Doktrin Keagungbinatraan Raja Mataram

Minggu, 27 Desember 2009

Susuhunan Agung sebagai raja Mataram memegang teguh doktirn keagungbinataraan. Doktrin ini merupakan warisan dari para pendahulunya, yaitu Panembahan Sutawijaya dan Panembahan Krapyak. Susuhunan Agung sebagai pengemban doktrin keagungbintaraan memproklamirkan dirinya sebagai Ratu Gung Binantara.

Doktrin keagungbinataraan diterapkan oleh Susuhunan Agung bertujuan untuk memulihkan kembali sebagian besar pulau Jawa kepada suatu kesatuan yang abadi. Dalam doktrin keagungbinataraan kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan yang utuh dan bulat. Kekuasaan itu tidak tersaingi, tidak terkotak-kotak terbagi-bagi dan merupakan keseluruhan (tidak hanya pada bidang-bidang tertentu) (Moedjanto, 1987:28). Ratu Gung Binantara Mataram juga bersemboyan ”Ngendi Ono Surya Kembar” (tidak ada dua matahari kembar), yang tidak membenarkan adanya kekuasaan raja atau orang lain yang sederajat (Purwanto, 1978:77).

Adanya doktrin yang diemban oleh raja-raja Mataram sehingga tidak mengherankan Susuhunan Agung berusaha mempersatukan seluruh pulau Jawa dibawah panji Mataram. Untuk mewujudkan satu kesatuan tersebut hanya dapat dicapai dengan melaksanakan ekspansi-ekspansi keseluruh kerajaan-kerajaan di Jawa yang belum tunduk terhadap Mataram.

Susuhunan Agung sebagai pengemban doktrin keagungbinataraan melakukan usaha-usaha konsolidasi kerajaan yang terdiri dari tiga periode:

1. Periode Pendobrak serta penegas kedalam antara 1614-1627 yakni penegasan doktrin di wilayah yang masih membangkang terhadap kekuasaan karta. Pada periode ini Susuhunan Agung mengambil tindakan penyatuan wilayah dengan melakukan ekspansi ke daerah yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Mataram dan juga melakukan ekspansi ke daerah-daerah byang belum takluk terhadap Mataram. Penegasan politik ke dalam terlebih dahulu diterapkan didaerah timur Jawa dengan perhitungan bahwa daerah-daerah di Jawa bagian timuradalah daerah yang kuat dengan pimpinan Surabaya. Daerah-daerah yang berhasil ditaklukan pada periode ini adalah: Wirasaba, Lasem, Tuban, Pasuruhan, Madura, Surabaya. Sedangkan daerah yang membangkang dan berhasil ditaklukan kembali adalah Pajang dan Pati.

2. Periode pemakluman serta penegasan keluar antara tahun 1628-1629 dengan melakukan serangan terhadap VOC yang berkedudukan di Batavia. Pada periode ini Susuhunan Agung mengalami kegagalan, kegagalan ini membuat Susuhunan Agung menegaskan kembali doktrin keagungbinataraan demi pulihnya kewibawaan Mataram, dan ditegaskan kembali pada periode selanjutnya.

3. Periode penggalang serta penegasan nasionalistis antara tahun 1630-1645, yakni dengan menitikberatkan pelaksanaan doktrin keagungbinataraan. Pelaksanaan doktrin dalam kaitannya dengan kesadaran mengabdi kepada kerajaan. Pada periode ini Susuhunan Agung kembali melakukan ekspansi demi tegaknya kembali doktrin keagungbinataraan. Ekspansi yang dilakukan oleh Susuhunan Agung diarahkan kepada kerajaan Blambangan dan Giri. Bagi Susuhunan Agung Blambangan dan Giri harus segera ditaklukan demi tegaknya doktrin keagungbinataraan. Apalagi kerajaan Blambangan masih satu-satunya kerajaan Hindu yang ada di tanah Jawa dan memiliki hubungan dekat dengan Bali.

Doktrin Keagungbinataraan yang telah diterapkan oleh raja-raja Mataram juga memerlukan pembinaan demi kelangsungan kerajaan itu sendiri, adapun pembinaan yang dilakukan oleh Susuhunan Agung adalah:

1. Pembinaan kekuasaan dilakukan dengan menyusun istilah buatan (silsilah politik). Dengan demikian orang mendapat kesan bahwa prinsip “trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih “, yang menjadi dasar untuk menduduki jabatan tinggi bagi seorang atau sekelompok orang menurut pandangan orang Jawa.

2. Dengan mengumpulkan dan memusatkan kekusaan disatu tangan dan kedaulatan raja ada di puncak piramide kekuasaan. Kekuasaan-kekuasaan itu meliputi kekusaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan untuk memerintah, kekuasaan untuk megadili pelanggar undang-undang, kekuasaan memimpin tentara (senapati ing ngalaga).

3. Melakukan pengawasan terhadap bupati-bupati bawahan dengan cara menempatkan mereka yang dianggap kuat dan berpengaruh di ibukota kerajaan, selain itu raja juga memberikan apa yang disebut triman (pemberian raja berupa seorang wanita) bertujuan mengikat bupati yang bersangkutan ke dalam ikatan kraton dan juga bertujuan mengawasi gerak-gerik bupati yang bersangkutan.

4. Sehubungan dengan pertahanan dan keamanan serta tindakan ekspansi, kekuataan militer dibina baik secara kuantitatif dan secara kualitatif. Secara kuantitatif dengan memperbesar trah Mataram dengan cara pernikahan , serta penaklukan daerah yang mewajibkan penguasa taklukan menyediakan tentara bila pusat memerlukan. Secara kualitatif dengan melatih tentara secara teratur, yakni gladen hari senin, kamis dan sabtu, serta memperlengkapi tentara dengan persenjatan mendirikan benteng disekitar kraton. Ekspansi merupakan hal yang penting untuk memperoleh basis ekonomi, sebab daerah taklukan berkewajiban mempersembahkan upeti ke pusat. Ekspansi merupakan hal yang penting untuk memperoleh basis ekonomi, sebab daerah taklukan mempersembahkan upeti ke pusat. Ekspansi erat berhubung dengan militerisasi. Ekspansi bersesuaian dengan prinsip doktrin bahwa “raja gung binatara wiyar sakehing jajahanipun (luas daerah yang dikuasai) (Moedjanto,1987:88). Berdasarkan prinsip inilah maka Susuhunan Agung melakukan politik ekspansi untuk mempersatukan seluruh tanah Jawa dalam satu kesatuan tak terkecuali ekspansi ke Blambangan. Blambangan pada saat itu merupakan penghasil beras, hal ini dapt memperkuat posisi Mataram sebgai kerajaan agraris yang merupakan peghasil beras.

5. Pengembangan budaya kraton untuk memperkuat serta mempertinggi kemulian raja.

6. Mengumpulkan pusaka sebagai sumber kasekten dan sumber keselamatan.
**

0 komentar:

Posting Komentar