis dalam deklarasi itu
mengandung nilai-nilai universal? Bisakah semua nilai
itu diaplikasikan di setiap negara dan setiap masa
dengan melampau batas-batas budaya?
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena PBB
mencantumkan kata "universal" dalam judul deklarasi
tersebut. Padahal, Universal Declaration of Human
Rights bukanlah kebenaran wahyu dari Dzat yang
transenden untuk manusia di dunia. Deklarasi ini tidak
lebih dari sekadar sebuah dokumen yang disepakati oleh
sekelompok orang dalam konteks sociohistoris yang
spesifik.
Menurut Honey (1999) deklarasi itu merupakan hasil
dari pergulatan politik, sosial, budaya, dan ekonomi
dalam suatu masa.
Ada beberapa alasan mengapa universalitas deklarasi
ini perlu dikritisi dan dipertanyakan.
Pertama, menurut Cassese dalam "Human Rights in a
Changing World" (1994), ada banyak perbedaan filosofis
yang fundamental dalam memandang konsep hak asasi.
Cassese memberi contoh tentang adanya perbedaan konsep
hak asasi antara negara-negara Barat kapitalis dan
negara-negara sosialis.
Bagi Barat, hak asasi adalah sesuatu yang melekat pada
setiap individu dan merupakan faktor intrinsik setiap
manusia sehingga negara harus menghargai hak asasi
rakyatnya. Sementara bagi negara-negara sosialis, hak
asasi hanya ada dan melekat pada masyarakat dan negara
sebagai suatu kelompok, bukan sebagai individu.
Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan adalah
perbedaan culture. Adalah perlu untuk dicatat bahwa
hampir tidak ada sistem nilai yang bisa disebut
universal. Sistem nilai biasanya adalah sesuatu yang
dibatasi oleh persepsi budaya. Tharoor (1999) menulis:
"...if there is no universal culture, there can be no
universal human rights" (Jika tidak ada kultur yang
universal, tidak ada HAM universal). Sebagai contoh,
bagi kultur masyarakat Barat, hak asasi individu
adalah di atas segala-galanya dan setiap individu
harus mendapatkan perlindungan dan kebebasan
menghadapi penyalahgunaan kekuasaan dari pemerintah
yang sewenang-wenang. Sementara bagi kultur Yunani,
kebebasan itu adalah hak kolektif suatu masyarakat
yang dibentuk berdasarkan kesepakatan kelompok.
Perbedaan cara pandang dan kultur seperti ini memiliki
implikasi praktis dalam penerapan nilai-nilai asasi
bagi masyarakat. Lebih tajam lagi kritik yang
dilontarkan para agamawan tentang definisi
universalitas hak asasi. Bagi mereka, tidak ada
sesuatu yang universal, termasuk human rights, tatkala
sesuatu itu bukan berasal dari Tuhan dan tidak
memiliki nilai-nilai transenden (transcendent values).
Oleh karena itu adalah tidak pas untuk menempatkan
human rights sebagai manifestasi tertinggi dari
spritual etik sejarah kemanusiaan. Nilai-nilai yang
terkandung dalam deklarasi itu belum bisa
menggantikan, misalnya nilai-nilai kasih universal
dalam etika Kristen, nilai solidaritas dalam Islam
atau etika rasa ikut menanggung penderitaan orang lain
dalam agama Buddha. Deklarasi itu tidak lebih hanya
berkonsentrasi pada political justice dengan cara
mengakomodasi beberapa standar normatif dalam
kehidupan manusia.
Lebih jauh, konsep human rights adalah merupakan hasil
perkembangan peradaban Barat. Ini merupakan produk
historis Eropa sebagai bentuk perlawanan gerakan
pluralisme terhadap feodalisme yang berkembang di
Eropa ketika itu. Oleh karena itu, penting untuk
dicatat bahwa, human rights bagi Bielefeldt (1995)
memiliki hubungan eksklusif dengan kultur dan filsafat
hidup Barat yang lebih cocok diterapkan pada
masyarakat Barat. Karena isu human rights merupakan
respons politik terhadap munculnya modern-state di
Eropa Barat, menurut Afshari (1994) adalah sangat
logis dan natural kalau konsep itu lebih mudah
diterima dan diterapkan pada kultur masyarakat Barat.
Dari penjelasan di atas tampak dengan jelas bahwa
adalah cukup sulit untuk menerapkan standar human
rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada
kultur non-Barat, termasuk pada masyarakat yang
memegang etika religius yang ketat seperti pada
umumnya masyarakat Timur. Lalu, bagaimana hubungan
antara Declaration Human Rights dan nilai-nilai etika
Islam?

Islam "vis a vis" Deklarasi Human Rights

Sebagaimana Kung dan Moltmann dalam "The Ethics of
World Religions and Human Rights" (1990) menulis bahwa
hampir semua agama besar di dunia memiliki masalah
dalam mewujudkan pasal-pasal hak asasi yang tercantum
dalam Declaration of Human Rights.
Adalah menarik untuk mendiskusikan hubungan antara
Islam dan HAM. Salah satu kesulitan yang dihadapi
ketika mendiskusikan hubungan antara Islam dan HAM
adalah adanya fakta bahwa dalam Islam ada beberapa
mazhab dan aliran pemikiran yang berkembang. Meskipun
demikian, cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu
relativisme budaya dan HAM secara garis besar terbagi
kepada dua kelompok.
Afshari (1994) menyebutnya sebagai kelompok
old-traditionalist dan new-traditionalist, sementara
Bielefeldt (1995) menyebut mereka sebagai kelompok
konservatif dan liberal.
Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standard
Barat diterapkan pada masalah-masalah publik
masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam
masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma
agama. Bagi kelompok ini, universalitas HAM yang
dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah
ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim.
Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta
menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan
Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada
perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan
framework yang islami.
Kelompok liberal di pihak lain telah jauh melangkah
dengan mencoba menafsirkan teks-teks sakral agama
dengan cara mengembangkan metodologi penafsiran baru.
Bagi kelompok ini diperlukan reinterpretasi baru atas
nilai-nilai Islam untuk memenuhi tuntunan norma
global.
Ahmed An-Naim (1994), seorang cendekiawan hukum Islam
yang konsen dengan HAM, mengatakan bahwa secara
substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan
sejalan dengan norma legal HAM yang dikembangkan Barat
jika nilai-nilai Islam ditafsirkan secara akurat.
Untuk mendukung pernyataannya, Naim menunjuk
elastisitas Islam yang memiliki kafabilitas tinggi
dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks. Lebih
jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada
kontradiksi yang prinsipil antara nilai-nilai Islam
dan standard HAM internasional yang dikembangkan PBB.
Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia,
perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya
pemaksaan dalam beragama menunjukkan bahwa Islam
sangat menghargai HAM.
Sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif
dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan
HAM masih belum berakhir. Namun, untuk menyinergikan
dan membangun suatu konsep tentang HAM dengan
framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif,
masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua
deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic
Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh
Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo
Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi
oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991
sebagai acuan HAM dalam Islam.
Untuk melihat apakah ada kontradiksi antara deklarasi
HAM produksi Barat yang dipromosikan PBB dan Islam,
beberapa contoh pasal yang diambil dari Universal
Declaration of Human Rights dan Universal Islamic
Declaration of Human Rights dicoba didiskusikan di
sini.
Pasal 16 deklarasi HAM versi PBB menyebutkan bahwa
"wanita dan laki-laki dewasa, tanpa batasan ras, warga
negara, atau agama berhak untuk menikah dan memiliki
keluarga". Keduanya baik laki-laki maupun wanita
memiliki hak yang sama untuk menikah, selama
pernikahan dan hak untuk bercerai. Pasal ini jelas
kontradiktif dengan norma Islam yang melarang wanita
Islam menikah dengan non-Muslim. Pasal 18 menyebutkan
bahwa, "Setiap orang memiliki hak kebebasan untuk
berpendapat dan beragama, termasuk hak untuk pindah
agama". Hak untuk pindah agama banyak ditentang oleh
beberapa negara Islam. Meskipun Al Quran mengatakan
bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Isu krusial
tentang larangan konversi agama dari Islam kepada
non-Islam masih banyak ditentang dalam konsep
kebebasan beragama di negara-negara Islam.
Beberapa pasal dalam Universal Islamic Declaration of
Human Rights juga sangat terbuka untuk dikritik.
Sebagai contoh pasal 6 menyebutkan bahwa, "Wanita
memiliki hak yang sama dengan laki-laki", padahal
dalam tataran realitas masih ada negara-negara Islam
yang memosisikan wanita sebagai makhluk kelas dua.
Poin lain yang menarik adalah pasal 23 yang mengatakan
bahwa, "Karena dalam pandangan Islam negara Islam
adalah Ummah Islamiah, maka setiap Muslim memiliki hak
untuk secara bebas keluar-masuk negara Islam".
Dalam realitas sosial ini sangat sulit untuk
diterapkan. Sebagaimana dunia global sekarang mengenal
batasan negara dan bangsa, tentunya adalah tidak
mungkin misalnya, Muslim Indonesia dengan seenaknya
keluar masuk Saudi Arabia, Kuwait, atau negara Islam
lainnya tanpa memiliki paspor dan visa. Pemaparan di
atas dengan jelas mengindikasikan bahwa perbedaan
tafsir atas konsep HAM muncul di mana-mana termasuk
dalam tradisi Islam.
Sekarang, tantangan bagi Universal Declaration of
Human Rights bukan hanya pada tataran konsep
"universalitasnya" yang sering dipertanyakan, tetapi
lebih penting lagi adalah masalah aplikasi konsep yang
harus melintas batas kultur dan masa. Ketika
masyarakat global sekarang ini banyak ditandai dengan
beragamnya konflik kepentingan, adalah sangat susah,
untuk tidak mengatakan mustahil, deklarasi HAM bisa
diterima oleh setiap negara dan diterapkan di setiap
waktu dan tempat.
Akhirnya, saya setuju bahwa HAM merupakan elemen
penting bagi kehidupan masyarakat modern. Namun, dalam
dunia yang sangat pluralis, adalah penting untuk
dicatat bahwa susah untuk memaksakan satu standar
paradigma atau worldview dan dengan paradigma itu
mengklaim orang lain salah dan harus berubah mengikuti
paradigma tadi. Wallahu a'lam.***

Islam dan Hak Asasi Manusia
AHMAD ALI NURDIN

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/21/0803.htm

0 komentar:

Posting Komentar